Berawal dari Biasa Saja, Menjadi Pemakluman Berkelanjutan

Hal serius dan tabu yang menjadi pemakluman yang sudah biasa.

Sudah terlampau sering kita mendengar kalimat Ah gitu doang baper , Halah digituin doang lebay, itu mah udah biasa kali, atau kalimat Jangan tersinggung ya aku cuma ngasih saran. Hal serius dan tabu yang lama-kelamaan dibiarkan yang menjadi pemakluman yang sudah biasa.

Advertisement

Pelecehan Seksual

Ah gitu doang baper,  Halah digituin doang lebay kayak gitu mah dah biasa. Sering kali kita mendengar kalimat seperti itu diutarakan kepada korban pelecehan seksual. Kasus pelecehan seksual bukanlah suatu hal yang harus menjadi pemakluman sehingga kita tutup mata sekecil apapun itu kasusnya.

Tak jarang justru pelecehan seksual dianggap lelucon sehingga banyak orang memakluminya. Namun, sedikit aneh juga bagaimana menyikapi lelucon yang dilontarkan pelaku pelecehan seksual jika subjeknya sendiri malah ikut tertawa juga. Berawal dari hal-hal semacam itu pelecehan seksual seperti cat calling dianggap bukan bentuk pelecehan.

Advertisement

Pria maupun wanita mempunyai hak yang sama untuk melawan pelecehan seksual. Tanpa disadari dari kita masih banyak yang juga tak sadar membiarkan kasus pelecehan seksual yang terjadi di depan mata sendiri atau justru menjadi korban pelecehan namun hanya diam saja, membiarkannya, ikut menertawakan, atau malah mengompori secara verbal.

Berawal dari iseng, ketidakpahaman, ataupun memakluminya lama-kelamaan itu menjadi hal yang lumrah yang terjadi di masyarakat. Kurangnya edukasi bahaya pelecehan seksual dan pelakunya, menciptakan pemakluman itu. Pemakluman yang sering terjadi membuat kita tidak sadar bahwa itu termasuk bentuk ‘pelecehan seksual’. Apa lagi didukung dengan tanggapan orang seperti, Halah digituin doang lebay semakin menekan korban untuk tidak speak up bahwa itu melecehkan korban. Pemakluman itu membuat sebagain orang tidak mampu lagi membedakan mana pelecehan atau bukan.

Advertisement

Lagi-lagi korban yang harus memikul kerugian berkepanjangan, bukan lagi pelaku yang disalahkan justru terkadang berbalik korban yang menjadi subjek penyalahan. Pelecehan seksual tidak seharusnya diberi ruang di masyarakat. Pelaku mungkin akan mendapatkan sanksi sosial, namun rasa malu, rasa bersalah belum tentu dirasakan oleh pelaku kemungkinan-kemungkinan untuk mengulangi lagi selalu ada.

Sedangkan korban rasa takut, malu, pandangan masyarakat, trauma berkepanjangan akan selalu menghantuinya, bahkan membutuhkan waktu penyembuhan yang tidak sebentar. Pemakluman terhadap pelecehan seksual sekecil apa pun seharusnya itu tidak terjadi. Dimulai dengan tidak ikut serta menertawakan saat terjadi pelecehan seksual secara verbal yang berkedok bercandaan atau lelucon, dan lebih baik tidak diam saat melihat adanya tindakan pelecehan seksual sekecil apapun itu.

Beauty Standard

Hal serius yang menjadi pemakluman lain adalah terkait beauty standard. Bukan hal baru lagi jika bicara tentang beauty standard tapi lagi-lagi kasus ini tetap saja berulang kali terjadi meskipun sudah banyak pembelajaran yang membahasnya. Di dunia kerja masih banyak memunculkan topik beauty standard, bahkan jadi memunculkan juga beauty privilege.

Beauty standard ini sendiri bisa berpengaruh terhadap kesehatan mental dan krisis identitas pada seseorang, tidak hanya dialami oleh wanita namun laki-laki juga memungkinkan mengalaminya. Tuntutan untuk memenuhi beauty standard cenderung menjadi pemakluman. Adanya standar kecantikan yang melekat di masyakarat kemudian seperti diaplikasikan ke semua orang.

Saat sesama wanita pun yang justru sering membuat standar kecantikan itu menjadi semakin nyata. Enggak apa-apa kalau enggak putih yang penting tinggi, kalau putihkan nanti bisa pakai suntik putih atau pakai lulur. Kalimat yang terlontarkan seperti itu yang seakan-akan tidak menghargai diri sendiri maupun lawan bicara (orang lain). Stereotip yang membuat semakin insecure.

Kok lipstik kamu merah banget, pakai yang agak orange gitu lho kan kulitmu coklat gitu. Saran yang bagus tapi ini sudah mengganggu privasi dari individu sendiri. Lagi-lagi pematah mental yang menjadi pemakluman. Seakan-akan bukan diri sendiri yang menginginkan perubahan namun orang lain yang mengharuskan untuk mengubah. Hal-hal yang seharusnya sudah menggangu privasi diri sendiri, namun menjadi pemakluman untuk mengikuti standar kecantikan orang lain. Apa yang dipakai, apa yang melekat pada tubuh selain dipengaruhi oleh media, seakan-akan yang mengontrol kepemilikan tubuh kita sendiri adalah orang lain.

Mungkin bukan tugas kita semua, namun memotong lingkaran pemakluman yang semakin membudidaya ini menjadi kesadaran bersama.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Orang yang sudah Bahagia melihat orang lewat