Berjuang Sendiri Itu Bagaikan Lilin Kecil yang Menjaga Sinarnya di Tengah Badai

arti kebahagiaan

Hidup ini lucu bagi orang yang humoris. Hidup ini keras dan kejam bagi orang sensitif. Hidup ini agresif bagi orang apatis. Dan hidup ini narasi bagi orang teoritis.

Advertisement

Aku bagaikan sebuah lilin kecil bercahaya terang di tengah kegelapan. Lilin kecil yang sedang merasa berjuang sendirian. Sendiri tegak berjuang menyinari gelapnya kehidupan di sekitarku, sendiri melawan angin yang berusaha meniup cahayaku, meredupkanku, hingga mematikanku. Lalu mereka akan tertawa dengan lantang merasa menang setelah melihatku tak lagi bercahaya dan tertunduk kalah.

Senyum mereka semua palsu. Ucapan mereka semua palsu. Aku serasa bermain peran dalam sebuah adegan. Gerak-gerikku, ucapanku, bahagiaku, sedihku semua diatur oleh mereka. Aku lilin kecil yang tak diberi kesempatan untuk bersinar lebih lama demi mencari arti terang yang sesungguhnya. Bila tiba waktunya mereka dengan sekenanya meniup cahaya yang sudah lama ku ciptakan dengan mengorbankan diri sendiri, maka harus kupadamkan, jika tidak mereka akan murka.

Sering kuberpikir, mereka tak berhak dalam hidupku, apalagi mereka tak pernah mau tahu tentang pengorbanan, tentang perjuangan yang telahku lalui selama ini. Aku benar-benar merasa sendirian. Tidak ada yang sepemikiran denganku, tidak ada tempatku untuk bercerita, tidak ada tempat yang bisa kupercaya selain mengadu kepada Tuhan Yang Maha Esa di atas sajadah.

Advertisement

Aku heran dan bertanya-tanya dalam hati kenapa jabatan, harta, dan takhta masih menang dan sangat berlaku di sekelilingku? Rendah dihina. Tinggi disanjung. Di tengah kerasnya hatiku untuk meraih sebuah cahaya kebahagiaan yang tulus tanpa memandang jabatan, harta, dan takhta siapapun. Tapi mereka memadamkannya. Mereka meletakkan cahaya kebahagiaanku di atas jabatan, harta, dan takhta yang selalu mereka sanjung. Mereka tahu apa dengan definisi bahagia sesungguhnya bagiku? Setiap orang punya definisi dan tolak ukur bahagia yang berbeda-beda. Namun, yang mereka tahu adalah uang adalah sumber kebahagiaan dan hanya dengan jabatan, harta, serta takhtalah mereka bisa memperoleh uang dan otomatis bisa meraih kebahagiaan.

Oke, tidak munafik bahwa hidup di dunia ini membutuhkan uang, tapi uang terlalu picik jika dijadikan alat untuk kebahagiaan seseorang. Ah, aku merasa ciut. Ingin kumati saja rasanya. Sebab angin kali ini meniup begitu kencang bagiku dan mustahil untuk kulawan. Tak pernah terlintas keinginan seperti mereka, hidup banyak harta bukanlah impian utamaku namun, hidup dengan ketenangan jiwa dan kedamaian hati adalah arti bahagia sesungguhnya yang ingin kudapatkan.

Advertisement

Lagi-lagi mereka tak menerima pendapatku. Apa harus aku menuruti segala ingin mereka setelah aku jatuh bangun melaluinya sendiri? Mungkin tidak untuk kali ini. Sudah cukup paham dengan ego manusia yang tak mau kalah, yang takut merasa tersaingi, dan takut untuk dirugikan.

Ya Tuhan, aku ingin bersandar kepada-Mu, aku ingin tidur di pangkuan-Mu, sampai air mata ini tak mampu lagi untuk keluar. Untuk sampai di titik ini sudah sangat hebat kurasa dan aku masih percaya ini adalah campur tangan-Mu. Tak akan ku sesali sebab aku belajar banyak dari semua ini, salah satunya jangan pernah menaruh harapan kepada manusia, baik pada teman, sahabat, maupun keluarga sendiri.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Seorang perempuan yang terlahir berdarah Minang, tumbuh dan besar mengikuti alur yang terbentang hingga menggeluti profesi sebagai tenaga kesehatan namun, tidak melupakan perjalanan menuju keabadian.