Dunia hiperealitas dapat dimaknai sebagai dunia yang direkonstruksi oleh kekuatan media visual (baca :layar kaca). Dunia hiperealitas menyajikan imajinasi yang sebenarnya didesain secara sengaja oleh penulis seknario dan diatur oleh sutradaranya sendiri-sendiri. Dengan kata lain dunia hiprealitas bukanlah dunia bebas nilai, melainkan penuh dengan nilai-nilai yang disusupkan lewat media visual itu sendiri.
Seperti dilansir dari Media Besiru, dunia hiperealitas dibuat untuk melakukan penggiringan opini terhadap sebuah produksi barang atau jasa. Lalu ditampilkan (disimulasi) disetiap sudut layar kaca bagi membuat arah arus utama, sehingga masyarakat tidak menyadari diri mereka dipersuasi dengan cara yang begitu lembut. Masyarakat menjadi tersugesti bahwa mengkonsumsi barang / jasa yang disimulasikan merupakan sesuatu yang harus bagi menemukan kesejatian mereka. Oleh karenanya dunia hiperealitas tidak dapat dipisahkan dengan apa yang diistilahkan dengan dunia simulasi. Hiprealitas memanfaatkan ruang-ruang imajinasi pada otak manusia lalu disimulasi oleh media-media visual. Membentuk pandangan baru terhadap apa-apa yang harus dikonsumsi dan terhadap apa-apa yang ter-up date akan barang dan jasa.
Hiprealitas dan simulasi saling membutuhkan untuk saling menunjang. Hiprealitas tidak dapat menjelma nyata jikalau tidak ada ruang simulacra. Mereka berdua selalu bergandengan untuk membuat dunia baru bagi masyarakat. Mereka tiada henti memberikan definisi baru bagi masyarakat untuk “mengkonsumsi”. Ujung-ujungnya hiperealitas dan simulacra menutupi kesejatian masyarakat. Hiprealitas dan simulacra mentransformasi masyarakat terus –menerus tiada finish. Ini memompa masyarakat untuk terus melakukan penyeimbangan-penyeimbangan baru. Mencoba untuk terus mengikuti irama hiprealitas dan simulacara itu sendiri membuat masyarakat selalu “haus”.
Menikmati dunia hiprealitas dan simulacra artinya menikmati setiap kebaruan yang disajikan oleh lompatan-lompatan ide. Ini melahirkan berbagai macam gaya hidup yang terkadang menjauhi hakikatnya. Hiprealitas dan simulacra menampilkan berbagai macam bentuk gaya (fashion), life style masyarakat pada cara dan bentuk produk apa yang layak untuk dikonsumsi.
Pertanyaannya apakah hiperealitas bisa dikritisi ulang? Pertanyaan ini selanjutnya akan menjadi kelanjutan tulisan ini. Jawaban-jawaban yang akan coba diberikan berharap dapat menjadi pemicu kebangkitan bagi adanya alternative hiperalitas itu sendiri sehingga dari sini pula ada harapan guna memformat ulang kebudayaan imajiner masyarakat menjadi kebudayaan yang lebih sejati.
Pelajaran dari Covid-19
Covid yang semula berbentuk wabah dengan cepat menjadi epidemic, namun karena tidak juga terlokalisir di satu tempat atau wilayah sehingga covid pun menjadi pandemic. Kini covid itu sudah melingkupi seluruh dunia. Semua wilayah di palnet bumi hampir tidak ada yang tidak berbicara terkait ganasnya virus serupa matahari terbit itu. Akibatnya semua denyut kehidupan di hampir seluruh planet dunia ini mengalami perlambatan bahkan berhenti seketika. Ini berimplikasi pada banyak aspek kehidupan manusia. Mulai dari aktivitas sampai pada kegiatan-kegiatan yang bersifat imajiner yang disebut hiperealitas pun mengalami kemunduran dan “mati”.
Bagaimana ramainya hari-hari masyarakat di pusat-pusat perbelanjaan seperti mall-mall, café-café, hotel-hotel dan seterusnya mengalami pukulan telak dengan adanya pandemic covid 19. Ini betul-betul mengagetkan banyak orang karena tidak ada yang pernah menyangka bahwa ada fase kehidupan di mana hampir semua kegiatan dipengaruhi oleh virus covid itu. Kehidupan “glamour” dan “hedonis” yang bertumpu pada kekuatan imajinasi manusia ditinggalkan perlahan dan sampai juga pada titik nadirnya.
Makan-makan di tempat mewah, berbelanja di tempat yang glamour, beraktivitas di tempat-tempat megah mulai dijauhi. Ini tentu saja berimplikasi pada layunya hiprealitas. Bagaimanapun bentuk simulasi yang hendak dibikin tetap saja dunia hiperealitas itu tidak lagi menarik, karena ada kekuatan pandemic yang akan menghantam jikalau masyarakat tetap nekad turun ke titik-titik keramaian. Kecuali itu dunia yang relative aman tinggal ladang, kebun, sawah dan lautan. Mereka tetap ramah dan menyapa masyarakat yang berprofesi sebagai peladang, pekebun, petani dan nelayan karena ini berada pada ruang-ruang yang bersifat alami yang dengan sifatnya itu sulit ditembus oleh masyarakat traveller lintas dunia sehingga relative aman dari pandemic. Di samping itu ladang, kebun, sawah dan lautan merupakan ruang “private” yang luas sehingga memungkinkan masyarakat tetap dapat beraktivitas dengan tidak ada kerumunan.
Artinya kebudayaan primer masyarakat berupa berladang, berkebun, bertani dan menjadi nelayan merupakan kebudayaan sejati masyarakat. Dari sini pula produksi-produksi masyarakat tetap dapat berjalan, sehingga membangun kekuatan produksi masyarakat ini adalah modal besar bagi mengantisipasi adanya pandemi-pandemi semisal covid 19 ini di masa depan. Jika ini yang diabaikan dan pandemi berlangsung dalam waktu lama maka akan ada ancaman serius bagi memenuhi kebutuhan hidup berupa makanan dan minuman yang menjadi kebutuhan paling mendasar masyarakat. Ini adalah barang yang sejatinya tidak perlu polesan-polesan simulasi di mana sering kali harga kemasannya lebih mahal dari isinya sendiri. Oleh karena itu Covid 19 mengajarkan masyarakat pentingnya menjaga pondasi kebudayaannya yang tidak dapat terganti dengan budaya-budaya imajiner yang lahir dari dunia hiprealitas yang terus menerus disimulasi di ruang-ruang simulacra.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”