Aku pernah mendengar kalimat yang konon katanya paling indah di dunia.
Seorang Ayah adalah cinta pertama anak gadisnya.
Kalimat itu memang indah apabila dibaca oleh mata yang setiap harinya melihat cinta kasih dari sang Ayah. Namun menjadi kalimat paling basi jika diperdengarkan pada gadis yang sejak kecil tak pernah merasakan cinta pertama itu. Termasuk aku.
Ayah …. Jika kau pikir akan ada maksud dan alasan mengapa aku menulis surat ini untukmu, maka bisa dipastikan kepekaanmu sebagai sosok Ayah rupanya masih ada. Namun maaf, ini bukan tentang kerinduanku pada Ayah.
Karena Ayah tak pernah menyempatkan waktu barang sehari saja untuk mengisi hariku, biar kujabarkan satu persatu tentang apa yang membentukku selama belasan tahun lamanya hingga aku menganggap kau bukan cinta pertamaku.
Tentu saja aku mengenali wajah Ayah. Bagaimana parasmu, perawakanmu, kulit sawo matangmu yang mengkilau ketika berhasil menangkap seekor ikan besar di lautan menambah rasa manis pada senyuman wajahmu di balik bingkai foto itu.
Ayah tahu? Ibu selalu membanggakanmu ketika aku bertanya tentangmu, Ayah. Beliau selalu mengatakan bahwa kau adalah pria hebat yang sudah menaklukan banyak penjuru pulau dan berhasil mengarungi samudra. Termasuk menaklukan hati Ibu hingga kau memilih untuk melabuhkan kapalmu padanya. Lalu aku hadir dari hasil cinta suci kalian.
Tiap aku bertanya pada Ibu, beliau selalu menjawabnya dengan penuh kelembutan hingga terukir senyum manis di wajahnya. Seringnya, Ibu menceritakan tentang Ayah ketika mengikat rambutku dengan pita meski kala itu aku sudah berada di tahun akhir sekolah.
Walaupun dikenal sebagai orang yang bersikap dingin, namun Ayah peduli dan perhatian pada ponakan atau adik-adik Ayah yang masih kecil dan tak pernah pelit untuk berbagi jajanan yang mahal sekalipun.
"Ayah lebih sayang ponakannya ketimbang aku ya, Bu?"
"Kenapa bilang begitu?"
"Ayah nggak pernah memberikanku jajanan dan nggak pernah menanyakan kabarku. Kapan kapal Ayah berlabuh, Bu? Aku pengen Ayah pulang …."
Kalau kuingat lagi, aku baru sadar bahwa saat itu Ibu tersenyum pahit. Berusaha menyembunyikan kenyataan bahwa kapal Ayah dari anak gadisnya ini takkan pernah kembali berlabuh di dermaganya, pasti membuat Ibu sekuat mungkin menahan tangisnya.
Ibu tak pernah mengisahkan hal-hal buruk tentangmu, Ayah. Mataku selalu berbinar ketika Ibu membagikan kisah tentangmu walau sebetulnya sesekali aku merasa … mungkin itu hanyalah cerita dongeng belaka. Mengapa demikian?
Aku mulai tumbuh menjadi gadis belia yang mengerti banyak hal. Di waktu yang sama, aku mulai berpikir mengapa cinta pertama dari sosok Ayah itu tidak ada dalam buku kehidupanku. Aku menyadari bahwa Ibu hanya tengah menipu dirinya sendiri dan menipu anak semata wayangnya ini.
Karena jika memang Ayah adalah sosok yang bijaksana, mengagumkan seperti yang Ibu ceritakan, maka … mengapa di tengah malam beliau menyampaikan kisahmu berupa versi lain pada Tuhan sambil menitikkan air mata?
Beliau yang diam-diam menadahkan tangannya sambil bercerita tentang lukanya semakin membuatku yakin, sesungguhnya tak pernah ada sosok bijaksana itu.
Ketika Ayah pergi ke pelukan wanita lain, aku memang belum mengerti apapun. Bahkan saat pertamakali aku duduk di bangku sekolah, apa Ayah bisa membayangkan aku yang duduk sendirian tanpa didampingi olehmu? Tanpa di jemput pulang oleh Ayah?
Tetapi aku yang masih lugu tetap saja riang gembira tanpa bertanya-tanya di mana ayahku berada. Tak seperti teman-temanku yang lain, yang ayahnya melambaikan tangan dari balik jendela kelas.
Lalu Ayah penasaran mengapa akhirnya aku bisa menuliskan surat ini?
Perih itu kurasakan ketika aku melihat Ayah memeluk anak lelaki yang konon itu adalah adikku. Adik yang lahir dari wanita lain yang bukan Ibu. Tentu anak itu sama sepertiku yang dulu. Lugu dan tidak tahu ulah dari ayahnya sendiri.
Aku bukan ingin merenggut kebahagiaan anak lugu itu. Tapi aku iri padanya karena Ayah begitu memerhatikan tumbuh kembangnya. Ia mendapatkan apa yang seharusnya kurasakan terlebih dahulu. Yaitu rasa sayang Ayah.
Coba katakan padaku, apa Ayah tahu warna kesukaanku? Apa Ayah tahu karakter Barbie apa yang menjadi favoritku? Berapa nomor sepatuku? Bagaimana lembut dan kilaunya rambutku? Yang terpenting … apa Ayah tahu bahwa sebenarnya aku selalu berdoa setiap hari agar hati ini tak sempit untuk menerima kenyataan setelah semua yang terjadi akibat Ayah?
Ayah takkan pernah tahu. Ayah takkan pernah mengerti itu. Ayah takkan mengetahui bahwa Ibu bersumpah takkan mencintai pria lain selain Ayah meskipun sekejam itu Ayah mengkhianati Ibu.
Hal itu juga yang membuatku ragu jika ada pria yang berkata mencintaiku. Apa ia akan melakukan hal yang sama seperti yang Ayah lakukan pada Ibu? Aku tak mempercayai lelaki manapun, Ayah. Bagaimana aku bisa percaya sedangkan lelaki pertama yang memelukku saat aku lahir, yang konon akan menjaga diriku karena aku adalah darah dagingnya saja ini berani berkhianat? Apa pria di luar sana berani menjamin bahwa ia takkan menjadi sosok seperti Ayah yang tak mampu bertanggung jawab atas pilihannya sendiri?
Ayah… jika suatu saat kau ingin datang dan penasaran bagaimana tumbuh kembangku sekarang, kuharap Ayah tidak mengucap kata maaf padaku atau pada Ibu. Karena semua itu sudah tidak berlaku dan rasanya percuma saja.
Seharusnya Ayah mengucapkan itu lebih awal, disaat aku masih polos tak mengerti apa-apa terhadap permasalahan orang tuanya. Niscaya aku takkan pernah bergulat dengan pikiranku apakah aku mampu memaafkanmu.
Luka ini menggerogotiku sampai sekarang. Dan aku tak mau mengindahkan rasa iba untuk Ayah yang bahkan Ayah sendiri tak tahu sedalam apa luka ini. Aku tak mampu sekuat, setegar, selapang Ibu yang masih mencintai Ayah sedalam itu. Bahkan cintanya lebih dalam dari luka yang Ayah berikan.
Apabila kau merasa asing pada anak gadismu ini, dugaanmu tak salah, Ayah. Gadis ini bukan lagi gadis kecil lugu yang hanya bisa tersenyum polos, seperti yang terakhir kali Ayah lihat sesaat sebelum jatuh ke dalam pelukan wanita lain.
Semuanya menjadi kecut bagiku. Meski kuakui bagaimanapun kau adalah ayahku, tentu semua yang kutulis ini tidak mengurangi rasa hormatku padamu, Ayah. Hanya saja… perasaan asing ini lebih pekat rasanya. Dan kasih sayang itu terlalu jauh untuk kugapai. Terlampau jauh sudah, Ayah. ***
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”