Deng …
“Di mana botol minumku? Padahal tempat minum pemberian ibu itu baru aku pakai hari ini“
Aku mengobrak-abrik isi meja dan laciku. Ku lihat ke bawah kursi untuk memastikan apakah jatuh, namun tidak ku temukan apapun selain sepasang sepatu pria yang tiba–tiba berhenti dihadapanku.
“Thanks ya Ci“, katanya sambil menyodorkan botol kosong yang telah lenyap isinya.
“Juan sialaaaan!“ Teriakku yang membuatnya kabur
Teet … Teet …
Bel istirahat yang kedua akhirnya berbunyi. Aku segera berdiri untuk pergi ke toilet tanpa memperdulikan apakah guruku sudah meninggalkan kelas.
“Ci ci, bentar deh. Liat deh si Alia, tumben banget pake jepit rambut. Cantiknya beuh! Pegangin gue Ci, nggak kuat liatnya“.
“Apaan sih rambut jambul satu ini, minggir nggak lo Ju atau gue dorong nih!“ Jawabku dengan nada tinggi.
“Eh bentar dong, Ci. Mau kemana lo, gue ikut!“
Namaku Cilla, orang biasa memanggilku Cici. Bersahabat dengan seorang pria sejak SMA membuatku terbiasa dengannya. Bahkan jika dia tak ada, aneh sekali rasanya. Hingga suatu saat kusadari, rasa ini berbeda dengan awal mengenalnya. Rasa ini tumbuh begitu saja, tanpa kusadari dan tak bisa ku cegah lagi.
Setelah kami lulus kuliah, kami masih menjalin hubungan dengan baik. Ya, hubungan persahabatan seperti yang diketahuinya. Kami masih sering bertemu, bercanda, bahkan aku juga menemaninya untuk mencari pekerjaan. Semakin lama, semakin tumbuh rasa yang ku simpan sendiri ini.
“Thanks banget ya Ci, lo emang selalu ngebantu gue!“ Katanya sambil tersenyum
“Dih bocah, tumben inget bilang makasih“
“Haha yaudah gini deh, besok kalo gue diterima kerja nih kalo udah 6 bulan gue janji bakal nraktir lo. Ya itung – itung syukuran lah, gimana?“
“Buset lama banget woy, harus nunggu 6 bulan?“ Jawabku sambil mendorong pundaknya.
“Haha butuh prepare juga tau! Ke cafe biasa yuk, laper nih.“ Ajaknya
***
“Jadi Ci, besok kalo gue keterima dan jadi syukuran ntar tempatnya di sini aja, Oke?“
“Kok kalo jadi sih? Ya harus jadi dong“
“Haha makanya lo juga doain gue biar keterima.“ Jawabnya mencubit pipiku.
Tanpa kamu minta pun di setiap sepertiga malam yang akhir, aku tak lupa untuk membisikkan namamu pada percakapanku dengan Tuhan. Berharap kebaikan selalu menghampirimu. Aku memandang wajahnya yang tengah meneguk secangkir kopi. Entah sampai kapan aku dapat terus melihat wajah itu dengan jarak sedekat ini.
“Iya iya gue tahu kalo gue emang ganteng maksimal pas lagi nyeruput kopi gini kan? Gimana, udah cocok jadi model iklan kopi belom?“
Aku tersipu karena dia menyadari bahwa aku memandanginya, hingga kopiku berubah menjadi dingin.
“Eh Ci, tadi pas gue nunggu giliran interview, gue liat si Alia! Kebayang nggak sih kalau gue bisa kerja bareng dia!“
“Oh ya? Kok gue nggak liat sih. Seru dong, pasti bakal tambah semangat buat kerja kan lo. Nggak digaji sebulan pun pasti terima aja kan? Haha“ Sungguh aku hanya tertawa palsu saat ini.
***
Ya, benar saja Juan diterima di perusahaan itu. Tak terkecuali Alia. Sudah 6 bulan mereka bekerja bersama. Kami menjadi semakin jarang bertemu karena memang kesibukan masing–masing. Inginku menagih janjinya setelah ia bekerja, namun aku takut menganggunya.
Bip … Bip …
Kulihat notifikasi sebuah chat,
Woy woy sepi amat ga ada kabar. Nggak kangen gue apa? Ntar malem harus free, gue mau ngebayar janji.
***
Malam ini ia duduk divhadapanku lagi, setelah sekian bulan aku tak melihat wajahnya. Perasaan bahagia ini tiba–tiba berubah seketika. Aku berusaha menahan air mata yang benar–benar hampir tergelincir ini. Kepalaku hanya menunduk saat Juan mengatakan bahwa minggu depan akan mengenalkan seorang wanita pada keluarganya. Ya, pasti Alia! Perasaan yang tumbuh selama 7 tahun ini harus segera ku kubur, tidak boleh mengulur waktu lagi. Perasaan ini memang tidak seharusnya hadir diantara persahabatan kami.
Malam ini di kafe biasa kami bertemu, membuat hatiku tersayat seketika. Tanganku gemetar. Tanpa aku sadari kakiku mengajakku pergi meninggalkan tempat itu.
“Ci tunggu!“ Tangan Juan berhasil menghentikan langkahku.
Aku enggan menatapnya. “Kamu nggak mau nemenin aku minggu depan?“ Tanya Juan yang masih menggenggam tanganku.
“Ci jawab dong“. Juan berusaha memandang wajahku
“Kalau kamu nggak mau, terus yang bakal aku kenalin sama keluargaku siapa?“
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”