Aku ada di sana menjadi saksi kebisuan malam juga dinginnya sikapmu. Bahkan bibir ranum yang biasanya banyak bicara mendadak diam. Celotehan riangmu sirna. Ada apa dengan kamu? Lihat, beberapa helai rambutmu menutupi sebagian pipimu. Tak biasanya rambutmu dibiarkan tergerai seperti itu dan wajahmu terlihat pucat, Sayang.
Kamu menjadi aneh sejak sejam yang lalu. Tanpa kata apalagi canda yang menjadi salah satu pesonamu. Kamu pasti tahu kan aku menyukaimu karena keceriaanmu, bawel, dan cenderung cerewet. Aku akan menunggumu selesai bicara setiap kali kita duduk usai makan di warung makan Bude Lastri. Segudang cerita setiap hari yang harus kudengar.
Tapi malam ini, kembali aku harus menjadi saksi berubahnya dirimu, mendadak menjadi gadis pemurung yang bisu. Jiwamu seperti melesak masuk ke alam lain yang berbeda. Ini sepertinya bukan kamu, Sayang. Bukan. Tubuhmu saja yang duduk di hadapanku tanpa senyum, jiwamu entah di mana. Padahal malam ini sudah kita nantikan sejak kemarin.
“Besok saja aku ceritakan langsung sama kamu, Mas.”
“Nggak bisa malam ini?” tanyaku memohon. “Aku tak sanggup nunggu besok.”
Kamu tertawa kencang. Sore itu kamu sangat bahagia kelihatan dari tawamu. Namun, kamu tetap bungkam tidak ingin memberiku kabar berita. Barangkali kamu masih enggan menceritakan yang sebenarnya terjadi malam ini. Apa yang kamu alami seharian ini. Kamu pergi ke mana dan berbuat apa yang biasanya lengkap kamu ceritakan dalam teleponmu.
Kalau boleh aku menebak, perubahan sikapmu karena berita yang aku terima sore tadi melalui ayahmu. Cerita yang tidak lagi bisa kamu ceritakan kepadaku. Baik di telepon atau di bangku warungnya Bude Lastri.
Ayahmu bilang, kamu mampir membeli bakso sebelum pulang ke rumah. Ayah mendadak ingin makan bakso perempatan jalan beberapa blok sebelum rumahmu. Selain untuk Ayah, kamu juga membelikanku sebungkus bakso tanpa mi yang rencananya kita makan berdua nanti. Sebungkus mi yang terpelanting entah ke mana, sama seperti tubuhmu. Terhempas ke bumi setelah motormu terdorong dengan kecepatan tinggi tanpa kamu sadari.
Semua ini hanya tentang batu. Batu nisan yang sedang aku peluk. Yang sedari tadi diam membisu dalam balutan dinginnya malam. tidak ada lagi bibir ranum milikmu yang berceloteh apa saja yang sudah terjadi dan membuatmu melaporkannya padaku. Tidak ada lagi laporan pandangan mata tentang semua kejadian yang menarik untuk diceritakan di telepon.
Batu yang biarpun aku peluk semalaman tidak akan mengembalikan ceriamu.
Airmolek, 15.09.2019
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”