Tidak ada yang ingin pernikahannya berujung pada perceraian, tidak ada juga yang bercita-cita untuk bercerai. Namun jika pilihan terbaik adalah berpisah maka mau tidak mau kami harus mengambil langkah tersebut.
Percayalah pilihan itu adalah pilihan terakhir dan paling berat. Segala cara sudah dilakukan hingga akhirnya kami sepakat untuk berpisah secara baik-baik. Sesiap-siapnya, tidak akan pernah siap. Selalu ada air mata, sakit hati, dan kemarahan. Dua manusia yang pernah saling mencinta berubah menjadi asing. Dua manusia yang memiliki mimpi yang sama akhirnya harus berjalan sendiri-sendiri. Dua manusia yang saling menurunkan ego terpaksa memenangkan ego masing-masing. Dua hati tersakiti dan dua keluarga yang akhirnya harus terpisah.
Memasuki gedung Pengadilan Agama adalah momok, tempat yang sangat dihindari bagi semua pasangan suami istri. Terpaksa kami harus mendatangi tempat tersebut. Rupanya tidak hanya kami yang merasa ini adalah perpisahan menyakitkan, ada belasan pasangan serupa yang sama dengan kami. Kami tidak sendiri. Walau dengan beragam alasan, perpisahan itu nyata.
Delapan tahun tidak menjamin bahwa kami saling memahami dan mengerti. Cinta tidak cukup menjadi dasar dalam berumah tangga. Butuh dua manusia yang saling. Saling mengerti, saling memahami, saling memaklumi, saling memaafkan, saling komunikasi. Perjanjian dengan Tuhan tidak cukup mengikat kami dengan kuat.
Aku berubah menjadi pribadi yang begitu hancur dan tertekan. Lelaki yang mati-matian aku pertahankan berbalik menyerangku secara verbal dan psikis. Aku tidak lagi mengenal dirinya. Bertahan atas nama cinta dan janji dengan Tuhan tidak menghalangi dirinya untuk tetap memilih berpisah. Segala cara seakan mental begitu saja.
Menutupi hal buruk ini dari keluarga tanpa hasil. Layaknya bangkai, permasalahan kami akhirnya tercium oleh kedua orang tua kami. Berusaha agar kami kembali rujuk juga tidak mampu menekan keinginan untuk berpisah. Perasaan bersalah dan berdosa begitu menyiksa jiwa, membuat aku akhirnya tumbang. Memang benar jika psikis sakit maka fisik akan merasakan hal yang sama. Berulang kali menyalahkan diri sendiri atas kejadian yang tidak mampu aku halau, berulang kali pula menyiksa diri agar rasa bersalah ini hilang. Aku yakin dia pun merasakan hal yang sama, hanya dengan kadar yang berbeda.
Satu hal yang sulit kita pahami adalah semua ada masanya. Tidak harus menunggu ajal menjemput, kapan pun itu kita harus siap. Mungkin Tuhan mengatakan bahwa kami harus berjalan sendiri-sendiri saat ini karena jika diteruskan tidak akan baik bagi kami. Bukankah hal yang tampak tidak baik bagi umatnya bukan berarti tidak baik? Bukankah Tuhan akan selalu menggantinya dengan hal yang jauh lebih baik? Lantas mengapa kami begitu sedih dan tertekannya?
Mengikhlaskan adalah jalan terberat sekaligus melegakan. Saat keikhlasan menjadi tumpuan maka segalanya tampak begitu terang dan mudah. Hati tidak lagi terbebani dengan rasa bersalah dan ketakutan akan dosa besar. Keyakinan bahwa Tuhan lah yang membuat jalan ini. Keyakinan bahwa dengan izin-Nya lah semua ini terjadi. Bukan berarti hal ini dibenarkan tapi pilihan sulit ini adalah langkah terakhir ketika dua manusia sudah tidak mampu lagi bersama.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”