Ada rindu yang menyisip di kalbunya. Pelan, memporak-porandakan sore harinya yang tenang. Syafira menatap pantulan diri dari balik kaca toilet itu dengan jengah. Tidak, dia tidak boleh kalah. Kalah dengan hatinya.
Beberapa bulan belakangan ia sudah bisa menata hatinya, walau dengan susah payah. Satu sapaan tidak akan bisa menggoyahkannya. Mantan kekasihnya itu tidak berhak atas perhatian dan perasaan apapun lagi darinya. Tidak sedikit pun.
Pelan Syafira membasuh tangannya. Jemarinya lincah menekan sabun di sisi kirinya. Bergerak perlahan menekan tombol washer. Sekali lagi mematut cermin memastikan penampilannya sempurna sebelum ia beranjak.
Matanya menyapu sekeliling kafe. Beberapa detik matanya awas memindai. Tujuannya satu. Meja bundar dengan dua kursi berhadapan, dekat jendela. Tempat di mana ia seharusnya bertemu dengan clientnya. Seharusnya ia bisa tenang seperti biasanya ia menghadapi client-nya. Tapi kali ini berbeda. Sama berbedanya dengan situasi mereka saat ini.
"Maaf agak lama menunggu." Laki-laki berkemeja navy itu mendongakkan kepalanya sejenak, menggeleng pelan. "It's okay. Jadi, bisa kita lanjutkan pembicaraan kita?" Syafira mengangguk mantap, kembali mendudukkan diri di kursi dan memulai pekerjaannya, secara profesional. Melepaskan segala atribut masa lalunya.
Lama Syafira terdiam, menyimak penyampaian clinet di hadapannya ini. Sesekali ia menahan napas. Juga menahan gejolak hatinya yang mengeruh. Syafira mengetatkan tautan jemarinya di bawah meja. Mengatur luapan emosi di hatinya. Mengulas senyum, sebelum menyampaikan rencana anggaran biaya pembangunan rumah clientnya ini. Sebagai seorang arsitek ini tugasnya, terlepas siapa pun client di hadapannya. Walau seseorang itu adalah bagian dari masa lalunya.
Syafira keliru, walau seseorang di hadapannya kini adalah masa lalu nyatanya ia masih mengikatnya dalam kenang. Melilitnya dalam bayang, juga dalam rangkaian angan yang ia tangisi tiap pagi menjelang. Serta rentetan seandainya yang tak henti ia panjatkan.
Sayangnya, Syafira hidup dalam kenyataan. Bersama fakta yang menuntut identitas pembuktian. Bukan fantasi yang kerap ia angankan. Laki-laki itu, bukan lagi untuknya. Bukan lagi bagian dari hidupnya. Sejak ia memilih pergi, melepas genggaman Syafira yang erat meminta penjelasan.
“Kira-kira kapan bisa dimulai pembangunannya?” Laki-laki itu berujar pelan setelah menandaskan isapan terakhir kopi hitam pekat dari cangkirnya. Bahkan Syafira masih merekam jelas momen serupa ini. Bersama kopi hitam pekat favorit laki-laki itu dan macchiato kesukaan Syafira.
“Akan segera kami hubungi setelah pihak kontraktor membalas surel dari firma arsitek kami, Pak.” Syafira tersenyum singkat, merapikan ipad, blocknote, alat tulis, dan beberapa berkas di atas meja ke dalam tasnya. Mereka bangkit dan saling bertukar salam. Syafira beranjak pergi, menuju mobilnya yang terparkir di depan kafe. Namun, langkahnya terhenti saat telinganya mendengar panggilan itu.
“Afi,” napasnya tercekat di tenggorokan. Syafira menghentikan langkahnya sejenak. Tidak ada yang memanggilnya demikian selain laki-laki itu. Pelan, kaca-kaca merebak di sudut matanya. Ia menguatkan genggaman jemarinya di tas, membalikkan diri dan menatap laki-laki itu.
“Intan sudah melahirkan, dua bulan yang lalu, bayi kami laki-laki,“ laki-laki itu menjeda kalimatnya. Syafira berbalik dan menatap laki-laki itu penuh tanya. Sesungguhnya ia tak ingin mendengar nama itu di sebut, terlebih dari laki-laki ini.
“Aku tau, maaf tidak akan cukup. Tapi aku tetap ingin meminta maaf atas kesalahanku padamu. Aku selalu berharap, kamu akan menemukan orang yang tepat dan hidup bahagia.” Syafira megetatkan buku-buku jarinya. Hatinya tidak baik-baik saja. Amarah dan luka kembali terbuka di hatinya. Ia kembali melanjutkan langkahnya yang tertunda, meninggalkan laki-laki itu di belakangnya.
Meninggalkannya seperti ia meninggalkan kenangan mereka. Menghempaskan nama yang melukai hatinya seperti ia sekuat tenaga menghempaskan sakit hatinya.
Merelakan masa lalu yang tak berujung indah, hingga ia mampu menerima luka itu menjadi bagian dari dirinya. Seperti laki-laki itu, Syafira pun berharap dirinya sendiri akan bahagia.
Di dalam mobilnya, Syafira tersedu. Bahunya berguncang. Isakan lolos tanpa bisa ia tahan. Tangannya mengepal di atas kemudi. Lagi-lagi ia tergugu. Tekadnya belum sebulat itu. Lukanya belum benar-benar sembuh. Hatinya masih belum baik-baik saja. Walaupun ia telah meyakini sebelumnya, bahwa ia akan baik-baik saja dalam pekerjaannya ini.
Syafira, masih belum bisa. Laki-laki itu, adalah torehan luka yang tak ingin ia beri hak untuk menyiksanya sedalam ini. Tidak lagi. Tapi, ia belum sanggup.
Syafira membeku, menyaksikan seorang perempuan yang menggendong bayi berjalan mendekat menghampiri laki-laki berkemeja navy. Mereka bertukar senyum, berpelukan singkat, kemudian hilang dalam SUV putih. Seperti apa yang laki-laki itu katakan, Syafira harus bahagia. Itu adalah haknya. Termasuk melupakan kenangan menyakitkan antara dua orang yang dulu sangat berharga baginya. Cukup sekali ini. Ia tak mau luka itu mengikis kewarasaannya, mencabut bahagia yang ia upayakan, dan mengikatnya dalam keputusasaan.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”