Di zaman yang serba modern ini, sekarang produktivitas adalah hal yang paling diprioritaskan oleh generasi di lingkungan yang semakin kompetitif, semua berlomba untuk menjadi yang tersibuk, mengorbankan tidur, kehidupan sosial, kesehatan dengan harapan semua kerja keras itu akan membuahkan kesuksesan.
Belakangan, hustle culture telah menjadi lifestyle standar tolak ukur kinerja dan produktivitas generasi muda. Hidup dinilai dari tingkat kesibukan dan jumlah kontribusi dalam pekerjaan, karena ada pemikiran bahwa kesuksesan yang bisa didapatkan dengan bekerja lebih keras dibandingkan orang lain.
Semua orang memang mempunyai hal yang berbeda dengan realita kehidupannya masing-masing. Sebagian orang memang gemar bekerja sehingga menggandrungi hustle cuture, beberapa lainnya mungkin tidak memiliki pilihan. Ada juga yang ingin lebih mengapresiasi hidup tanpa perlu mencemaskan pekerjaan setiap saat. Bukan berarti mereka tidak bekerja keras. Tidak ada yang benar dan salah, karena semuanya kembali kepada keseimbangan yang cocok bagi diri masing-masing.
Apa itu Hustle Culture?
Dikutip dari instagram resmi Kementerian Ketenagakerjaan, Rabu (08/12/21), hustle culture adalah standar di masyarakat yang menganggap bahwa kamu hanya bisa mencapai sukses kalau benar-benar mendedikasikan hidupmu untuk pekerjaan dan bekerja sekeras-kerasnya hingga menempatkan pekerjaan di atas segalanya.
Sosok yang mengenalkan hustle culture untuk pertama kali adalah Wayne Oaetes lewat buku Confessions of a workaholic: the facts about work addiction (1971). Kemudian hustle culture berkembang dan sekarang lekat dengan lifestyle Gen Z. Budaya ini membuat seseorang bekerja terlalu keras tanpa meluangkan sedikit waktu untuk beristirahat dan menjadikannya sebagai sebuah gaya hidup.
Istilah hustle culture merujuk pada gaya hidup seseorang yang merasa dirinya harus terus bekerja keras dan hanya meluangkan sedikit waktu untuk beristirahat. Gaya hidup ini membuat seseorang percaya bahwa untuk sukses dan mencapai tujuan adalah dengan bekerja dan bekerja. hustle culture ditandai juga dengan jam kerja panjang dan tuntutan multitasking dalam jangka yang cukup panjang, yang dimana hal tersebut justru bisa membuat kualitas kerja turun.
Kapan Hustle Culture bermula?
 Hustle culture sudah bermula pada tahun 1970-an saat merebaknya industri dunia termasuk teknologi. Pada tahun 1990-an hustle culture makin menjadi-jadi karena banyaknya perusahaan yang mulai mengenal internet. Hal ini membuat batas antara urusan pekerjaan dan juga kehidupan pribadi jadi terasa tidak ada, para karyawan dituntut untuk bisa bekerja lebih cepat tanpa adanya batasan waktu.
 Hustle Culture berkembang dan sekarang malah melekat dengan gaya hidup Gen Z. Di era milenial yang sekarang dimana kita harus mem-provide diri sendiri, orang tua, dan keluarga. Sehingga membuat kita di tengah-tengah dan mau enggak mau sadar nggak sadar harus bekerja karena bagaimanapun kita membutuhkan finansial yang benar-benar stabil untuk bisa mencukupi berbagai pihak. Sehingga ujung-ujungnya kita bekerja dan bekerja terus. Ditambah lagi dengan adanya teknologi dan sosial media yang membuat kita lebih luas dalam melihat dunia.
Ketika kita melihat seseorang yang masih muda tapi keuangan dan finansial sudah mapan, yang masih muda sudah bisa beli rumah dan mobil, yang dimana tanpa kita sadari hal tersebut membuat kita berpikir bahwa kita harus bisa seperti dia, dan untuk mencapai hal itu kita harus selalu kerja nyata. Akhirnya muncul dan kita ikut juga ke dalam hustle culture ini.
Dampak Hustle Culture
Dikutip dari laman Univesity of washington school of medicine, di tengah diberlakukannya work from home saat pandemi ini, banyak orang yang tidak sadar bahwa mereka terjebak dalam pola hidup hustle culture. Seseorang yang menjalankan hustle culture merasa bahwa kesuksesan hanya akan bisa diraih degan cara bekerja keras tanpa henti.
Menurut Komunitas Kalakrisis Keluarga Besar Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Hustle culture berdampak negatif secara fisik dan mental. Secara fisik, hustle culture membuat penderitanya kurang istirahat, kurang makanan bergizi dan kurang olahraga. Sedangkan secara mental, hustle culture bisa membuat seseorang mengorbankan banyak hal bahkan sampai mengorbankan hal yang disukainya, hal ini bisa berdampak pada terenggutnya sumber kebahagiaan. Padahal kebahagiaan itu juga bisa mendorong seseorang untuk melakukan aktivitas.
Studi Jurnal Okupasional medicine mengatakan bahwa orang dengan jam kerja lebih panjang dan tidak memandang usia, cenderung akan mengalami gangguan kecemasan depresi serta gangguan tidur. Kita jadi mungkin lebih mudah sakit, seperti apa yang banyak dikatakan oleh anak muda kerja-kerja-kerja ujung-ujungnya tipes. Secara emosional kita bisa unstable karena tidak bisa membagi kapan harus refreshing dan kapan harus bekerja. Persenan untuk kerjanya lebih banyak, ujung-ujungnya otak kita jadi panas dan jadi burn out dan juga menjadi lebih tidak fokus. Tetapi yang lebih parahnya adalah jika ini tidak ditangani dan kita tidak nyaman dengan budaya hustle, hal ini akan membuat membuat kita mengacu kepada kecemasan, dan memungkinkan depresi, hubungan dengan orang lain juga jadi tidak baik karena kita juga jadi lebih sensitif.
Kemudian apakan benar hustle culture bisa menjamin seseorang untuk sukses? Faktanya belum ada ditemukan kolerasi anatara hustle culture dengan jaminan kesuksesan. Menghabiskan banyak waktu untuk bekerja malah dapat mengurangi tingkat produktivitas dan dapat mengglorofikasi perilaku gila kerja yang akan turut memengaruhi sisi psikologis.
 Hustle culture is a choice, bekerja keras memang penting. Lagipula, tidak bisa juga kita duduk diam dan berharap keadaan akan membaik sendirinya. Ketika kita bisa mencapai lebih dan mengalahkan yang lainnya. Banyak yang akan menghargai dan memuji sehingga kepercayaan diri meningkat. Budaya ini memang melatih kedisiplinan tingkat tinggi, kerja keras turut membangun ketangguhan mental. Banyak juga yang jadi termotivasi untuk terus mencapai seseuatu yang belum pernah dicapai orang lain. Awalnya, kerja berlebih mungkin memacu produktivitas, tapi menghiraukan batasan diri juga lama-lama akan berdampak buruk.
Tetapi jika kamu merasa cocok dengan hustle culture, yang kerja terus-terusan karena kamu merasa kamu bisa belajar banyak. Then, go ahead. hustle culture benar atau salah? Balik ke masing-masing, ke cocok atau enggaknya. Kita tidak harus memaksakan kehendak atau culture ke semua orang. Jika kamu terjebak di culture yang tidak cocok dengan hidup, kamu punya choice untuk keluar. Dan yang penting apakah kamu happy? Dan yang paling penting lagi apakah kamu fuffilled? Apakah kamu terpenuhi dengan melakukan apa yang kalian lakukan di dalam hidup.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”