Saat hendak bertemu dengan orang lain, sudah menjadi kebiasaan bagi kita melihat cermin untuk memastikan apakah penampilan yang dimiliki sudah terlihat baik atau belum. Namun pernahkah kalian menghabiskan waktu cukup lama di depan cermin karena tidak kerap merasa puas dengan penampilan yang dimiliki? Jika iya, bisa saja itu merupakan salah satu gejala kalian mengidap Body Dysmorphic Disorder.
Pengertian Body Dysmorphic Disorder
Body Dysmorphic Disorder (BDD) merupakan kecenderungan berpikir negatif yang tidak rasional terkait kekurangan pada fisik sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari. Hal ini dikarenakan tuntutan nilai kecantikan yang ada dalam masyarakat serta media sosial yang sangat memengaruhi kehidupan manusia saat ini. Daerah dengan budaya yang sangat mementingkan penampilan juga akan meningkatkan risiko terkena gangguan BDD (Veale & Neziroglu, 2010).
Gejala dari gangguan ini biasanya biasanya akan mulai terlihat pada saat memasuki usia remaja, dan remaja perempuan lebih rawan mengalami BDD dibandingkan remaja laki-laki. Menurut Santrock (2002) disaat usia menjelang dewasa, manusia mengalami beberapa perubahan pada bentuk fisiknya. Akan tetapi, ada beberapa dari mereka yang tidak menyukai perubahan yang terjadi pada kondisi tubuhnya tersebut yang mereka anggap dapat mengganggu penampilan.
Sebuah survei menemukan bahwa terdapat banyak orang berpendapat bahwa kecantikan merupakan sebuah kesempurnaan fisik, disaat seseorang merasa tubuhnya tidak sesuai dengan standar kecantikan yang ada pada masyarakat maka dia akan mulai berpikir bahwa dirinya tidak cantik.
Ciri-Ciri Penderita Body Dysmorphic Disorder
Perilaku yang kerap terlihat pada penderita BDD adalah muncul dorongan untuk melakukan kegiatan yang mengkonfirmasi bahwa dirinya tidak sempurna. Seperti melihat cermin secara terus-menerus, kompulsif perawatan seperti menyisir dan menggunting rambut, serta secara berulang membandingkan bagian tubuh yang mereka anggap cacat dengan bagian tubuh orang lain (Nurlita & Lisiswanti, 2016). Penderita BDD dapat membuang waktu hingga seharian hanya untuk mengamati kondisi tubuhnya.
Seseorang yang menderita gangguan ini seringkali merasa khawatir, takut, hingga tidak memiliki rasa kepercayaan akan dirinya sendiri. Sehingga secara mental dan fisik tidak dapat berkembang dengan optimal (Edmawati, Hambali & Handayah, 2018).
Sayangnya, pemahaman mengenai Body Dysmorphic Disorder masih sangat minim di kalangan masyarakat. Banyak orang menganggap obsesi dalam mengubah penampilan hanyalah sebuah hobi dan bukan termasuk gangguan psikologis. Sehingga para penderita yang tidak menyadari hal tersebut masih terus melakukan berbagai macam upaya untuk mengubah bentuk tubuhnya. Dari mulai mengubah hal yang kecil seperti menggunakan riasan wajah hingga melakukan perubahan besar seperti operasi plastik.
Masalah selanjutnya adalah meskipun terdapat beberapa dari penderita yang telah menyadari bahwa dirinya mengidap BDD dan sudah terkonfirmasi oleh para ahli psikolog, akan tetapi mereka kerap merasa malu dan tidak dapat menerima bahwa mereka mengalami suatu gangguan psikologis. Sehingga banyak dari mereka yang memutuskan untuk tidak melanjutkan ke tahap penyembuhan.
Faktor Penyebab Body Dysmorphic Disorder
Menurut Philips (2009) terdapat dua faktor besar yang menyebabkan seseorang menderita BDD, diantaranya adalah faktor genetik dan faktor psikologis. Faktor genetik penderita BDD disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan serotonin kimia. Selain itu, Neurotransmitter juga terlibat dalam menyebabkan BDD seperti dopamine yang kemudian dapat menimbulkan delusi bagi para penderita. Dalam faktor psikologis, pengalaman masa lalu dan trauma seperti penganiayaan, ejekan, dan lingkungan tidak baik dapat menjadi pemicu seseorang menderita BDD.
Body Dysmorphic Disorder juga menimbulkan beberapa dampak bagi penderitanya. Melalui sebuah survei didapatkan bahwa para penderita BDD memiliki kecenderungan menjadi pasien rumah sakit jiwa, pengangguran, bahkan melakukan kegiatan untuk mengakhiri hidup. Dampak-dampak tersebut dapat terjadi karena para penderita cenderung memiliki sifat yang tertutup dan kesulitan dalam menerima kondisi tubuhnya. Sehingga mereka memiliki citra negatif yang membuat mereka tidak dapat memilki rasa cinta pada dirinya.
Metode Penyembuhan
Setelah membaca artikel di atas apakah kalian merasa memiliki salah satu gejala dari gangguan Body Dysmorphic Disorder ini? Walaupun ada beberapa kondisi yang kalian rasa mirip dengan apa yang kalian alami, akan tetapi perlu diingat bahwa hanya para psikolog terlatih saja yang dapat mendiagnosa apakah seseorang menderita BDD atau tidak. Sebagai sebuah pemahaman, di bawah ini merupakan penjelasan mengenai tahap pendeteksi serta penyembuhan yang dilakukan oleh para ahli kepada pasien penderita BDD.
Tahap awal yang dilakukan adalah dengan menggunakan pendekatan Cognitive-Behavioral Therapy (CBT). Terapi kognitif atau CBT ini bertujuan untuk melatih cara berpikir kognitif dan cara bertindak atau berperilaku pasien. Terapi kognitif digunakan untuk melatih pasien dalam mengubah pandangan akan permasalahan yang dideritanya serta membantu pasien menyelesaikan permasalahan secara mandiri. Hal tersebut dikarenakan Body Dysmorphic Disorder termasuk ke dalam kognisi maladaptif yaitu hanya terfokus untuk melihat kekurangan dalam diri sehingga membuat para pasien kesulitan mengatasi masalah dalam pikirannya sendiri.
Ketika tadi merupakan tahap penyembuhan yang dilakukan oleh para ahli kepada pasien BDD, berikut ini ada hal yang dapat dilakukan oleh para pasien untuk membantu proses penyembuhan. Anneline Keitze, mantan penderita BDD, membagikan saran kegiatan yang ia lakukan dan menurutnya dapat membantu proses penyembuhan. Ia berkata bahwa sangat penting memaksakan diri untuk menghindari cermin jika hanya ingin mengkritik penampilan, lakukan kegiatan yang membuat dapat membuat bahagia, serta coba untuk terbuka kepada orang terdekat dan jangan malu menyatakan bahwa kalian mengidap gangguan psikologis karena hal tersebut bukanlah suatu aib yang perlu ditutup-tutupi.
Referensi
Adlya, S., & Zola, N. (2019). Kecenderungan Body Dysmorphic Disorder pada Remaja. Jurnal Riset Tindakan Indonesia, 4(2), 59-62.
Rahmania, P., & Ika, Y. (2012). Hubungan Antara Self-Esteem Dengan Kecenderungan Body Dysmorphic Disorder Pada Remaja Putri. Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental, 1(2), 102-109.
Rachmayadi, R., & Susilarini, T. (2020). Hubungan Antara Citra Tubuh dan Harga Diri dengan Kecenderungan Body Dysmorphic Disorder pada Remaja Kelas X dan XI di SMA Muhammadiyah 5 Jakarta. Jurnal IKRA-ITH Humaniora, 4(3), 11-20.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”