Perjalanan mimpi saya berawal saat saya duduk di kelas 3 SMP. Di suatu hari terbesit pertanyaan dalam pikiran saya "Bagaimana caranya agar saya bisa ke luar negeri tanpa mengeluarkan biaya?" Setelah beberapa saat berpikir, sontak saja saya tertawa. Hari itu pun berlalu, saya masih saja berpikir akan hal tersebut. Keesokan harinya, saya menemukan satu kata bermakna dalam, yakni kata "Beasiswa".
Mulai saat itu saya membulatkan tekad untuk bisa menjadi penerima beasiswa S1 ke Luar Negeri. Memasuki masa SMA. Saya berhasil diterima di salah satu SMA terbaik di provinsi, melalui jalur prestasi. Takjubnya, di masa SMA saya dipertemukan dengan seseorang yang sangat supel dan menginspirasi. Ia adalah salah satu pengurus inti dalam organisasi Perhimpunan Pelajar Indonesia di Turkey. Tentunya saya langsung tertarik dengan kisah kakak ini. Seseorang yang berhasil diterima 5 universitas di 5 negara berbeda. Eits tunggu dulu, kisah kakak ini tidaklah semulus yang kita kira, ia juga sempat ditolak beberapa beasiswa, namun ia tidak menyerah. Hingga akhirnya ia bisa terbang kuliah ke Turkey dengan beasiswa dari pemerintah.
Di tengah jalan perjuangan, saya kembali dipertemukan dengan tutor bahasa Inggris saya. Seseorang yang juga sangat menginspirasi. Ia adalah penerima beasiswa fullbright ke Amerika. Dengan segudang pertanyaan dalam pikiran, saya bertanya kepada guru saya ini dengan antusias "Mam ke Amerika dengan beasiswa yah? Di biayai semua yah? Wah enak sekali mam. Bisa jalan-jalan ke Negara orang tanpa mengeluarkan biaya."
Beliau pun langsung menanggapi pertanyaan itu dengan santainya. Apakah kamu mengira beasiswa itu untuk jalan-jalan yah? Beasiswa itu duit orang nak. Dan jumlahnya tidak sedikit. Mereka memberikan kepercayaan kepada orang yang dibiayainya. Kan gak mungkin uang dan kepercayaan orang kita manfaatkan untuk kesenangan pribadi.
Dari dua orang kenalan saya tersebut. Saya belajar bahwa kunci keberhasilan beasiswa adalah kesungguhan hati. Setelah mengambil hikmah dari pembicaran guru les bahasa Inggris saya tadi. Saya juga ingin mengingatkan pada teman-teman termasuk diri saya sendiri yang sedang berjuang meraih beasiswa untuk studi ke luar negeri bahwa meraih beasiswa itu bukan sekadar untuk gaya-gayaan; jalan-jalan dan lain sebagainya. Tetapi ada tanggung jawab yang besar dibaliknya. Jumlah uang beasiswa itu tidak sedikit. Kalau digunakan untuk menyekolahkan anak-anak di Indonesia, bisa ratusan atau mungkin ribuan yang bisa sekolah dengan uang itu. Tapi, mereka putuskan untuk diberikan kepada kita. Tentu, mereka berharap kita bisa memberikan manfaat yang lebih besar pada lebih banyak lagi orang lain yang tidak bisa dicapai oleh uang beasiswa yang kita dapatkan.
Mari milikilah mental seorang scholar sebelum menjadi seorang scholar. Sembari berusaha meraih beasiswa, bangun mental dan karakter seorang penerima beasiswa. Yang seperti apa maksudnya? Tentunya, mulai berpikir tentang bagaimana bisa memberi manfaat untuk orang lain. Sadari bahwa harus memberikan timbal balik atas beasiswa yang akan didapat; bukan kepada pihak beasiswanya, tetapi pada orang lain.
Kita boleh punya keinginan untuk mengunjungi sebuah tempat, tetapi menyadari bahwa itu adalah sekedar bonus saja atas keberadaan diri di negara lain. Karakter seorang penerima beasiswa itu lebih mengutamakan ilmu dan kebermanfaatan untuk orang lain. Tidak mudah putus asa karena studi di luar negeri tantangannya bukan hanya tentang bahasa, tetapi juga budaya dan sistem pendidikan yang berbeda. Punya visi, selalu melakukan improvisasi diri. Menjaga kejujuran dan komitmen. Tekun dan bekerja keras dalam berkarya. Bukan kebanyakkan bicara tanpa fakta.
Singkatnya, yang terpenting adalah tidak membiarkan keterbatasan yang ada membatasi ruang gerak kita. Selalu ada jalan kalau terus mencari. Seperti kisah saya menemukan dua orang inspirator tadi. Itu juga merupakan salah satu jalan rezeki.
Pantang menyerah!
Salam hangat dari Ica penulis artikel ini.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”