Sewaktu kecil, aku selalu bertanya-tanya dalam hati, “Kapan ya bisa jadi orang dewasa?”. Begitu aku duduk di bangku sekolah dasar, pikiranku dipenuhi tanya, “kapan ya jadi anak SMP?”, dan seterusnya. Bayanganku selalu terpusat pada menjadi orang dewasa yang bisa melakukan apapun sesukanya. Mau jajan tinggal beli, mau main tinggal pergi, dan sebagainya. Pikiranku sebagai anak kecil sangat sederhana, yang penting jadi manusia dewasa tanpa ada pengawasan Bapak Ibunya. Pokoknya ingin cepat-cepat dewasa, tanpa tahu ternyata menjadi dewasa enggak seindah apa yang dikira.
Kini, ketika beranjak menjadi dewasa 28 tahun, yang kurasakan hanyalah kegamangan. Ini itu harus dipikirkan. Mau jajan butuh pertimbangan. Mau main, masih memikirkan mana dulu yang harus diprioritaskan. Ujung-ujungnya, aku bermimpi andai bisa meminum ramuan detektif Conan yang bisa mengubah orang dewasa menjadi anak kecil usia lima tahunan.
Ternyata, menjadi dewasa enggak segampang yang dikira. Ada masanya jadi budak pikiran sendiri. Tertekan harus mencapai ini dan itu. Hidup dipenuhi pertimbangan-pertimbang yang sesekali bikin hati kelu. Mengatur hal-hal yang wajib diprioritaskan dengan mimpi-mimpi yang disembunyikan di gudang.
Ada masanya merindu jadi anak kecil yang bisa tertawa lepas tanpa beban. Berlarian ke sana kemari tanpa punya pikiran, atau, yang dipikirkan hanyalah bagaimana jika aku jatuh? Wah, pasti Ibu akan memarahiku. Tapi, begitu menjadi dewasa, pemikiran ikut berubah. Wah, gimana kalau aku jatuh? Berapa banyak orang kecewa karenaku. Terkadang, jadi bucin dari overthinking.
Sebal, enggak sebal. Ini rasanya jadi dewasa. Mau makan di luar saja, berpikir dua tiga kali. Mau minum kopi sambil nongkrong bareng teman-teman harus melihat barisan uang kertas di dompet. Semua harus dipastikan, dihitung dan dipertimbangkan. Karena orang bilang, masa depan harus dipersiapkan termasuk segala biaya yang bersangkutan.
Jadi dewasa itu, rasanya sedap-sedap menggelikan. Orang-orang menuntut ini itu tanpa mau tahu. Deadline menumpuk enggak bisa dirayu. Ujung-ujungnya, weekend enggak pernah jadi seru karena harus kembali berjibaku pada tugas-tugas.
Kadang suka bertanya, kenapa sih dulu kepikiran mau dewasa buru-buru? Ketika kenyataan enggak seindah bayangan.
Dulu, sewaktu kecil, punya tugas PR dari sekolah saja rasanya sudah berat sekali pikulan beban. Sekarang, rasa-rasanya PR dari sekolah enggak berimbang dengan tugas-tugas dan tanggung jawab sebagai manusia dewasa. Apa-apa harus dikejar, kalau enggak, bisa ketinggalan.
Tapi kita enggak bisa menawar usia. Mau ditawar berapa kalipun akan tetap sama, begini-begini saja. Sudah lumrahnya menua dan segala tuntutan yang ada. Namanya saja hidup, oksigen saja yang gratis, lainnya harus dibayar pakai uang. Inilah bentuk tanggung jawab kita sebagai manusia dewasa—mempertahankan keberlangsungan hidup di atas dunia fana. Jika dipikir-pikir lagi, mungkin banyak petikan hikmah di setiap jalannya. Kita saja yang banyak mengeluh dan lupa kodrat sebagai seorang hamba.
Kita enggak bisa menolak menjadi tua, yang bisa kita lakukan adalah terus berjuang meski caranya enggak selalu sederhana.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”