Siang itu saya sedang berada di kos. Terdengar samar-samar suara rintihan. Ngeong…ngeong… Awalnya saya tidak terlalu menghiraukan. Kupikir itu hanya anak kucing yang sedang mencari-cari induknya. Namun, lambat laut, suaranya tak kunjung berhenti. Akhirnya, kuputuskan untuk melihat ke depan pintu. Sungguh pemandangan yang menyayat hati. Seekor anak kucing mungil, kurus, yang terseok-seok berjalan di teras halaman kosan. Rasanya ingin menolong kucing itu, tapi saya takut memegangnya. Maklum, saya bukan pecinta apalagi pemelihara kucing seperti banyak orang. Saya hanya berani menyentuh kucing menggunakan telunjuk. Bahkan ketika ada kucing yang suka mendekat, saya akan mengangkat kaki ke kursi. Entah ada pengalaman masa lalu apa dengan kucing, intinya saya tidak bisa sedekat itu dengannya. Bisa jadi karena saya sering mendengar kucing yang saling berteriak satu sama lain (alias kawin), sehingga kesan saya mereka mahluk yang cukup agresif dan mulai memberi batasan dengan mereka.
Meski saya tidak berani menyentuh anak kucing itu, bukan berarti saya tidak ingin menolongnya. Karena kondisi kosan yang sepi, saya tidak bisa meminta orang lain untuk mengangkat kucing itu ke tempat yang lebih aman. Saya lalu mencoba mencoba menghubungi beberapa teman. Akhirnya, ada yang bersedia akan datang membantu. Namun, sembari menunggu pikiranku tetap saja gelisah. Apalagi anak kucing itu suaranya semakin tak berenergi. Ditambah ketakutanku kalau-kalau ada motor yang datang dan tidak melihat anak kucing kurus itu sehingga tak sengaja menabraknya.
Dengan mengumpulkan segala keberaniaan, saya pun memutuskan untuk mengambilnya. Kuambil kain bersih yang cukup tebal, sambil memejamkan mata, saya bisa merasakan tubuh anak kucing yang sangat kurus tampak tak makan selama berhari-hari. Setelah memindahakan ke tempat aman dan teduh, jiwa keberanianku semakin bertambah. Tenyata memegang kucing tak semenakutkan itu. Lalu saya berjalan ke kios untuk meminta kardus dan membeli susu. Saya mulai menyusun kardus itu dengan dilapisi kain bersih yang agak tebal sebagai rumah baru bagi anak kucing. Saya juga menyuapinya dengan susu menggunakan pipet serta mengusahakan dia menelannya dengan baik agar energinya bisa kembali. Dia sudah tidak lagi mengeong dan tampaknya mulai nyaman dengan rumah barunya.
Selang beberapa waktu, satu per satu termanku mulai datang menjenguk. Melihat kondisi kucing sambil berkata padaku, dia akan baik-baik saja. Sementara ada teman yang lain juga datang untuk memberi obat. Saya cukup senang karena dia dirawat dengan baik. Kupikir akan menjaganya beberapa hari ini sampai dia sembuh total.
Saya terus mengamatinya yang sedang tertidur sambil beberapa kali mengipasnya karena cuaca yang cukup panas. Semakin kuamati semakin terasa ada yang ganjal dari si anak kucing. Yang biasanya perutnya naik-turun, mulai tampak berhenti. Saya mulai memanggilnya sambil menyentuhnya beberapa kali, Cing…cing…cing…. tapi tak kunjung ada jawaban. Saya mulai gelisah, Apakah dia sudah pergi?. Pertanyaan itu terus terbayang di kepala. Saya yang tidak punya pengalaman tentang per-kucing-an, mencoba memeriksa keadaannya sebagaimana memeriksa manusia. Mencoba memeriksa napas di hidung dan denyut di lehernya. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Namun, saya semakin yakin ketika selang beberapa waktu badannya tampak mulai kaku. Saya juga memanggil teman kosan yang sudah tiba untuk memastikannya. Saya mendapat jawaban yang sama. Dia sudah pergi untuk selama-lamanya.
Saya lalu mengabari teman-teman di grup chat dan bertanya cara menguburkannya. Banyak juga yang menghaturkan turut berduka cita. Saya lalu pergi ke lahan kosong di sebelah kosan. Mulai menggali tanah untuk menguburnya. Karena tak berani mengubur begitu saja, saya menggunakan mukena putih yang tak lagi kupakai untuk membungkusnya. Setelah itu, saya meletakkannya di lubang kubur, lalu menutupnya dengan tumpukan tanah, tak lupa memberi kayu kecil di atas kuburannya sebagai tanda tempat peristirahatannya.
Saya tidak menyangka, awal kedekatan dengan kucing justru berakhir tragis seperti ini. Padahal saya sudah mulai mencoba untuk membuka hati, tapi takdir berkata lain. Saat kepergiannya, saya kadang bertanya-tanya, kenapa kamu datang padaku? Lalu pergi begitu saja ketika sudah mulai nyaman? Meski pertanyaan itu tak kunjung terjawab, saya bersyukur karena sudah berani merawat anak kucing itu di hari-hari terakhirnya, karena jika tidak, mungkin saya akan menjalani hari-hariku dengan penyesalan~
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”