Kembali ke Jakarta, Merayakan Perpisahan yang Ternyata Selamanya

Tidak ada yang bisa benar-benar melupakan masa lalu kecuali hilang ingatan -Boy Candra

Awal Maret 2020 aku memutuskan untuk pindah  ke Yogyakarta. Niat awal karena dari dulu memang punya mimpi untuk menetap di sana. Karena satu dan lain hal, baru “berani” ambil keputusan pada saat itu. Yah, dia. Dia yang kuperjuangkan dan yang kupertahankan pada saat itu.

Advertisement

Kota di mana tidak ada yang mengenal aku dan dia, membuat habit baru, mewujudkan mimpi-mimpi yang sudah terancang secara matang. Meski waktu ini aku sudah di Jogja, lantas kami belum bertemu karena dia masih di salah satu kota di Jawa Tengah.

Tanggal 8 Maret 2020, kami ketemuan di daerah Jawa Tengah, rencana kami hari itu pergi ke Wisata Kaliurang. Entahlah apa memang sudah takdir dan firasat ini tidak baik pada saat aku baru keluar dari kost. Saat itu hujan cukup lebat dari subuh, namun karena aku sudah ada janji, selain itu aku sudah kangen karena kami belum bertemu.

Nekat. Itu yang kulakukan, entahlah sepanjang jalan hujan masih menguyur saja. Seperti semesta memang tidak pernah mengijinkan kami bertemu saat itu. Berangkat ke Kaliurang dengan rute melewati Waduk Sermo, Wates. Kemudian melewati Kebun Salak. Hampir sampai Kaliurang, dikarenakan jalanan yang tidak memungkinkan untuk dilalui motor biasa, kami putar haluan ke Wisata Kali Adem, walau kondisi jalanannya tidak jauh beda, setidaknya masih bisa kita paksakan.

Advertisement

Senang? Iya, karena selama aku ke Jogja belum pernah ke daerah Kaliurang dan Kali Adem. Tetap saja perasaan tidak bisa di bohongi, kita pergi dengan membawa beban pikiran masing-masing. Dari sana kita berniat mampir ke salah satu kafe. Untungnya kesukaan kami itu sama, yaitu ngopi, bedanya aku tidak bisa minum kopi hitam. Kopi yang biasanya kami nikmati begitu enak dan pasti memiliki ciri khas, namun kali ini kopi yang kami minum benar-benar pahit, padahal standar yang kami pesan adalah Coffee Latte Ice.

Bagaimana tidak pahit rasa kopi tersebut, karena saat itu kita membahas tentang perpisahan sementara. Apa? Kenapa? Bagaimana? Kok bisa? Terus aku harus bagaimana? Apa yang harus aku lakukan agar hal itu tidak terjadi? Jawabannya tidak ada yang bisa kulakukan.

Advertisement

“Kita masih berjuang kok, kali ini untuk diri kita masing-masing dulu”

Ya kurang lebih waktu itu dia bicara seperti ini, hehehe.

“Lho, kok? Aku kira kita disini sudah tinggal mewujudkan saja mimpi-mimpi yang sudah kita bangun?” tanyaku dengan rasa penolakan perpisahan sementara itu, maklum lagi esmosi yaa.

Tidak ada kata-kata dan pesan-pesan lagi dari dia, lalu aku mengantarkannya untuk naik bus menuju Jawa Tengah. Tidak ada kata “sampai jumpa”, “tunggu aku”, “selamat tinggal”, “kita selesai” dan kata-kata perpisahan pada umumnya. Benar saja sehari setelah kami bertemu, dia langsung sulit dihubungi bahkan sampai detik ini.

Pikiranku yang kacau, belum dapat kerjaan, tidak punya siapa-siapa, belum punya teman curhat. Percayalah Jogja yang tadinya begitu indah seketika berubah menjadi kota pilu, sepanjang jalan yang dilewati, yang dulu pernah aku dan dia lewati berubah jadi sebuah gambaran pilu.

Kurang lebih seminggu setelah kejadian itu, aku memutuskan balik ke Jakarta. Tak pikir panjang, aku pesan tiket kereta dan menikmati detik-dekit terakhir Jogja yang begitu pilu saat itu. Sesampainya di Jakarta aku memutuskan untuk mencari pekerjaan, alhamdulilah seminggu kemudian aku bekerja di salah satu perusahaan swasta di daerah Jakarta.

Satu atau dua minggu kemudian Indonesia lockdown karena kondisi darurat Covid-19. Padahal sebelumnya aku mikir, bagaimana aku bisa melewati jalan-jalan di Jakarta yang pernah aku dan dia lewati, datang ke tempat-tempat yang pernah aku dan dia datangi. Jakarta adalah gudang kenangan hehe lebay. Namun dengan Jakarta di lockdown aku malah tidak bisa kemana-mana, mungkin itu adalah rencana terbaik Allah SWT untuk menyembuhkan luka-luka ini, apa sihhhh.

Hari demi hari, minggu demi minggu, lalu sampai bertemu dengan bulan demi bulan, dia makin tidak bisa di hubungi. Sampai pada hari Raya Idul Fitri, terpasang di status WAnya foto dia dengan seorang wanita, dengan pose mencium kening wanita tersebut. Cuma satu pertanyaanku saat itu, “kenapa tidak ada kata selamat tinggal, agar aku tau sampai kapan aku harus menunggu dia” udah, tidak lebih. Toh katanya kami masing-masing sedang berjuang, entah berjuang demi apa yang dia maksud.

Aku sibukkan hari-hariku dengan mengikuti banyak kelas online tentang agama, pengenalan diri, cara memaafkan diri sendiri dan orang lain. Entah kebetulan atau tidak, ini seperti takdir yang sudah Allah SWT kasih ke aku untuk “menemukan jalan hijrahku”.

Pertanyaan tentang, kenapa dia tidak menghubungiku bukan untuk agar dia kembali, tapi hanya sekedar mengucapkan selamat tinggal, apa dia sepengecut itu? Sampai pada aku mengerti dengan kata-kata.


“Jatuh Cinta itu adalah fitrah, kita tidak bisa memilih dengan siapa kita jatuh cinta, namun kita bisa memilih/ memutuskan bagaimana selanjutnya untuk menghadapi perasaan itu”.


Dan aku memutuskan untuk berhenti mencintainya. Percaya? Ya aku mempercayainya, urusan nanti dia datang lagi atau tidak, hati ini tidak lagi untuk dia. Yang saat ini aku rasakan adalah bahagia, karena aku bisa memaknai kehilangan saat itu, bisa menerima dan mengikhlaskan walau tidak bisa benar-benar bisa lupa, namun memang harus seperti itu dulu.

Andai aku tidak pindah ke Jogja, tidak ngotot untuk membangun mimpi-mimpi, andai aku menetap saja di Jakarta sedari dulu, hmm kan tidak boleh berandai-andai hehe. Mungkin kalau semua itu tidak terjadi, aku tidak akan menemukan jalan hijrahku sampai saat ini, memaafkan diri sendiri dan orang lain tentunya. 

Masa lalu itu tidak bisa di lupakan kecuali hilang ingatan, masa lalu itu di ikhlaskan, dijadikan pembelajaran untuk diri menjadi lebih baik di masa mendatang.

Hei kamu, iya kamu, aku sudah berhenti menyalahkanmu atau menyalahkan diriku sendiri. Kini aku bisa lihat, bahwa Allah tidak  pernah mengutusmu untuk menyempurnakanku, Allah hanya mengutusmu sebagai guru sebelum aku bertemu dengan pendamping hidupku yang sebenarnya.


“Salam untuk dia yang kini menjagamu, untuk buah hatimu yang sedang mengejar bahagia, kuharap kau baik-baik saja di sana. Dan soal aku, jangan khawatir. Alam semesta mempunyai rencana yang lebih besar untukku.”


Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Jatuh cinta itu suatu keputusan