Tentang Kita yang Selalu Terburu Ingin Memiliki, Namun Tak Pernah Siap dalam Kehilangan

belum siap dalam kehilangan

Hidup ini seperti cerita sebuah petualang. Tentang perjalanan panjang kita sebagai manusia. Hidup ini tentang datang dan pulang, tentang hidup dan redup, serta tentang tinggal dan meninggal. Semua sudah memiliki porsi dan jatahnya masing-masing. Terbagi dalam persentase yang sama rata dan adil untuk seluruh ciptaan yang kuasa.

 

Manusia terkadang serakah. Sering mencintai melebihi kadar yang sewajarnya. Membuat kita menjadi lupa diri dari makna akan cinta itu sendiri. Yang ujungnya, membuat kita menjadi takut dan khawatir akan kehilangan. Padahal kita paham bahwa semua hanya titipan, namun tingkah kita terkadang seolah seperti akan tetap selamanya.

Advertisement


Sejatinya, semua akan pulang. Apa yang kita khawatirkan akan benar-benar hilang. Rasa bahagia yang pernah kita alami sesekali akan tergantikan dengan rasa malang. Karena hidup tidak hanya tentang menerima, namun juga tentang melepaskan. Jika kita telah wanti-wanti dengan rasa tak pernah memiliki, maka kita pun tidak akan pernah menangis untuk rasa kehilangan.


Saat pertama kali terlahir ke dunia, kita pun sadar bahwa kita adalah insan yang dititipkan oleh Tuhan kepada kedua orang tua masing-masing. Begitu juga dengan anak-anak yang saat ini tengah menghiasi rumah kecil kita sendiri. Anak adalah titipan, harta pun juga sama. Akan tiba waktunya nanti, bahwa itu semua akan diminta kembali oleh yang maha memiliki.

 

Tiada kata untuk menolak, saat dirinya telah berkehendak. Saat apa yang telah kita cintai begitu dalam, akan dilepaskan pula dalam keadaan hati yang berat. Namun jika kita selalu sadar bahwa benda yang mati dan mahluk yang hidup hanyalah titipan semata, rasa berat akan selalu menjadi ringan dalam melepaskan. Melepaskan memang berat, namun itu hukum wajib yang mau tidak mau harus tetap terlaksana walau tak sesuai dengan tekad.


Kita adalah masa sekarang, yang beberapa tahun kemudian akan menjadi masa lalu. Apa yang kita genggam erat saat ini, mau tak mau harus dilepaskan pula. Yang akhirnya kita akan paham pula, bahwa ditinggalkan pergi itu memang menyakitkan. Namun menunggu dan mengharapkan dia untuk kembali justru lebih menyayat hati. Hingga akhirnya, ikhlas untuk kehilangan adalah solusi terbaik untuk menyelamatkan diri.


Advertisement

Tuhan paham apa yang belum kita pahami. Tuhan mengerti atas apa yang kita tengah hadapi. Dan Tuhan juga lebih tahu, atas apa yang sudah kita ketahui. Keputusan Tuhan memang terkadang terasa tak adil, namun justru rasa tak adil itulah yang membuat kita menjadi bahagia pada suatu hari nanti. Tak adil saat ini, akan berbuah menjadi adil pada waktu dan tempat yang tepat.

 

Kita akan tetap mampu berjalan, napas harus tetap mampu bertahan, yang pergi harus direlakan, pada Tuhan kita pasrahkan apa yang belum mampu untuk kembali pada pelukan. Hidup ini sejatinya bukan tentang kepergian, namun tentang pergantian. Yang lama akan berganti baru. Yang tua akan berganti muda. Seperti fajar yang terganti senja, dan bagaikan hujan yang tergantikan sejuk.


Dulu kita pernah berencana dengan angka Matematika, namun jika Tuhan tak pernah ingin rida, manusia pun tak bisa berbuat apa. Mungkin benar kata orang. Derajat tertinggi dalam cinta adalah saat kita harus melepaskan, saat kondisi benar-benar dalam keadaan yang belum siap. Ini adalah tentang kita yang tak pernah siap, namun Tuhan adalah yang maha bersiap-siap.


Advertisement

Mungkin saja Tuhan sedang ingin mengingatkan. Bahwa sabar itu tak mengenal tapal batas. Memaafkan itu tanpa hitung, serta merelakan itu harus benar-benar tulus tanpa mengharapkan imbalan.



Tuhan sudah paham dengan segala konsekuensi takdir yang diturunkannya. Tuhan tak pernah mengenal kata sesal dalam memutuskan. Apa yang sudah digariskan, adalah takdir yang harus dijalankan demi berjalannya skenario alam yang sesungguhnya.


Kita sering kali tak sadar diri, bahwa ikhlas dan rela itu sudah bagian dari wajibnya manusia. Kita sering lupa, bahwa dia yang kita cinta sebesar asa, juga punya kaki. Yang sewaktu-waktu bisa melangkah pergi untuk meninggalkan hati. Terus mau bagaimana lagi? Saat mencinta ciptaannya tak bisa biasa-biasa saja, maka putus asa adalah jawaban dari semuanya. Saat mengharap dari yang tak pernah abadi, maka hatilah yang akan terus tersakiti. Namun kita sebagai manusia, memang terkadang tak bisa begitu mudah untuk memahami.


Kita mungkin pernah gagal dalam melupa. Sering gugur dalam menurunkan ego. Sejatinya manusia memang selalu berusaha untuk memiliki. Kita selalu bermental pemburu, yang menjadikan semua “ingin” menjadi suatu kompetisi. Padahal, hidup ini bukan tentang siapa menang dan kalah, namun tentang siapa yang tenang dan pasrah, saat mengikhlaskan sesuatu atau seseorang yang hanya menjadi titipan yang kuasa.


Hingga akhirnya kita tersadar bahwa semua tidak bisa terus menemani di sisi. Harta dan orang tercinta tetap pula akan ditinggal pergi. Hati harus dilatih untuk merelakan pergi. Karena di dunia ini, kita semua sejatinya hanya sekadar mencintai yang sewaktu-waktu pergi, kapan-kapan bisa diambil, yang sewaktu-waktu mati, dan kita akhirnya paham arti dari melepaskan yang bukan hak milik sendiri. Bahwa sebenarnya kita paham atas kondisi sendiri, bahwa kita lahir tanpa apa-apa, dan pergi pun tanpa apa-apa. Jadi kita manusia ini, memang tidak punya apa-apa.


Kenangan indah asalnya dari Tuhan. Semua kebahagiaan yang pernah kita alami adalah titipan darinya. Semua titipan tidak akan pernah ada yang abadi. Jika tidak sekarang diambilnya, maka kita harus tetap siap-siap berjaga untuk kehilangan pada nantinya. Jika bukan sesuatu, maka seseorang. Bahkan pula kita sendiri yang akan hilang, dipanggil oleh yang kuasa untuk kembali ke asal semula. Siap atau tidak siap, semua harus siap. Berani menuntut Tuhan dalam doa, harus berani pula untuk ditarik kembali oleh tangannya.


Dan bagaimana pun sebuah rasa kehilangan, Tuhan tidak akan pernah tinggal diam melihat hambanya meratapi. Tuhan akan selalu menyediakan cara untuk mengembalikannya lagi. Dengan wujud yang berbeda lagi. Tuhan tidak pernah mengambilnya, Tuhan hanya menggantinya.


Hingga akhirnya kita memahami, bahwa hilang, menghilangkan dan kehilangan itu adalah suatu bagian takdir yang tidak akan pernah lepas dari napas manusia. Hidup itu seperti bernafas. Ada yang ditarik, ada pula yang dilepas. Ada yang disayang, ada pula yang harus hilang. Setiap orang tidak pernah siap kehilangan. Namun manusia harus tetap siap berdamai dengan kehilangan. Kita memang selalu terburu dalam meminta, namun tak pernah siap dalam menyambut kehilangan.


Saatnya belajar untuk menerima kehilangan, kita mungkin mengira bahwa rasa kehilangan itu adalah perasaan yang paling menyakitkan dalam hidup. Namun itu salah besar. Karena yang justru lebih menyakitkan adalah mengharapkan dia kembali, padahal sudah bukan takdirnya lagi untuk kembali.


Sejatinya kita harusnya paham. Bahwa kita sebenarnya tak pernah kehilangan apa pun dan siapa pun. Semua yang ada hanya bertukar posisi waktu dan tempat. Yang datang sekarang, tentunya akan pulang di masa yang akan datang. Yang disiapkan di masa yang akan datang, tentunya tidak akan hadir di masa sekarang. Jika kita tak ingin merasakan pahitnya kehilangan, maka sudah sepatutnya untuk tidak pernah merasa memiliki. 

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Financial Analyst and Novelist