Ketika usiaku baru menuju lima tahun, ayah memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya kembali dan berpisah sementara dari aku, ibu dan adikku. Secara perlahan ibu menjadi sosok ayah juga ibu untuk kami di rumah. Terekam jelas diingatanku masa di mana alat komunikasi belum secanggih saat ini, alat transportasi juga belum sebanyak sekarang dan keuangan keluargaku juga masih pas-pasan.
Ayah yang melanjutkan pendidikan hasil dari perolehan beasiswa dan ibu kembali bekerja memenuhi kebutuhan keluarga. Aku sempat bertanya-tanya kenapa ayah meninggalkan kami untuk melanjutkan pendidikan dengan ibu harus bekerja kembali dan kini baru aku tahu semua jawaban dari pertanyaan itu. Bukan ayah lepas tanggungjawab tapi ayah mengajarkan kami pelajaran berharga.
Ayah mempercayai ibu untuk mendampingi tumbuh kembang kami tapi bukan berarti ayah melupakan perannya pula. Aku ingat satu kali dalam seminggu kami akan menelpon ayah ke warung telpon (wartel) untuk bercerita ke ayah. Kami ceritakan semua aktifitas yang kami lakukan dalam satu minggu. Ayah akan secara bergiliran mendengarkan ceritaku dan adikku. Barulah giliran ibu bicara ke ayah dan kami keluar bilik telepon untuk menunggu ibu.Â
Sekali dua kali aku ikut menguping pembicaraan mereka, terkadang ada sedikit isak tangis dari obrolan mereka. Aku tahu pasti peran ibu menjaga kami sangat berat dan baru beberapa tahun terakhir aku tahu kalau ayah juga menangis setiap kali menelpon ibu. Pasti ada keputusan besar yang mereka ambil atas semua kejadian yang telah kami lewati.
Saat ayah tak ada di rumah, aku dan adikku terbiasa untuk bersikap mandiri di rumah. Kami juga terbiasa jika ibu tak ada di rumah atau sedang bekerja kami menyelesaikan keperluan kami masing-masing. Hal yang ditanamkan ayah dan ibu ketika aku kecil dulu terus aku lakukan hingga kini. Saat giliran aku yang memutuskan untuk merantau dan meninggalkan rumah aku tahu bagaimana rasanya ayah ketika meninggalkan rumah. Bagaimana rasanya menyelesaikan keperluan sendiri, masak sendiri, mencuci sendiri bahkan belajar juga sendiri.
Aku pernah bertanya ke ayah, apakah ia tak berat hati ketika anak perempuannya merantau dan meninggalkan rumah? Ayah menjawab tak pernah merasa berat hati ia ikhlas karena anaknya berhak untuk belajar banyak dari lingkungannya. Meski kadang kala ayah merasa sedih karena tak bisa langsung mengantarkan anaknya sekolah, mengambil rapor anaknya, atau bahkan menemani anaknya belajar. Tapi ayah tahu anaknya akan belajar banyak hal dari semua ini. Itu jawaban dari ayah.
Ya, aku memang belajar banyak hal dari yang aku alami hingga kini aku yang sedang melanjutkan pendidikan dengan merantau ke kota lain. Kadang rasanya ingin pula diantar ayah ke kampus, memperkenalkan kampusku ke ayah tapi mungkin saat ini dengan menceritakan bagaimana aktifitasku dan kampusku itu semua sudah mewakili yang aku inginkan. Pelajaran inilah yang aku dapatkan yakni kemandirian yang sudah ditanamkan ayah menjadikanku mampu untuk merantau dan tetap beraktifitas dengan baik di perantauan.Â
Bohong jika tak ada tangis yang kadang kala hadir di sela-sela aktvfitasku dan aktivitas ayah dan ibu. Kesedihan ibu bisa saja terlihat kala aku sedang menelpon ibu dan ibu menginginkan aku pulang ketika ada libur kampus. Tapi kesedihan ayah tak pernah terlihat langsung, sering ayah basa-basa menghubungi hanya sekedar bertanya kapan aku akan libur semester, kemudian akan ke mana di libur semester, apakah akan pulang ke rumah atau tidak.
Dari ayah-lah aku belajar ikhlas dan bertanggungjawab atas semua keputusan yang sudah diambil. Terima kasih yah atas semua pelajaran keikhlasan dan tanggungjawab yang ayah ajarkan kepada kami.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”