Semenjak mulai belajar bahasa asing keduaku, bahasa Jerman, di tingkat sekolah menengah atas aku merasakan jatuh cinta pada pandangan pertama. Bukan kepada seseorang, melainkan kepada suatu kota yang bernama Köln. Aku tidak ingat betul, apa yang sebegitu menarik perhatianku. Satu yang aku ingat dengan begitu jelasnya, bahwa di saat itu nama Köln dengan katedral megahnya terpampang di buku pelajaranku, yang mampu menghipnotisku hingga keinginan untuk pergi ke sana membuncah sebegitu besarnya.
Di penghujung SMA, aku memutuskan untuk memperdalam pengetahuanku tentang Jerman dengan mengambil jurusan Sastranya di perguruan tinggi. Mimpiku untuk pergi ke kota studi impianku bukanlah sekadar asa tanpa usaha. Di dalam kamar indekosku terdapat sepotong styrofoam berwarna biru yang dipenuhi dengan tempelan kertas, aku menyebutnya sebagai pojok mimpi. Di sana tertulis semua mimpi yang ingin aku raih semasa kuliah, tentu yang pertama dan tertulis paling besar adalah aku ingin belajar di Köln.
Konsep dari pojok mimpi di kamarku ini sederhana, kita cukup familiar dengan kata manifestasi. Iya, dengan menuliskan segala mimpi-mimpiku di pojok mimpi, aku berusaha memanifestasikannya. Percaya atau tidak, pojok mimpiku selalu memberikan semangat dan harapan kepadaku setiap kali aku melihatnya. Dengan meletakkan pojok mimpi di tempat strategis, yakni di samping tempat tidur, secara tidak langsung aku terus berkesempatan untuk melihat ke sana paling tidak dua kali dalam sehari. Saat aku bangun pagi, dan sebelum pergi tidur.
Memiliki mimpi tanpa usaha, tentu saja sia-sia belaka. Meskipun aku menghitung pengadaan pojok mimpi sebagai suatu usaha, aku tetap membarengi proses manifestasi mimpi tersebut dengan hal-hal lainnya yang mendukung. Misalnya dengan belajar giat dan aktif diproses belajar mengajar. Ketika kedua hal tersebut berjalan beriringan, maka sebuah kesempatan pun akhirnya tercipta. Di tahun ketiga aku mendapat undangan dari jurusan untuk mengikuti proses seleksi beasiswa, di mana penerima beasiswa tersebut berkesempatan untuk pergi ke Jerman selama satu bulan di musim panas untuk mengikuti kursus bahasa di lokasi pilihannya.
Bahagia? Tentu saja. Tapi perjuangan belum berhenti sampai di situ, kawan. Di saat yang bersamaan, ayahku jatuh sakit di kampong halaman dan mesti dirawat di rumah sakit. Pikiranku terbagi menjadi banyak sekali cabang, antara akademik, kegiatan kampus, dan tentu saja keluarga.
Masih jelas ingatanku, satu hari sebelum ujian kemampuan bahasa yang merupakan salah satu proses seleksi beasiswa itu, aku menangis seharian karena mendapat kabar dari adikku kalau ayah kembali dirawat. Campur aduk rasanya hati ini, bahkan ketika mengingatnya. Hampir saja aku tidak hadir di keesokan harinya untuk ujian karena perasaan yang tidak karuan. Aku bahkan belum belajar dan persiapan sedikitpun.
Salah seorang kakak tingkat terdekatku kembali mendorongku dan memberikan motivasi untuk maju; untuk menggapai mimpi dan cita-cita. Katanya, ayo buat Papa bangga. Hari berganti hari, semakin sulit rasanya menatap ke arah pojok mimpi lagi. Terlebih setelah segala berkas untuk seleksi terkirim dan tak lama aku mendapat kabar bahwa ayah sudah tiada. Duniaku seakan bergejolak tak henti-hentinya, banyak asa yang pupus dan jiwa yang terkoyak. Begitu banyak cerita yang membuatku menjadi lupa dengan sang beasiswa dan mimpi untuk ke Köln.
Maret 2018. Suatu pagi yang diawali dengan sebuah pesan dari teman seperjuangan. Ia memintaku untuk mengecek surel dari seseorang, yang konon katanya perwakilan dari beasiswa. Hati ini rasanya berdegup secepat kereta, jujur, aku takut kecewa.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Aku mendapatkan kata “Selamat!” di awal surat. Tak henti aku menatap tulisan di pojok mimpi yang sudah kutuliskan dari beberapa tahun sebelumnya. Satu tahap semakin dekat dengan mimpi yang selama ini aku idam-idamkan!
Namun perjuangan masih belum berhenti jua. Aku sempat mengalami kendala mengenai biaya, terlebih untuk harga tiket pesawat yang cukup menjulang ketika liburan musim panas. Rasa galau kembali menyelimuti, sayang sekali waktu itu aku belum mengenal Qatar Airways Student Club. Bayangkan bagaimana mudahnya hidupku saat itu jika sudah mengetahui info tersebut. Karena banyak sekali keuntungan yang mereka tawarkan, seperti harga tiket spesial, penambahan jatah bagasi, fleksibilitas pengubahan tanggal, upgrade ke Privilege Club tier sebagai hadiah wisuda, fasilitas wifi dan masih banyak lagi!
Namanya juga nasi sudah menjadi bubur, penyesalan selalu datang di akhir. Tetapi beruntungnya aku, berkat segala bantuan dari orang-orang baik di sekitarku akhirnya pada Agustus 2018 aku menginjakkan kaki di Köln.
Selama kurang lebih satu bulan di musim panas tersebut aku berkesempatan mengikuti program kursus bahasa Jerman di University of Cologne. Betapa beruntungnya aku bisa mencicipi kesempatan tersebut terlebih di kota yang selama ini selalu aku impikan.
Selain dapat belajar bahasa di negara asalnya, yang begitu berkesan di hatiku saat belajar di negeri orang adalah mengenal budaya mereka secara lebih dekat dan belajar untuk mengaplikasikannya di diri kita. Seperti misalnya orang Jerman terkenal dengan sifat mereka yang to the point, selalu tepat waktu dan taat aturan. Selama belajar mengenai budaya mereka di Indonesia, rasanya selalu kurang terutama mengenai contoh, karena bagaimanapun juga kita orang Indonesia yang sifatnya bisa dikatakan bertolak belakang dengan mereka.
Meskipun waktu yang aku miliki sangat singkat dan tidak cukup rasanya, banyak memori tak terlupakan yang melekat. Misalnya ketika guest mother-ku memberitahuku secara to the point bahwa aku harus selalu mengabarinya kalau sudah pulang dan tidak langsung masuk ke kamar, atau ketika kursus dan kegiatan lain selalu dimulai tepat sesuai waktunya bahkan satu menit lewat dari itu pun masuknya terlambat, dan bagaimana pengendara Jerman selalu berhati-hati di zebra cross meskipun tidak terlihat tanda-tanda penyeberang jalan. Sesederhana itu, tetapi sulit ditemukan di negeri sendiri.
Perjuanganku untuk menginjakkan kaki di Köln membuatku menjadi pribadi yang lebih kuat dan mandiri. Hal tersebut memudahkanku ketika berkelana seorang diri di negeri orang ketika berkesempatan mengecap studi walau hanya sejenak. Dulu aku menganggap bahwa orang yang mampu belajar di negeri orang, hanyalah orang-orang yang mampu secara materi, hingga akhirnya semesta menyadarkanku. Materi saja tidak cukup, butuh sosok yang juga tangguh.
Kesempatan yang diberikan padaku untuk mengecap bagaimana rasanya belajar di negeri orang selama kurang lebih satu bulan, merupakan suatu persiapan dan ujian, apakah aku mampu nanti ke depannya untuk benar-benar #BelajarDiNegeriOrang. Karena hal tersebut tidak semudah kelihatannya, bukan hanya pelangi yang akan dihadapi tetapi juga badai kehidupan.
Teruntuk Köln,
aku akan kembali lagi suatu saat nanti. Dengan durasi yang lebih panjang lagi.
Dari aku yang merindumu.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”