Ayah, adalah pahlawan bagi setiap anak perempuannya dan teladan untuk anak laki-lakinya. Itu lah yang orang-orang defenisikan dengan kata Ayah. Ayah, seorang laki-laki yang takj pernah menyakiti anak perempuannya, apapun permintaannya pasti dikabulkan. Tanpa peduli berapa peluh keringat yang harus kau keluarkan demi mewujudkan setiap permintaannya. Ayah, mumgkin sosok yang disegani tetapi berhati lembut untuk anak-anaknya. Karena ayah adalah segalanya bagiku.
Aku adalah seorang anak bungsu dari 6 bersaudara, dan orang-orang memanggilku Ifa. Iya, itulah namaku Ifa, Aku hidup dengan keluarga yang berkecukupan bahkan dengan keluarga yang begitu ramai. Tapi entah kenapa bagiku mereka,saudara-saudaraku begitu asing buatku. Aku bahkan tak mengingat kenangan yang kami ciptakan beersama, kenangan seperti keluarga harmonis lainnya.
Ayahku seorang petani, kesehariannya pergi ke sawah dan kebun. Ibuku seorang ibu rumah tangga yang berjualan kue untuk melengkapi kebutuhan keluarga. Saat itu aku masih kecil, bahkan sedikit kenangan yang tersisa di memoriku. Entahlah apa yangn terjadi, ingatanku begitu buram tentang masa laluku. Aku dibesarkan dari keluarga biasa, mungkin keluarga sederhana tapi entah kenapa bagiku itu seperti keluarga yang tidak mampu. Kami berjuang masing-masing untuk melanjutkan sekolah, untuk menggapai cita-cita yang kami gantung tinggi.
Setiap dari kami punya kesibukan masing-masing. Kami masih menjadi siswa tapi sudah punya beragam kesibukan. Aku dan kakakku Ina selalu berjualan kue di sekolah sedangkan abang-abangku kerja serabutan, terkadang ke kebun, ke pasar untuk menjajakan hasil kebun. Bahkan kami tak punya waktu untuk bermain, setiap pagi kami bersekolah, sepulang sekolah kami membantu ibu membuat kue. Yang paling menyebalkan bagiku adalah harus bangun setiap subuh untuk menggoreng kue. Saat itu aku masih SD, mungkin ini terlalu berat untukku. Tapi tak ada dari kami yang membantah, karena kami tau untuk terus bersekolah kami harus punya uang dan untuk mendapat uang kami harus berjuang bahkan lebih dari mereka, teman-teman yang sebaya dengan kami.
Mungkin itu adalah awal perjalanan kami untuk menggapai cita-cita yang kamu gantung di langit. Mungkin awal perjalanan untuk membahagiakan ibu dan ayah kami. Bahkan kami tidak pernah mengeluh apapun tentang kehidupan ini.
Ayah, pada saat itu masih seorang yang asing bagiku. Kami tinggal serumah tapi tidak pernah menyapa apalagi mengobrol atau bahkan bercanda bersama seperti ayah-ayah lain. Ayah hanya fokus dengan sawah dan kebunnya, bahkan bagiku ayah seperti tak peduli dengan kami. Dimana pengorbanan seorang ayah disaat kami berjuang untuk meraih pendidikan yang layak. Tak ada, itu yang aku rasakan, untuk sekedar jajan saja tak ada dari Ayah. Kami kumpulkan uang sekeping-sekeping dengan keringat kami untuk menggapai cita-cita kami.
Sampai akhirnya kami mulai beranjak dewasa. Setelah lulus SD aku memutuskan untuk masuk sekolah asrama. Aku merasa rumah bukan tempat yang nyaman untukku. Setiap hari yang ku dengar hanya teriakan-teriakan bahkan maki-makian, entah apa yang ibu dan ayahku ributkan sehingga menimbulkan pertengkaran-pertengkaran itu. Aku tumbuh menjadi anak yang berbeda dari kakak-kakakku. Mungkin mereka anak yang baik, pekerja keras, rajin, sehingga membuat mereka sukses lebih cepat dariku. Aku?? Hei, Aku juga anak yang seperti itu, aku orang yang akan melakukan apapun untuk impianku, orang yang tak pernah menyerah dengak kehidupan seperti ini, orang yang punya semangat paling tinggi di keluargaku. Tapi tiba-tiba semuanya berubah, setelah aku kehilangan ibuku. Ya aku kehilangan penyemangatku, aku kehilangan rumah nyamanku, aku kehilangan harapanku, aku tak mengerti mengapa ibu pergi begitu cepat. Beliau meninggal disaat kami belum sukses, disaat kami masih harus berjuang demi cita-cita yang kami gantung itu.
Perlahan sikapku mulai berubah, aku yang dulu anak penurut berubah 180 derajat. Kini aku tumbuh menjadi anak pembangkang, anak nakal, anak yang tak punya kasih sayang. Bagiku kehilangan seseorang yang begitu ku sayang sangat berat, aku bahkan tak percaya beliau sudah pergi, aku tak pernah ikhlas beliau pergi bahkan sebelum melihatku sukses. Perasaan-perasaan itu mulai berkecamuk di batinku sehingga membuatku menjadi pembangkang. Aku bahkan tak dekat dengan saudara-saudaraku, mereka begitu asing bagiku. Siapa mereka? Siapa mereka yang masuk ke kehidupanku? Bahkan mereka seperti orang baru yang tak bisa ku terima.
Aku mulai berhenti berjuang, aku mulai berhenti memikirkan masa depan. Yang aku pikirkan adalah sesuatu yang bisa kudapatkan dengan mudah. Aku mulai terbiasa menuntut mereka, kakak-kakakku dengan berbagai macam permintaan. Aku tak peduli seberapa susahnya mereka, yang ingin ku tau hanyalah semua permintaanku di penuhi.
Di asrama, aku seorang anak yang nakal, pemalas, dan suka bermain. Setiap peljaran yang membosankan aku selalu tidur, ironisnya bahkan guru pun tak sanggup membangunkan kami yang tertidur pulas saat pelajaran berlangsung. Jika catatan kami tidak lengkap kami hanya perlu meminjamnya dari mereka-mereka si kutu buku yang sangat rajin. Bila ujian tiba banyak cara yang kami lakukan. Entah kenapa semua terasa begitu mudah untuk kami para-para geng pemalas. Apa yang kami pelajari selama SMA? Aku rasa tak ada yang begitu berharga, kami hanya menghabiskan waktu SMA untuk bersenang-senang sampai kelulusan.
Hei, ini Cuma ceritaku! Bukan novel yang begitu romatis, atau yang begitu religius, atau yang begitu bijak, atau bahkan yang begitu sempurna dengan syair-syair dan puisi-puisi yang memukau. Aku bahkan tak tau bagaimana menulis novel atau artikel atau apapun namanya itu, Aku tak begitu dekat dengan hal-hal seperti itu. Aku bahkan malas membaca, itu terasa sangat membosankan bagiku sampai membuat kepalaku sakit. Huruf-huruf yang disusun menjadi kata-kata dalam kalimat-kalimat seperti menari-menari dikepalaku sampai terkadang membuatku mual.
Mei 2011 tahun kelulusanku, tahun aku melepaskan status siswaku. Tapi aku masih punya mimpi ynag besar. Aku menjadi seorang dokter ahli bedah, entah kenapa aku tertarik dengan hal yang semacam itu. Bagiku profesi itu terlihat keren dan sangat menantang keberanianku. Ku mulai coba keberuntunganku dengan mengikuti beragam beasiswa yang ada, tapi sayangnya itu bukan akhir yang indah atau bahkan awal yang buruk. Kenyataannya aku tidak lulus, ya aku tidak lulus. Saat itu aku mengambil ujian untuk beasiswa kedokteran di Universitas Indonesia, tapi bagaimana bisa seorang pemalas sepertiku bisa lulus di ujian itu? Aku tak pernah punya persiapan apa-apa, yang aku punya hanyalah mimpi yang kosong tanpa ada isi. Well, aku mulai menyerah disitu dengan kondisi ekonomi keluargaku yang tidak begitu baik. Bahkan aku harus menyerah untuk masuk universitas apapun. Hei, tapi itu bukan aku yang menyerah begitu saja, ingat kan?? Aku selalu menuntut semua keinginanku dengan caraku sendiri.
Akhirnya aku masuk di kampus ternama di kotaku, tapi dengan jurusan yang berbeda. Dari kedokteran kemudian aku balik arah menjadi programmer atau animator, atau bahkan gamer. Itu yang aku pikirkan sehingga aku memilih jurusan multimedia.
Aku mulai menjalani hariku menjadi mahasiswa. Haaa, aku mahasiswa! Rasanya begitu senang dengan status itu tanpa tau apa yang akn dialami oleh mahasiswa. Itu menjadi awal perjalanan panjangku. Aku masih bukan dari keluarga yang berada, masih banyak perjuangan yang harus ku jalani.
Seiringnya waktu Aku mulai dewasa, aku mulai berubah, Aku mulai mengerti pengorbanan dan perjuangan saudara-saudaraku. Mereka yang dulu asing bagiku kini menjadi orang yang paling kubutuhkan di sisa umurku. Tanpa mereka aku bukan apa-apa, tanpa mereka aku tidak bisa berdiri disini, menjadi seorang mahasiswa dengan gelar sarjana.
Aku mulai kehidupan baruku di masa-masa kuliahku. Aku mulai mengerti perjuangan ini begitu berat, bahkan aku harus terus berjuang walaupun harus merangkak sekalipun. Betapa senangnya aku menjadi mahasiswa, bertemu teman-teman baru yang mungkin senasib denganku, bertemu teman-teman yang begitu menyenangkan menghabiskan waktu bersama. Kami mulai susun cita-cita yang baru bahkan jauh lebih tinggi, kami pupuk cita-cita itu dengan kerja keras dan usaha kami. Aku sadar aku tak akan berhasil hanya dengan ketawa-ketawi mencari kesenangan baru dan bermalas-malasan. Aku mulai semuanya dari awal, ku pupuk cita-citaku dengan pupuk yang tepat dengan harapan akan tumbuh menjadi indah, tumbuh menjadi buah perjuangan yang begitu manis.
Disaat inilah ayahku hadir, ayahku yang menjadi penyemangatku. Mungkin dulu aku tidak mengerti dengan sikapnya, bahkan aku menganggapnya tak pernah menyayangiku. Mungkin itu karena aku masih terlalu kecil untuk memahami sikapnya, untuk mengerti kasih sayangnya. Tetapi sekarang aku mengerti bagaimana kasih sayang orang tua untuk anaknya, mereka tak peduli apa yang di pikirkan sang anak, yang mereka pikirkan adalah menjadikan mereka lebih sukses darinya di kehidupoan selanjutnya. Ayah mulai membantu kebutuhan-kebutuhan perkuliahanku, baik itu dengan doa atau pun dengan ekonomi yang seadanya.
Aku tanam semangat yang begitu tinggi, aku tata rencana masa depanku dengan begitu rapi, aku susun mimpi-mimpi besarku dengan begitu sempurna, sampai aku lupa siapa aku, apa aku ini sehingga aku begitu yakin bermimpi dengan mata terbuka di siang hari. Tapi apapun itu tak meredupkan semangatku untuk terus berjuang menggapai semua yang aku semai dalam hati dan jiwa ini.
Dengan semangat yang mengebu-ngebu aku belajar dengan rajin, bahkan mungkin melebihi kapasitasku. Bagiku seorang yang memiliki IQ rata-rata harus berusaha mati-matian untuk mewujudkan mimpi itu. Mungkin bagi mereka, teman-temanku yang lain itu mudah, tapi tidak untukku, kadang aku harus berusaha bahkan di luar batas kemampuanku. Karena aku yakin aku bisa, aku bisa mewujudkan semua mimpiku. Aku mengerjakan tugas akhirku dengan penuh keyakinan, terkadang timbul rasa malas untuk berkonsultasi dengan dosen atau kadang mengerjakan revisi, tapi dengan mengingat mimpi, ayah, dan keluargaku semua sirna. Kemalasan itu seakan hilang ditelan bumi, mereka menjadi penyemangatku untuk membahagiakan mereka dengan memakai toga dengan gelar sarjana. Siapa yang tidak bahagia disaat ada tambahan huruf di belakang namamu, huruf yang kau perjuangkan bertahun-tahun, ya hanya beberapa huruf saja tapi butuh perjuangan yang panjang bukan?
Oktober 2015 hari dimana aku memakai toga lengkap dengan kebaya dan dandanan menorku. Hari yang bahagia untukku, hari yang kunanti-nantikan datangnya akhirnya tiba. Tapi lagi-lagi kesedihan datang menerpaku. Aku sudah lulus, hari ini hari wisuda tapi siapa yang ikut menangis haru atau tersenyum bersamaku ketika memakai toga ini, siapa yang akan melihatku berdiri di panggung sana menerima ijazahku? Ibu, aku mulai mengingatnya, mulai merindukannya, bahkan aku ingin melihatnya tersenyum bangga melihatku dengan kebaya dan toga ini. Aku ingin mendengar kata-kata yang bahagia darinya, kata-katanya yang nmampu mengantarkan aku ke gerbang kesuksesan. Ayah, dimana ayah?. 2 tahun lalu ayahku jatuh sakit, dia terkena stroke dan membuatnya tak mampu berjalan dengan sempurna kembali. Aku tak tau bagaimana persis kejadiannya, karena saat itu aku sedang liburan di rumah kakakku. Pagi itu tiba-tiba kami mendpatkan telepon yang membuatku menangis, bagaimana tidak? Aku tak tega melihat orang tuaku satu-satunya sakit, melihat orang ku sayangi terbaring lemah tak berdaya. Semenjak itu aku mulai merawatnya, bagaimana pun dia dulunya, bagaimana pun sikapnya kepadaku, dia tetap ayahku, dia tetap menjadi ayah terbaik bagiku, tetap menjadi pahlawanku.
Hanya abangku dan istrinya saja yang datang pada hari bahagia itu. Aku tidak egois lagi, aku tidak meminta semuanya hadir, mereka saja sudah cukup bagiku. Walaupun hanya sebentar tak apa-apa, walau hanya 1 lembar foto sudah cukup menjadi kenangan manis itu. Karena kenangan itu akan selalu melekat di memori ini.
Perlahan mulai ku rajut mimpiku satu persatu, aku ingin menjadi seorang programmer yang bekerja di perusahaan besar. Dan aku pun mulai dapat tawaran bekerja di perusahaan IT walaupun dengan statung karyawan training, tapi aku yakin aku pasti bisa melakukannya. Setelah ku diskusikan dengan saudara-saudaraku, lagi-lagi kekecewaan yang ku dapat. Karena kotaku bukan kota besar, aku hanya tinggal di pinggiran kota kecil di ujung Sumatera. Mereka tak mengijinkanku merantau, berbagai macam alasan mereka lontarkan tapi itu juga tak mebuat semangatku surut. Aku terus bersabar sembari berusaha di kota kecilku ini, walau kecil kemungkinan untuk meraih mimpiku di kota ini. Aku terus berdoa dan memupuk kembali keberanian untuk mengutarakan keberanian untuk pergi merabtau jauh meraih mimpi besarku yang selama ini ku tanam dan ku pupuk, berharap mimpi itu bisa tumbuh di ibu kota, tapi tak semua keinginan ku terwujud, tak semua mimpiku menjadi nyata. Lagi-lagi kecewa itu datang menghampiriku, bahkan kali ini aku jatuh lebih dalam, aku tak mampu berdiri lagi, aku mulai membenci mimpi-mimpiku yang terlalu tinggi, membenci cita-cita yang ku susun rapi menjadi berantakan tak karuan. Aku mulai menutup diri, aku mulai menghilang dari orang-orang di sekitarku, aku membiarkan mereka melupakanku dan hidup di tempat persembunyianku.
Ya benar, aku mulai menyerah, siapa aku sekarang?? Aku yang dulu punya semangat yang mengebu-ngebu, aku yang dulu pantang menyerah, aku yang dulu hidup dengan mimpi-mimpi besarku. Sedangkan mereka, teman-temanku satu persatu mulai bekerja, satu persatu mulai menyusun masa depan yang cerah, satu persatu dari mereka mulai menciptakan dunia barunya. Tiba-tiba aku terbangun dan tersentak dengan mimpi besarku ini. Apa ini terlalu tinggi untukku gapai? Apa ini terlalu besar untuk ku miliki?. Aku hanya ingin menjadi seorang yang membahagiakan mereka dengan kemampuanku, aku ingin bekerja di perusahaan-perusahaan besar seperti mereka di luar sana. Dulu itu menjadi defenisi arti kesuksesan bagiku. Ahhh! Betapa bodohnya aku saat itu.
Satu persatu kakak-kakakku mulai menasehatiku, mereka mulai membuka pemikiran baru di otakku. Seakan itu menjadi tamparan yang sangat perih di pipiku. Bagaimana mungkin kamu pergi jauh, sedangkan orang tuamu disini membutuhkanmu. Dia ayahmu satu-satunya, tidakkah kau ingin membahagiakannya? Tidakkah kau sadar apapun yang dilakukannya membutuhkanmu? Tidakkah kau sedih meninggalkannya sendiri di usia yang sudah renta?. Apa yang kau pikir, dia lah satu-satunya yang kau punya di dunia ini, yang menjadikanmu seperti ini. Begitulah kira-kira kata-kata yang ku ingat.
Mulai kuperhatikan yang dilakukan ayahku setiap hari, mulai ku perhatikan setiap detilnya. Dan kumenemukan jawaban yang membuatku menangis sepanjang malam. Bagaimana mungkin aku meninggalkannya yang sudah renta dan sakit-sakitan seorang diri hanya untuk mimpi-mimpiku. Ternyata betapa egoisnya aku selama ini, tak perbah memikirkannya, tak pernah menanyakan apa yang diingikannya, tak pernah mengerti apa yang diinginnkannya. Aku sadar, kesuksesanku bukan seberapa banyak uang yang kuhasilkan, bukan seberapa tinggi jabatanku, bukan seberapa banyak harta yang ku miliki, tapi kesuksenanku terbesarku adalah mampu membuatntya tersenyum sepanjang hari, mampu mengusir kesepian di sisa umurnya, mampu berada di sampingnya di setiap waktu. Bukankah derajat yang mulia disisi Allah mereka yang memuliakan ibu bapaknya. Aaahhh! Mengapa aku begitu bodh di perdaya oleh dunia, dunia yang fana, dunia yang hanya sementara, sehingga aku ingin mengorbankan hartaku yang paling berharga, ayahku. Iya, dia ayahku hartaku satu-satunya yang jauh berharga dari apapun di dunia ini. Seberapun banyak uang yang kau hasilkan tapi itu tidak akan mampu membeli waktumu bersama keluargamu, tidak mampu membeli ayahmu lagi, tidak mampu senyum dibibirnya kembali.
Aku belum terlambat, aku masih punya waktu yang akan ku habiskan bersamanya. Mungkin tak banyak waktu yang dia punya, tapi aku ingin menghabiskan waktu selama sisa hidupnya. Menemani di sisa umurnya, menjadi putri kecilnya yang selalu memanggil nama nya. Ayah, ayah! Hanya satu kata, tapi punya makna yang sangat dalam bagiku. Aku mulai bisa menerima takdirku, aku yakin janji Allah itu pasti. Semua direncanakan oleh sang Ilahi dengan begitu sempurna dan Dia telah menyiapkan sesuatu yang indah untukku.
Ayah, untukmu kutinggalkan duniaku. Ku kuburkan mimpi-mimpiku besarku. Ku rajut mimpi baruku bersamamu. Tak akan ku meninggalkanmu walaupun kita dipisahkan oleh sang Pencipta. Aku masih putri kecilmu, yang selalu merindukanmu. Ayah, kutinggalkan duniaku untukmu, kita ciptakan dunia yang akan kita rajut bersama. Ayah, kau tau?? Betapa besar cintaku untukmu, bahkan aku mampu mengorbankan segalanya hanya untukmu. Aku tau tak ada cinta tanpa pengorbanan, karena cinta ini membuatku kuat melawan dunia yang kejam, menghadapi dunia yang begitu pahit, melawan mereka yang tak sependapat denganku. Iya, itu karena cintaku untukmu Ayah. Cinta yang tak bisa ku gambarkan. Terima kasih engkau telah membiarkanku merajut mimpi itu, terima kasih telah membiarkanku menyusun cita-citaku, karena sekarang akau tau mimpi, tujuan, dan cita-citaku yang sebenarnya. Terima kasih ayah untuk cintamu yang tak pernah padam.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.