Bagaimana Saya Bertahan Hidup di Tengah Hutan?

Selama 1 tahun 3 bulan saya mengabdi sebagai dokter PTT di Teluk Bintuni, Papua Barat. 1 tahun saya mengabdi di RSUD Teluk Bintuni dan 3 bulan sisanya saya mengabdi di Puskesmas Tuhiba, salah satu distrik di Bintuni. Distrik Tuhiba berjarak kurang lebih 20 kilometer dari kota Bintuni dengan perjalanan darat, naik ke arah gunung.

Advertisement

Akses ke Tuhiba berupa jalan pasir atau tanah relatif baik bila cuaca cerah, tetapi jadi nestapa bila cuaca hujan. Perjalanan yang seharusnya bisa ditempuh dalam 1 jam naik ojek, bisa jadi 2-3 jam dengan naik turun ojek alias harus jalan kaki sebagian menembus lumpur.

Tetapi distrik Tuhiba merupakan salah 1 distrik terdekat dari kota Bintuni, jadi ini masih belum apa-apanya dibanding rekan sejawat saya yang lainnya.

Di Tuhiba, listrik hanya menyala 12 jam sehari dengan tenaga diesel. Mulai dari saat mulai gelap sampai subuh kira-kira jam 5 pagi.

Advertisement

Tidak ada warga yang memiliki genset sendiri. Hanya puskesmas yang mempunyai genset tetapi itu pun sudah rusak. Lagipula BBM mahal jadi tidak efisien menggunakan genset untuk operasional puskesmas.

Hampir tidak ada sinyal sama sekali di sana, kecuali di beranda rumah pegawai PLN, di dekat tiang rumah sebelah kiri.

Advertisement

Untuk permasalahan air, ada beberapa sumur di desa. 1 sumur bisa digunakan untuk beberapa rumah bersama-sama tetapi air sumur ini juga biasanya menjadi keruh kalau hujan jadi saya lebih suka menggunakan air hujan.

Untuk berangkat ke Tuhiba, saya sudah punya ojek langganan (berkat info dari dokter Tuhiba sebelumnya). Namanya Pak Akis. Beliau adalah ojek spesialis akses arah gunung. Motornya sudah dimodifikasi, bannya sudah diganti racing supaya bisa melewati segala macam rintangan ke arah gunung.

Keahliannya bisa saya katakan mengalahkan atlet motocross atau downhill karena beliau bisa melewati area lumpur, yang menurut saya tidak mungkin dilewati dengan mulus tanpa membuat saya harus turun dari motor. Jangan lupa bukan hanya saya yang diangkutnya, tetapi juga segala bawaan saya: air 1 galon, telur 1 rak, bahan-bahan makanan saya yang lainnya dan obat-obatan. Biayanya hanya 50 ribu rupiah kalau ke Tuhiba.

Di Tuhiba, hanya ada 1 warung makan, menjual bakso. Jadi untuk makanan saya sehari-hari saya harus masak sendiri. Yups, ini mungkin sedikit mengejutkan bagi orang-orang. Bahkan termasuk sahabat-sahabat sendiri, karena dari penampilan luar saya terlihat seperti orang yang bila memasak air pun gosong. Harus saya akui, memasak memang bukan hobi saya. Saya tidak punya ketelatenan a la masterchef untuk menghias piring makan saya, tetapi saya sangat bisa memasak. Bagi saya, yang terpenting makanan itu bisa saya makan (tanpa membuat saya diare atau keracunan). Saya mulai belajar memasak saat saya kuliah. Awalnya memang horor, masak kangkung tidak cukup matang, masak sup rasa obat cina, tetapi lama-kelamaan dibantu oleh Chef Farah Quinn, saya mulai bisa memasak. Sampai saat saya harus tinggal di hutan Tuhiba, saya sudah bisa memberi makan diri saya sendiri.

Kemampuan lain yang cukup membantu saya di sana adalah kemampuan berkomunikasi yang baik. Sumur yang bisa saya pakai berada kira-kira 50 meter dari rumah dinas saya. Badan saya kecil, saya tidak sanggup kalau harus bolak-balik mengangkat ember berisi air untuk kebutuhan saya mandi. Maka saya meminta bantuan kepada warga setempat untuk membantu memperbaiki pompa air milik puskesmas, agar bisa disambungkan dengan selang langsung ke kamar mandi rumah dinas saya. Selain itu saya juga meminta dipasangkan keran pada profile tank di belakang rumah dinas saya agar saya bisa menggunakan air hujan yang ditampung di situ. Alhasil, saya memiliki 2 sumber air yang bisa saya gunakan.

Saya juga minta bantuan dari kepala puskesmas saya agar anak perempuannya mau tidur di rumah saya untuk menemani saya. Terus terang saja, saya takut juga tinggal sendirian di rumah dinas di tengah hutan.

Coba bayangkan bila saya tidak bisa mengkomunikasikan segala permasalahan saya dan menemukan solusi dengan bantuan warga sekitar. Mungkin badan saya sudah berotot karena setiap hari harus mengangkat ember air dan saya sudah berteman baik dengan gendruwo atau kuntilanak dari hutan Tuhiba.

Kemampuan lain yang tak kalah penting adalah kemampuan mencari kegiatan. Jam operasional puskesmas Tuhiba biasanya antara jam 8 pagi sampai jam 12 siang. Setelah puskesmas tutup, saya harus mencari kesibukan agar tidak bosan di dalam rumah tanpa listrik sampai Maghrib nanti. Saya biasanya membaca banyak buku karena membaca adalah salah satu hobi saya. Kadang-kadang saya menjahit cross–stitch untuk hiasan taplak meja atau sarung bantal di rumah. Kalau sore-sore sudah tidak terlalu panas saya berkebun, menanam singkong, ubi atau kangkung. Ya, lumayan buat saya masak kalau sayur yang saya bawa dari kota sudah habis. Kalau listrik sudah menyala, baru saya bisa menonton televisi.

Sebenarnya hidup di pedalaman seperti di Tuhiba sangat menyenangkan. Suasananya tenang sekali. Tidak ada yang memburu-buru atau bekerja tergesa-gesa karena waktu bukan uang di sana. Waktu dijalani dengan seperlunya, sesuai kebutuhannya, sesuai kenyamanannya. Semua warga saling mengenal, semua warga bersedia saling membantu. Tetapi saya biasanya tidak bisa tinggal terlalu lama di sana, berkaitan dengan bahan makanan. Biasanya dalam 2 minggu bahan makanan saya sudah habis jadi saya harus kembali ke kota. Maka, sehari atau 2 hari sebelum rencana saya kembali ke kota, saya akan mampir ke rumah pegawai PLN, menumpang cari sinyal di beranda rumahnya dekat tiang rumah sebelah kiri untuk menghubungi Pak Akis untuk menjemput saya kembali.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Dokter. Perantau. Peduli Perempuan.