Bedah Penyakit Skizofrenia. Kenapa Bisa Terjadi?

"Ditanya apa, jawabnya apa."

Advertisement

Terkadang kita bertemu dengan seseorang yang berperilaku tidak normal, kita pasti bertanya-tanya mengapa seseorang dapat berperilaku seperti itu. Gangguan mental ini mempunyai sumber penyebab yang misterius, belum ada peneliti yang dapat sepenuhnya melihat akar dari tumbuhnya skizofrenia. Seorang anak laki-laki berumur 12 tahun mendapat teguran dari gurunya karena perilakunya yang aneh, seperti respons yang diberikan sangat tidak sesuai dengan pertanyaan yang diberikan. Padahal dia mampu melakukan kegiatan sehari-hari dengan lancar. Anak tersebut juga sering berbicara sendiri, dan berhalusinasi melihat Barong (Evayanti, 2014).

Dilansir dari KOMPAS.com, tanah air kita mempunyai kasus skizofrenia terbanyak di seluruh dunia. Kita munkin saja bersampingan dengan orang yang menghidap skizofrenia tetapi kita tidak mengetahuinya. Menurut data yang dikutip dari databoks, Riset Kesehatan Dasar (Riskedas) 2018 menggambarkan bahwa prevelensi seseorang mempunyai gangguan skizofrenia adalah 6,7 per 1000 rumah tangga, dengan DKI Jakarta mempunyai prevelnsi sebesar 10,4 (Jayani, 2019).

ADVERTISEMENTS

Berbahaya atau tidak sih ?

Advertisement

Skizofrenia mempunyai beberapa tipe, diantaranya adalah: Skizofrenia Paranoid, Skizofrenia Disorganisasi, dan Skizofrenia Katatonik (Istichomah & R, 2020). Setiap tipe mempunyai gejala yang berbeda-beda. Gangguan ini mempunyai gejala yang sangat kasatmata. Gejala yang dialami pasien skizofrenia adalah: halusinasi, delusi, bicara tidak beraturan dan perilaku tidak beraturan (Grison Sarah & Gazzaniga, 2019).Marilah kita menggali lebih dalam tentang derita yang dialami pasien skizofrenia secara umum.

Gejala pertama adalah halusinasi, yang merupakan sebuah gangguan persepsi, yang menyebabkan seseorang melihat atau mendengar sesuatu yang sebenarnya tidak nyata. Contohnya seperti kasus anak 12 tahun yang merasa bahwa dia melihat Barong. Gejala kedua adalah Delusi. Delusi berbeda dengan halusinasi, delusi merupakan keyakinan salah yang mencerminkan keterpisahan dari kenyataan, pemikiran kognitif mereka tidak bisa membedakan realitas dengan fantasi. Tidak hanya itu, Pasien biasanya mengalami kesulitan untuk mengikuti percakapan seperti biasa. Mereka cenderung berbicara tidak jelas, sering mengganti topik secara tiba-tiba dan susah untuk memberikan emosi yang aneh dan tidak selaras. seperti sedang membicarakn hal yang senang, akan tetapi emosi yang diberikan merupakan emosi kesal. Penderita juga tidak bisa berperilaku dengan baik, tidak bisa merawat diri sendiri dan pergerakan yang aneh. Contohnya sepertinya menggunakan baju tebal di hari yang sangat panas.

Advertisement

ADVERTISEMENTS

Skizofrenia menyerang Indonesia

Penyebab Skizofrenia memang belum diketahui, akan tetapi beberapa peneliti percaya bahwa faktor biologis, lingkungan, dan aktivitas psikologis merupakan faktor-faktor terbentuknya gangguan mental ini (Hermiati & Harahap, 2018). Masyarakat yang berumur 20-30 tahun sangat rentan terhadap gangguan ini. Jadi bagaimanakah faktor-faktor ini berkonstribusi kepada skizofrenia?

1. Biologis:

Genetik dan ketidakseimbangan neurotransmitter. Faktor tidak bisa terkendali dan merupakan sebuah bawaan dari lahir. Anak yang mempunyai orang tua yang carrier atau mempunyai genetik penyakit bawaan tetapi tidak mempunyai penyakit tersebut, akan mempunyai kemunkinan yang lebih tinggi sebesar 50% daripada orang tua yang tidak mempunyai sejarah skizofrenia. Ketidakseimbangan neurotransmitter juga berpengaruh pada pengeluaran hormon dopamine. Pasien yang mempunyai penyakit ini mempunyai reseptor neurotransmitter yang lebih tinggi. (Grison Sarah & Gazzaniga, 2019)

2. Lingkungan:

Petumbuhan Skizofrenia juga disebabkan oleh lingkungan yang mendukung terutama di lingkungan dekat seperti keluarga. Individu yang mempunyai keturunan skizofrenia tetapi mempunyai lingkungan keluarga yang harmonis, anak tersebut cenderung untuk tidak mengalami gangguan tersebut. Namun, lingkungan keluarga yang disfungsional akan meningkatkan risiko anak menghidap skizofrenia (Grison Sarah & Gazzaniga, 2019).Sebagai contoh, kondisi ekonomi yang rendah juga mempunyai dampak yang signifikan pada tumbuhnya skizofrenia karena stres yang dirasakan individu (Passer & Smith, 2019).

3. Psikologis:

Contoh fenomena yang kita tahu adalah stres. Pasti kita mengalami stres di dalam kehidupan sehari-hari kita. seperti tugas menumpuk, deadline mepet, maupun juga kesulitan mengerjakan sesuatu. stres yang tinggi pada dewasa awal akan meningkatkan kerentanan terhadap skizofrenia 10 sampai 20 tahun kedepan (Weiten dkk., 2018).

ADVERTISEMENTS

Pertolongan pertama

Alangkah baiknya mencegah daripada menanggulangi. Skizofrenia belum mempunyai obat penawar. Akan tetapi, ada beberapa hal yang dapat diberikan sebagai upaya pencegahan dan penanganan. Pertama, dukungan sosial merupakan solusi yang ampuh dalam upaya pencegahan. Berdasarkan hasil penelitian (Triyani & Warsito, 2019), dukungan keluarga yang harmonis secara emosional mengurangi kekambuhan pasien skizofrenia. Dukungan dapat berupa informasional, memfasilitasi kebutuhan dan bimbingan. seperti menyediakan fasiltas untuk perawatan diri, mengontrol konsumsi obat maupun memberikan perhatian. Selain dukungan sosial, individu dapat melakukan psikoterapi. Psikoterapi juga merupakan sebuah penanganan berbagai gangguan mental. Pasien dapat dimasukan di satu kelompok untuk berinteraksi bersama, sesi individu pasien dengan psikolog ataupun terapi (Patel dkk., 2014). Yang terakhir, dikarenakan faktor lingkungan memiliki kontribusi kepada skizofrenia yang signifikan, keharmonisan keluarga harus selalu dijaga dengan baik, karena kondisi keluarga yang harmonis akan mengurangi kemunkinan seorang anak terkena gangguan ini (Passer & Smith, 2019).

Kesimpulan:

Dapat disimpulkan bahwa skizofrenia menyebabkan gangguan pada fungsi kognitif, psikologis, perilaku dan ucapan. Gejala-gejala merupakan halusinasi, delusi, dan gangguan pada perilaku dan berbicara. Faktor pertumbuhan skizofrenia yang perlu kita fokuskan adalah faktor biologis, psikologis dan lingkungan, terutama lingkungan keluarga. Pastinya dukungan sosial adalah aksi pencegahan yang dapat kita lakukan. Individu juga dapat mengunjungi professional untuk penanganan yang lebih lanjut.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini