Kesibukan menjalankan "proses" membangun usaha bagi para pekerja mandiri membuat waktu bakal begitu cepat. Ketika yang lain mendapatkan fasilitas pengaturan waktu dari perusahaan tempat bekerja, para pekerja mandiri harus berjuang untuk mengatur waktu sendiri demi mendapatkan sebuah harapan dan kebahagian. Proses membangun sebuah usaha memang tidak mudah dan butuh waktu. Segelintir orang yang sudah terjebak ini hanya harus fokus menikmati "prosesnya". Seperti yang pernah diceritakan di tulisan sebelumnya "Motivasi paling ampuh adalah tekanan". Ketika kita susah dealing dengan motivasi dalam memulai sebuah usaha, sebenarnya yang kita butuhkan adalah tekanan. Coba aja deh.
Pekerja Mandiri jauh lebih sibuk karena sejak awal semua harus dikerjakan sendiri. Dan, Manajemen waktu menjadi salah satu kurikulum yang wajib dipelajari. Adalah sebuah resiko ketika pengorbanan harus dilakukan, mengeliminasi beberapa kegiatan yang sebelumnya rutin dilakukan karena kita tidak boleh terlalu egois untuk mendapatkan semuanya. Kabar baiknya kita harus belajar dan mencari solusi. Kurikulum pertama versi penulis ditulis di "Mulailah Membagi Waktu Untuk Masa Depan Lebih Baik, Kamu Bisa Gunakan Tool-Tool Google Berikut Ini ".
Di situ kita belajar bahwa pikiran kita terbatas, kita tidak bisa menampung beban yang besar dalam satu waktu. Oleh karena itu kita harus membagi beban yang besar tersebut kedalam beban-beban kecil agar kita bisa menampung ke dalam pikiran yang terbatas ini. Sisanya kita simpan sementara ke dalam sebuah media, apapun itu tidak di pikiran lagi. Kuncinya adalah menyederhanakan pikiran, memaksimalkan pikiran yang kecil pada batas waktu yang telah disepakati.Â
Dari kurikulum pertama, kita mendapat pembelajaran tentang kedisiplinan, seorang pekerja pribadi tidak bisa mengandalkan orang lain untuk bisa mengatur kedisiplinannya sendiri. Salah satu pembelajaran emosi pada fase ini adalah Bersahabat dengan kata tanggung tidak bisa dimaafkan. Segala konsekuensi adalah resiko. Kunci dari pelajaran ini adalah kita harus disiplin untuk bisa memaksimalkan pekerjaan pada rentang waktu tertentu dan mengikhlaskan apabila pekerjaan itu terlalu asyik untuk dilanjutkan. Demikian karena harus ada pekerjaan lain yang sudah kita jadwalkan. Pada awalnya pasti gagal, biarkan gagal, karena yang lebih penting dari itu adalah seperti apa kita mengenali pola dan kemampuan pribadi seiring waktu untuk selanjutnya melakukan evaluasi.
Apakah pada akhirnya ketika kita bisa disiplin dan ketat sesuai kurikulum di atas, kita sudah bisa mencapai kebahagiaan? Belum tentu
Jadi sebanyak alinea di atas itu hanya pendahuluan ? Ya begitulah.
Sebegitu disiplin dan ketatnya pembagian waktu yang sudah kita terapkan. Beberapa kegiatan yang dirasa buang-buang waktu sudah disisihkan. Beberapa ajakan sengaja dihindari dan diikhlaskan demi menantang sebuah pembelajaran kedisiplinan. Begitu disiplin, padat akhirnya membuat lelah hingga seorang pekerja mandiri merasa harus punya copian atas dirinya atau waktu lebih dari 24 jam karena masih ada banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Beginilah "Proses" dari sang pemburu harapan dan kebahagiaan. Pernah merasakan seperti ini ?
Bicara tentang kurikulum yang sebelumnya telah ditulis, kita mengamati bahwa apa yang sedang kita olah dan atur adalah tentang kebijakan membagi waktu. Kita bersahabat dan menantang pola dari sang waktu. Tapi sebegitu keras dan disiplinnya kita terhadap diri sendiri tidak sepenuhnya menghasilkan hasil baik. Kita sebagai manusia sosial juga bergantung dari situasi eksternal. Expektasi memang tidak seindah realita nak.Â
Kita adalah generasi ke beribu tahun yang hidup dengan sudah kompleksnya kehidupan horisontal. Sebegitu kompleksnya hingga hubungan vertikal yang harusnya menjadi kewajiban tersisihkan. Sekalinya mendapatkan waktu untuk beribadah kembalinya kepada banyaknya harapan dan permintaan tentang hidup berhorisontal. Tidak salah kok, kita ini memang manusia. Tapi ada beberapa fokus yang mesti diubah arahnya. Mengingat yang namanya waktu juga ada yang menciptakan, kenapa kita tidak memindah fokus dan bersahabat kepada Sang Pencipta dan Pengendali Waktu yang sebenarnya, bukan pada waktu lagi. Ketika di kurikulum sebelumnya kita harus ikhlas melepas kegiatan A demi untuk mengerjakan kegiatan B (poinnya adalah ikhlas), sekarang kita harus melepas dan mengikhlaskan kegiatan A,B,C bahkan Z untuk melegakan waktu mendekatkan diri kepada Sang Pengendali waktu.Â
Sebagai contoh nyata ketika kita dalam sebuah perjalanan dan mendengar Adzan berkumandang, ada dua opsi yang harus kita pilih antara tetap terus berjalan, ketika melintas masjid berhenti dan mampir atau seketika waktu itu juga langsung berhenti dan berjalan mencari masjid terlebih dahulu, bahkan jika harus keluar jalur perjalanan sekalipun. Kedua pilihan ini sama-sama tidak melupakan waktu untuk ibadah, tapi beda niatnya. Hanya kepercayaan (keimanan) kita yang bisa memastikan bahwa ketika kita rela melepas untuk kewajiban vertikal maka kita akan mendapatkan hasil yang sebenarnya kita butuhkan. Mungkin sebuah kebahagiaan adalah ketika melihat hasil baik adalah anugrah sedangkan hasil buruk selalu membawa hikmah. Keduanya menghasilkan raut senyum.
Masa depan masih berarti misteri. Tidak ada yang lebih tahu apa yang akan terjadi di masa depan selain Yang Maha Mengetahui Masa Depan. Meskipun di era modern ini kita bisa merencanakan dan memprediksi apa yang akan kita lakukan di masa depan (dengan pintarnya perhitungan kita) bahkan kita belum tentu tahu hasil yang akan kita dapatkan akurat atau tidak. Meskipun kita bisa menaikan akurasi keberhasilan di masa depan bahkan kita belum tahu jika ternyata ada sebuah hikmah dari sebuah kegagalan di masa depan.
Jadi kenapa kita tidak fokus dulu kepada Penguasa Waktu sebelumnya, setelahnya pada waktu itu sendiri. Sejatinya kita hanya bisa mengontrol apa yang terjadi pada diri kita, hidup juga tergantung pada situasi eksternal yang jelas pengontrolnya adalah Tuhan. Sebuah kurikulum yang ternyata lebih penting bahkan harus didahulukan dibandingkan kurikulum-kurikulum nan teoritis dan cerdas di mata kuliah manajemen waktu sebelumnya.
Nah, kesimpulannya bukan berarti pembelajaran di tulisan sebelumnya menjadi sia-sia untuk dipelajari. Pada intinya kurikulum pertama dengan berbagai pelajarannya tetap dilakukan sebagai ikhtiar manusia di dunia, toh kita mendapatkan banyak pelajaran Emotional Quotient. tapi kurikulum terpenting dan wajib dilakukan bahkan sebelum itu semua adalah kita harus ada waktu / prioritas waktu untuk Sang Maha Kuasa atau Sang Pencipta Waktu sebagai pembelajaran Spiritual Quotient. Kepercayaan itu cukup untuk menjawab apakah kita butuh copian diri atau waktu lebih dari 24 jam.
Nah, mungkin muncul sebuah pertanyaan apakah penulis sudah sukses dengan teori di atas? Belum, lulus kurikulum manajemen waktu? Belum juga. Untuk saat ini "Kebahagiaan menjalani proses" menjadi fokus yang harus dijalani. Biarkan media ini menjadi bahan belajar antara kita penulis dan pembaca dengan tetap saling membagi. Mungkin pembaca lebih bisa dan bukan tidak mungkin penulis belajar dari pembaca.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”