Beberapa Alasan yang Mengharuskanku Untuk Berhenti Mencintaimu

Kisah bersamamu ini—laki-laki yang sampai saat ini masih aku cintai sepenuh hati, sangatlah indah bagiku. Tapi kini, semua impian kita harus terkubur.

Advertisement

Sedih rasanya ketika semua impian sudah disusun rapi. Mengarungi hari-hari yang tidak selalu baik jalannya. Kadang kepercayaan jadi taruhan, pengorbanan jadi hal yang sia-sia. Hancur rasanya, ketika impian berumah tangga denganmu tak kunjung dapat diraih, karena kenyataan amatlah sulit untuk ditebak.

Sebab aku bukan keturunan yang sama sepertimu

Bagiku, kamu adalah segalanya. Tanpa aku melihatmu dari segi manapun, kamu sudah terlalu sempurna untukku. Menyenangkan, menenangkan, dan kamu tak pernah main-main. Bahkan, ketika aku minta kamu menikahiku, kamu membenamkan segala kekuranganku untuk mencapai semua itu, mencapai rumah tangga bersamaku. Tapi sayang, aku bukan keturunan yang sama sepertimu.

Advertisement

Sebab kita berbeda itu, ibumu tak merestui kita. Ia tertelan mitos tua, keturunan sepertiku (sebut saja keturunan A) sudah terbiasa dicap sebagai manusia yang keras, sembarang berucap, memiliki sifat kekanak-kanakan, dan aku akan mudah saja menghakimimu dalam keadaan salah atau benarmu. Begtulah kira-kira kabar angin melayangkan karakter yang dibawa oleh perempuan keturunan A sepertiku.
Padahal kamu tahu, aku tak bisa. Jangankan memukulmu, berkata benci saja tidak sanggup, kecuali jika sedang rindu dan kita tak bertemu.

Itulah alasan pertama yang kamu lontarkan untuk mengakhiri hubungan kita. Bagai disambar petir siang hari, air mataku deras mengalir.

Advertisement

Sebab kamu masih terlalu muda

Inilah alasan kedua yang kamu utarakan. Ketika aku masih berjuang mempertahankanmu, ketika aku masih menyimpan beribu harapan untuk bisa melanjutkan hubungan kita, kamu patahkan harapanku, kamu hilangkan segala kepercayaan diriku bahwa kita sanggup melalui segalanya.

Ibuku menginginkanmu menikah dengan yang lain. Laki-laki yang mapan hidupnya. Jangan lagi kamu menungguku, laki-laki yang baru saja meretas masa sarjana. Masih panjang jalan hidupku, usiaku masih muda. Begitu katamu, di sela isak tangis dan gema lagu “Kemesraan” yang sudah tertinggal jauh di gedung yang riuh oleh suara bahagia para wisudawan dan wisudawati kampusmu. Apalagi ini? Baru saja aku menguat-nguatkan hati untuk mempertahankan segalanya, kamu datang hanya untuk melemahkan itu. Aku bisa apa? Selain berdo’a dan mencoba menerima segala keinginanmu, keinginan ibumu.

Sebab menyejahterakan keluarga dahulu adalah keinginan ibumu

Aku tahu, kamu baru saja mendapatkan pekerjaan. Mungkin, ibumu terlalu khawatir dengan adanya diriku, yang bukan sesiapa. Ibumu ingin kamu bisa menyejahterakan dulu keluargamu. Membagi hasil kerjamu dengan keluarga. Katamu juga, kamu masih memiliki adik kecil yang harus kamu biayai sekolahnya. Paling tidak, penghasilanmu tidak menjadi sisaan ketika kamu pulang. Begitu kira-kira yang ibumu mau.

Tapi coba kamu ingat-ingat lagi. Selama kamu denganku, pernahkah aku memintamu untuk membelikan aku sesuatu? Tas bermerk, baju, sepatu, perhiasan, atau membujuk-bujukmu untuk menghidupi kehidupanku? Jika pernah, tunjukkan semuanya. Aku yang akan bersujud di kaki ibumu, memohon ampun karena aku menguras semua uangmu. Tapi coba ingat lagi. Pernahkah aku seperti itu?

Sebab kamu anak yang berbakti

Dari semua proses itu, akhirnya aku mampu berdamai dengan keadaan. Meski sebelumnya aku sudah menyiksa diri; tak mau makan berhari-hari, mengurung diri, menyalahkan waktu, bahkan aku sempat menyesal karena sudah dilahirkan dari rahim ibuku yang keturunan A. Beruntung aku masih memiliki teman-teman yang mau mengingatkan, bahwa kamu adalah anak yang sholeh, anak yang berbakti pada ibumu.

Bukankah aku harusnya berbangga hati? Paling tidak, alasan itu yang paling bisa aku terima, meski sulit. Aku yakin kelak, kamu akan mendapatkan yang lebih baik dariku. Kamu akan mendapatkan perempuan lembut tak keras kepala, dan keturunannya sama sepertimu. Dan aku tahu tentang ini;

Perempuan yang dinikahi akan menjadi milik suaminya-sepenuhnya, sedang laki-laki yang sudah menikah akan tetap menjadi milik ibunya.

Itulah alasan mengapa aku harus berhenti mencintaimu. Tapi yakinlah, jika harapan tidak seiring dengan kenyataan, jangan pernah menyesal. Tuhan sudah merencanakan hal indah untukmu. Beruntung, jika kamu memiliki pasangan yang patuh pada ibunya, sebab segala yang indah lebih dulu datang pada yang direstui, percayalah.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Aku lebih suka dipanggil Lai, Laida. Sebab itu adalah kesunyian yang mengajariku kekuatan.

3 Comments

  1. VIcha berkata:

    Jadi baper