Pagi ini begitu cerah, setelah pagi-pagi sebelumnya sangat gelap. Tidak cocok dengan hatiku yang sedang berkembang. Maksudnya bukan berkembang menjadi gendut. Awas saja jika kau berpikir seperti itu. Aku akan adukan pada Saddam. Ayahku seorang konglomerat dan keturunan bangsawan. Hidup kami begitu elite, maka tidak heran banyak tetangga yang iri pada kami. Namun, itu semua bukan target keinginanku.
"Papa duluan ya, Sayang. Kamu bareng sama Raka aja. Dia pasti masih makan juga," pinta Ayah padaku.
Aku hanya diam. Dalam hati, aku mengeluh, aku menggeram. Aku tidak suka Raka. Apalagi dengan gayanya yang bengis itu.
Mana ada wanita yang mau dengannya?
Tapi keluarganya sama seperti keluargaku, konglomerat, yang membuat Ayahku ingin aku menikah dengannya.
Ibuku tidak mau aku dikekang seperti itu, tapi Ibu selalu menyetujui apapun yang dikatakan Ayah. Jangan tanya adik-adikku.
Mereka tidak paham soal perjodohan ini.
Di meja makan ini, hanya ada aku dan Ibuku. Adik-adikku masih terlelap. Mana mungkin mereka mau bangun pagi-pagi buta seperti ini. Aku juga merasa aneh, tidak ada satu pun dari adik-adikku yang memiliki sifat sama sepertiku.
"Kamu lebih unggul di banding mereka," begitu kata Ibuku.
"Mama tau, gimana rasanya ketika seseorang ingin keluar, namun dihalangi oleh orang lain hanya karena takut orang itu kenapa-kenapa?," tanyaku.
Ibuku hanya diam. Tapi mataku masih menatapnya tajam. Seperti ingin menerkam.
"Dan apakah Mama juga pernah mengalami hal yang sama dengan Sazya?," tanyaku lagi.
Masih dalam keadaan yang sama, namun kali ini Ibu menghembuskan napasnya, hingga terdengar olehku. Lalu Ibu bangkit dari kursinya dan menghadap ke luar jendela.
"Tapi apakah Sazya tau maksud orang itu menghalangi orang yang ingin keluar bukan hanya ingin dia baik-baik saja?"
"Lalu maksudnya yang lain apa, Ma?"
"Ikutilah dia Sazya. Ikuti. Ikuti saja. Ketika Sazya sudah tau bahwa maksudnya itu buruk, maka tinggalkanlah."
"Tapi apa tidak bisakah orang itu tidak menghalangi orang lain untuk keluar?," tanyaku lagi.
"Karena dia sayang."
Aku diam. Aku malas melanjutkan perbincangan ini. Ibuku selalu membela Ayah, apapun yang dilakukan Ayah. Itulah kenapa aku tidak ingin bercerita soal apapun kepada Ibuku tentang Saddam, tentang pacar-pacarku yang dulu.
Aku takut Ibu melaporkanku pada Ayah. Aku pasti tidak akan lolos dari hukumannya.
Segera ku habiskan makananku, lalu ku salim Ibuku dengan mengucapkan salam. Aku pun menuju ke rumah Raka, seperti nasehat Ibu, bahwa aku harus menuruti perkataan Ayah sampai aku mengetahui maksud buruknya, aku boleh meninggalkan ucapan Ayah.
Bel rumah Raka berbunyi, aku yang menekannya. Ibu Raka yang membukakan pagar. Tidak ada security. Mungkin penghuni rumah ingin mengetahui langsung tamu yang datang lalu menyambutnya. Ibu Raka tersenyum padaku, aku pun membalasnya.
"Tunggu sebentar ya, Sazya. Rakanya masih di bagasi, ngambil mobil. Masuk yuk. Udah sarapan?"
"Udah. Tante sendiri sudah sarapan?"
"Udah Sayang."
Perbincangan itu pun berakhir saat mobil Raka menghampiri kami. Klaksonnya memberi syarat agar aku masuk ke dalam mobilnya. Aku pun duduk di sebelah kiri Raka.
"Ma, Raka pergi dulu ya. Ngantar jodoh. Hahaha."
"Ah, kamu ini. Liat tuh, Sazya jadi malu kan? Hati-hati di jalan ya, Sayang. Jangan kebut-kebutan di jalan. Jagain itu bidadarinya. Awas loh kalo bidadarinya kenapa-kenapa," pesan Ibu Raka sambil melambaikan tangan kepada kami. Aku bisa melihatnya dari spion depan.
"Kamu kok diam aja? Lagi puasa ngomong ya?"
Satu hal yang sampai saat ini membuatku jijik di dekat Raka adalah sikap dan ngomongnya yang lebay. Aku pernah merasa nyaman dengannya. Namun hanya sebentar, lalu di hapus dengan sikapnya yang kelewat lebay itu.
"Kan. Masih diam juga. Mikirin apa sih? Aku kan udah di samping kamu, Sayang," Raka menggenggam tanganku, aku pun langsung melepasnya.
Aku melempar Raka dan menyuruhnya berhenti. Namun dia tidak menghentikan mobilnya juga. Semakin menjadi, Raka malah menancapkan gasnya dan tidak peduli dengan keselamatan hidupnya. Pintu mobil terkunci, aku yakin dia sengaja agar aku tidak bisa keluar. Raka mengambil jalan sunyi, aku takut, dia pasti ingin berbuat sesuatu.
Mobil Raka berhenti di jalan yang sunyi. Hampir saja kepalaku terjedut ke laci mobil. Untungnya, aku masih bisa menghalau.
"Kamu apa-apaan sih Raka? Tadi kan Ibu kamu udah bilang ngga boleh kebut-kebutan di jalan."
"Kapan kamu menyayangi aku? Kapan? Kapan kamu mencintai aku? Hah? Kapan woi! Jangan diam aja! Punya mulut kan? Kenapa sih Saz? Kenapa? Kenapa lo masih aja mengunci hati lo buat gue? Apa kurangnya gue, Saz? Apa?," tangis Raka.
Raka menangis? Secengeng itu? Aduh. Aku makin jijik sama dia. Untuk apa coba dia menangis? Cinta boleh, tapi ya jangan menangis gitu juga. Apalagi dia cowok.
"Buka pintunya. Plis. Saya mau sekolah."
"Ngga! Jawab dulu pertanyaan gue, Saz."
"Kamu tidak boleh egois gitu dong. Ngga boleh memaksakan kehendak yang harus dituruti orang lain."
"Kamu juga ngga boleh ngunci hati kamu ke aku kaya gini! Kamu pikir aku cowok apaan yang selalu antar jemput kamu sekolah, tapi kamu pacarannya sama cowok lain? Hati kamu dimana? Hah?," bentak Raka.
Aneh, aku tidak menangis seperti pada waktu Fero membentakku kemarin. Mungkin karena di sini posisinya Raka yang menangis.
"Kalau begitu, belajarlah untuk membuatku jatuh cinta padamu, Raka. Jangan menangis seperti ini."
Raka menghapus air matanya dengan cepat. Sejurus kemudian dia kembali menyetir mobil dengan kecepatan sedang, tidak seperti tadi.
Pagi itu cerah, cerah sekali
Seperti wajah Raka
Merah padam bagai nyala api
Aku takut
Tuhan beri jalan buruk
Ternyata benar
Ketakutanku semakin menjadi.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”