Bicara Soal Perempuan, Makhluk Kelas Dua

Menulis tentang perempuan selalu saja mengharuskan saya untuk berpikir lebih lama. Ada secuil kesulitan bagaimana harus memulai, barang kali itulah mengapa perempuan adalah teka-teki yang paling sulit untuk dipecahkan. Saat menatap wajah Ibu, seakan-akan alam semesta telah menyuguhkan rahasia kehidupan. Tapi tidak ada pena yang cukup tajam untuk menulis segalanya dengan sempurna. Tidak ada kuas yang cukup lihai untuk menggambarkan perempuan secara utuh. Perempuan adalah makhluk istimewa, apalagi gadis yang satu itu: sempurna dan tidak ada duanya.

Advertisement

Dalam masyarakat yang sangat patriarkal, perempuan tidak lebih dari sekadar objek yang bisa dieskploitasi sesuka hati. Buruknya pandangan-pandangan seperti ini malah dibenarkan, bahkan oleh perempuan itu sendiri. Tidak jarang kita lihat, disadari atau tidak, banyak perempuan yang berusaha tampil sesuai dengan standar laki-laki, hanya untuk dipuji dan diperhatikan.

Atas dasar tersebut, makna perempuan yang ter-eksodus itu harus dihadirkan kembali dan ditempatkan pada posisinya. Dalam topik-topik seperti ini biasanya dibedah melalui pisau filsafat, seperti fenomenologisme, eksistensialisme, atau melalui pendekatan budaya, bahasa, psikologi, dan sebagainya. Namun kali ini saya akan mencoba untuk memaknai perempuan dengan pendekatan yang ringan dan santai. Walaupun secara lunak masih akan bersinggungan dengan pisau-pisau analisis tersebut. 

Bagi saya perempuan itu,

Advertisement

Apa yang terbayang pertama kali ketika berbicara tentang perempuan? Sebuah spesies homo—sapiens—yang memiliki tubuh sensual dan juga dapat melahirkan. Jika ditilik dari aspek biologis, perempuan tidak lebih dari sekadar itu. Bahkan jika kata perempuan itu sendiri tidak pernah ada, tapi makhluk yang mempunyai ciri fisik seperti itu ada, tetap akan dimaknai sama. Dari sini, persoalan perempuan sebenarnya terdapat pada faktor bahasa sebagai produk budaya. Tapi bahasa tanpa adanya objek juga tidak akan bermakna, sebab bahasa merupakan presentasi dari objek itu sendiri. Misalnya objek yang hidup, bersayap, memiliki paruh, bisa terbang, dipresentasikan dengan burung, dan seterusnya.

        

Saya pernah membaca salah satu syair dari seorang penyair Timur Tengah, Nizar Qobbani—saya tidak tahu di bukunya yang mana saya menemukannya di deretan quotes berjibun di sosial media—seandainya saya dapat memahami perempuan, mungkin saya telah lama menguasai seluruh dunia. Kurang lebih seperti itu, saya tidak ingat lagi sepenuhnya. Sederhananya perempuan itu adalah unik dan istimewa. Apakah struktur otak benar-benar mempengaruh? Jelas saja, karena setiap penerimaan terhadap suatu pengalaman tahap pengelolaan akhir dari stimulus-stimulus yang diberikan oleh rangsangan sensorik tubuh kita diubah menjadi ide-ide di otak kemudian dilahirkan kembali dalam bentuk tindakan.

          

Saya belum dapat memahami—lebih tepatnya terkagum-kagum—mengapa mereka dapat demikian hebat dalam berempati terhadap sesuatu yang menyinggung—katakanlah—persoalan kemanusiaan. Atau coba lihat, bagaimana perempuan dengan mudah mencuri perhatian anak-anak kecil dan membuat mereka nyaman dalam waktu singkat. 

       

Bagi saya perempuan itu adalah makhluk yang sebetulnya tidak ada kata-kata yang cukup tepat untuk memaknainya. Cara perempuan berbuat, di mana hampir setiap perbuatannya itu selalu nyaris sempurna. Sebab itu perempuan adalah penghasil solusi yang handal. Cara perempuan berpikir ketika mencerna sebuah kejadian, mereka dapat berpikir secara out of the box lebih baik. Benar juga, suasana jauh lebih hidup ketika ada teman perempuan, sebab mereka bisa dengan mudah untuk memecahkan kebuntuan. Oleh sebab itu, saya tidak percaya perempuan adalah makhluk kelas dua.

        

Memang sudut pandang memainkan peran, tergantung kepada bagaimana seorang memandang perempuan, dan memandang perempuan sebagai makhluk kelas dua adalah pandangan yang memalukan. Memang, begitulah risiko dari kebebasan. Perempuan tidak semestinya membenarkan pandangan-pandangan yang merendahkan posisi mereka. Perempuan harus menggunakan kebebasan mereka untuk berbicara dan mengangkat martabat mereka.

        

Jadi dapat dipahami kenapa beberapa pemikir besar menempatkan perempuan pada posisi yang sangat sentral. Contoh Nabi Muhammad Saw bersabda, jika baik perempuan suatu negeri maka baik pula negeri itu, dan sebaliknya jika buruk perempuan suatu negeri maka buruk pula negeri itu. Seorang revolusioner terbesar dalam sejarah, Karl Marx, juga mengatakan, tidak ada revolusi tanpa peran perempuan di dalamnya.    

Perempuan itu harusnya..

Najwa Shihab—yang akrab disapa dengan Mbak Nana—memberikan jawaban yang sangat cerdas ketika ditanya, pilih mana, perempuan karier atau ibu rumah tangga? Mbak Nana menjawab, kenapa perempuan harus selalu memilih? Kalau mereka bisa melakukan keduanya.

         

Bila harus melanjutkan paragraf sebelumnya dengan menyelipi kata seharusnya bagi perempuan, saya percaya satu-satunya keharusan bagi perempuan—dan setiap orang—adalah berjalan dengan kakinya sendiri dan berani hidup dengan prinsipnya sendiri. Perempuan tidak seharusnya risih terhadap pandangan orang lain, sebab mereka hebat karena mereka perempuan. Sangat disayangkan jika ada teman kita, perempuan, yang berhenti menyalurkan kreativitas mereka dan mengembangkan potensi yang mereka miliki lantaran mereka dicemooh sebab mereka perempuan.

        

Perempuan itu seharusnya tidak hanya berfokus pada daerah-daerah fisik mereka yang sebetulnya tidak lebih dari sekadar hal remeh temeh. Risau oleh sebuah jerawat di wajah, tidak percaya diri sebab mengafirmasi wajah sendiri tidak cantik, mempersoalkan bentuk badan yang terlalu gemuk atau terlalu kurus, kulit yang tidak mulus, yang pada dasarnya kerisauan-kerisauan ini datang dari perasaan tidak mendapatkan perhatian dari orang lain—laki-laki. Memang segitu pentingnya ya, mendapatkan perhatian? Kalau kita selalu memikirkan orang lain, kapan lagi kita menikmati diri sendiri? Hidup terlalu singkat untuk tidak dinikmati.

         

Saya selalu percaya perempuan seharusnya lebih fokus kepada kepala mereka. Seperti tulisan saya sebelumnya, bahwa pengetahuan itu jauh lebih penting daripada fisik. Namun, bukan berarti saya mengatakan berpenampilan itu tidak penting, itu penting, tapi tidak lebih esensial. Perempuan mesti cerdas, supaya laki-laki tidak bisa semema-mena terhadap mereka. Perempuan harus berani menunjukkan bahwa mereka juga mampu memainkan peran sebagai yang pertama. Kalau tidak, perempuan hanya akan menjadi seperti apa yang digambarkan oleh Simione de Behaviour dalam bukunya The Second Sex, di mana Behaviour mengkritik perempuan yang tidak sadar dan terlena karena selalu dilayani oleh laki-laki, padahal di balik kebaikan laki-laki tersebut, mereka—perempuan—gagal merdeka—sebab orang yang merdeka tidak menggantungkan hidupnya pada orang lain—dan oleh sebab itu mereka menjadi yang kedua.

 

Perempuan hebat, hidup perempuan Indonesia.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Penulis adalah seorang mahasiswa jurusan Hukum Tata Negara di UIN Imam Bonjol Padang. Kesibukan sebagai mahasiswa selain kuliah adalah organisasi. Beberapa tulisan penulis telah dimuat baik di media cetak, buku antalogi, dan media online. Penulis menaruh minat yang dalam terhadap filsafat, politik, dan sastra. Penulis dapat dihubungi di osckardo4575@gmail.com