Tersebutlah sebuah desa tepian Gunung Merapi berhiaskan onggokan demi onggokan tanah nan berderet rapi di sepanjang perbukitannya. Sawah-sawah terbentang luas berpenghunikan orang-orangan sawah pengusir burung serta pondok pada sudutnya yang selalu setia kokoh berdiri. Gemericik air sungai begitu khas dengan irama serangga-serangga siang nan bernyanyi menatap matahari. Kerap kali orang-orang luar menyebut Bumi Sumatera Barat dengan Ranah Minang yang menyimpan ciri tersendiri. Jikalau ada pepatah “Alam Takambang Jadi Guru”, tak pelaklah pepatah itu lahir dan berkembang di Bumi Sumatera Barat. Alam tak henti-hentinya menyorakkan beberapa hal. Mengingatkan manusia tentang segala sesuatunya. Namun,kadang manusia bertingkah cengo selayak anak kecil yang mengintip malu-malu pada ruang gelap yang berisi harta karun.
Angin berdesir, menerbangkan hawa musim panas. Bau rumput nan selesai disabit ikut dihantarkan. Pagi menjelang. Tak begitu panas memang. Tetapi berhasil membuat insan manusia yang menjejakkan kaki di persawahan mendamba akan lambaian angin walau hanya seringan kapas. Matahari mulai mendekati sepenggalan di Batang Gadih,Tanah Datar. Pada sebuah pondok kecil di sepetak sawah sayup-sayup terdengar senandung kecil seorang pemuda 26 tahun. Penduduk kampung sering memanggilnya Ubay. Ubay lahir dan tumbuh pada sebuah keluarga yang orang kampung tidak begitu tahu sejarahnya. Namun, ada cerita yang beredar dari mulut ke mulut mengenai keluraga Ubay. Ubay memiliki seorang bapak dari perantauan yang dulu berhasil meminang ibunya,Lastri yang seorang gadis desa anak kepala kampung yang sangat cantik rupanya. Cerita mengatakan senyuman dan pesona Lastri mampu membuat semua laki-laki kampung terbang ke khayangan pikirannya. Tak heran setiap Lastri menuju surau untuk shalat,tak terhitung pulalah jumlah pemuda yang juga ikut shalat berjamaah di sana. Suatu hari Lastri pun luluh dan mendaratkan hatinya pada seorang pemuda rantau luar yang datang ke Batang Gadih guna mengamati persawahan di daerah tersebut. Bak kumbang mencari madu,beberapa waktu dilalui Lastri dan pemuda itu saling menjalin kasih. Awalnya ayah Lastri tidak terlalu setuju. Namun,akhirnya berujung [ulalah mereka di pelaminan. Ubay pun lahir. Tangis mungilnya memecah kesunyian malam yang berhiaskan bintang dan nyanyian serangga malam di sela-selanya. Kebahagiaan pun menghampiri kampung itu. Sayang, beberapa minggu setelah Ubay lahir,bapaknya meninggal dalam kecelakaan. Kerapkali setelah kejadian itu,Lastri termenung memikirkan suaminya. Penampilannya sudah tidak terurus lagi. Bahkan,orang tuanya –abak dan amak- sering kesusahan karena mendapati Ubay ikut terabaikan. Malang,saat Ubay beranjak 2 tahun,Lastri pergi menyusul suaminya.
Sejak saat itu,Ubay dibesarkan dengan cara orang kampung. Jika ke surau mengaji,maka Ubay akan ikut mengaji. Jika ke sawah maka Ubay bertugas menghalau kerbau untuk membajak dan menggiring itik-itik pulang pada petangnya. Ubay kecil mendapatkan pendidikan di luar sekolah. Ia hanya belajar dari ajaran Abak dan Amak yang mendidik Ubay dengan kasih sayang seperti orang tua kandung. Ubay kecil tidak selalu mendapat kesenangan. Jika ia salah maka melayanglah sebatang lidi pada telapak tangannya. Namun,Ubay seorang anak yang tidak pernah merasa hukuman yang ia dapatkan adalah sesuatu yang salah. Hal-hal itulah yang menemani Ubay tumbuh menjadi pemuda yang gagah,tenang,dan bijaksana perawakannya.
(* * *)
Matahari semakin terik. Ubay masih termenung di pondok yang mulai berdenyit ketika disapa angin. Ia menatap langit. Lalu berguling ke samping menghantarkan pandangan ke pelosok sawah di depannya. Ada sebuah perasaan gelisah menghampiri Ubay. Di era modern ini,sudah sepantasnya Ubay memiliki seorang pendamping hidup. Seseorang yang akan berbakti untuknya dan seseorang yang akan dituntun pemuda itu. Bahkan,penduduk kampung sudah mulai mempertanyakan hal tersebut. Tak jarang satu atau dua suami istri yang menawarkan anak gadisnya pada Ubay. Tapi,Ubay belum merespon sama sekali. Menurutnya, segala sesuatu mengenai pernikahan,bukanla sesuatu yang harus dipikirkannya. Ada sawah dan kerbau yang saat ini telah menjadi buah pikiran bagi Ubay sedari kecil.
“Bau, apa harus aku menikah?”, entah angin apa yang lewat,tiba-tiba Ubay berbicara dengan seekor kerbau yang tengah asik merumput di samping pondok yang ditempati Ubay. Sayup-sayup angin berhembus,membuat Ubay tak bisa menahan matanya. Mulailah ia tidur-tidur ayam.
“Maaf, bolehkah saya singgah sebentar?”, sebuah suara membuat Ubay sedikit terkejut. Antara nyata dan tidak nyata Ubay bangkit dan terduduk. Didapatinya seorang wanita nan memakai kerudung merah muda. Begitu padu dengan kulit putih pualamnya yang sepadan dengan baju putih panjang yang gadis itu kenakan. Sesekali matanya memicing digelitik oleh angin nakal yang berhembus dengan tempo yang tidak teratur.
“Apa saya mengganggu?”, tanya gadis itu kembali dengan suara tertekan ke dalam. Sesegera mungkin Ubay menyorakkan pada dirinya untuk sadar.
“Oh, ma… maaf. Apa ada yang bisa dibantu?”, tanya Ubay gelagapan. Tapi ia merasa tak sopan membiarkan gadis itu berdiri. “oh iya. Silahkan duduk”, ucapnya sembari menyilahkan gadis itu duduk di atas pondoknya.
“Bolehkah saya sedikit bertanya?”, tanyanya lagi.
“Oh silahkan”, jawab Ubay.
“Apa kau bisa mengurus sawah sepetak ini?”
Ubay tertegun. Siapa gerangan gadis yang tiba-tiba menemuinya ini? Apa hal yang mendorongnya bertanya? Kenapa ia tidak memperkenalkan diri dahulu? Sebenarnya Ubay ingin mempertanyakan siapa nama gadis itu. Tapi serasa ada suatu hal yang menekan keinginannya tersebut. Seolah ketika ia ingin mengucapkan hal yang membuatnya penasaran,kerongkongannya tercekat. Lalu Ubay menatap sawah di depannya.
“Suka dukaku selama kurang lebih 20 tahun,kuhabiskan di sawah ini. Masih segar dalam ingatanku kaki-kaki kecil yang berlari sepanjang pematang itu. Masih segar pula tangan-tangan mungil memancing-mancing belut di sela-sela lumpurnya. Aku selalu menyorakkan dengan riang Abak dan Amak nan membungkuk menanam bibit-bibit padi. Lalu waktupun mulai berlalu. Aku mulai melangkahkan kaki menelusuri lumpur sawah basah itu. Aku mulai membungkuk menancapkan benih-benih hijau yang dulunya aku sangka rumput tak berguna. Panas terik matahari mulai menyapa dan menunggangi punggungku ini hingga bidang dan luruslah bentuknya. Aku kadang mengeluh pula akan hama,musim hujan,burung, tikus serta hal-hal lainnya yang sempat membuatku patah semangat. Namun Abak dan Amak selalu merangkulku dan menasehatiku agar aku dapat melakukannya dengan caraku sendiri. Akupun membuat orang-orangan sawah itu”, Ubay menunjuk salah satu orang-orangan sawah yang tampak tersenyum ke arah Ubay dan menyapa gadis di sampingnya. Seolah orang-orangan sawah itu tak asing mengenal gadis di samping Ubay.
“Peluhku bercucuran dan aku mengusapnya. Kadang jika panas terlalu terik,caping yang telah lusuh bertahta di atas kepalaku ini. Lalu suatu hari aku mendapati padi-padi ku menguning dan Abak menyuruhku untuk menyianginya dan memasukkannya ke dalam beberapa karung. Sampailah aku di pasar dan memperoleh beberapa helai 50 ribu-an. Malamnya entah mengapa aku begitu cengeng. Bahkan nasi pun tak terkunyah oleh ku saat Abak mengatakan “Ubay,kau telah berhasil memperoleh uang dengan usahamu sendiri. Bapak dan ibu pasti akan bahagia melihatmu dari surga”. Setelah makan malam itu,aku tak hentinya menatap langit-langit kamar dan emnceracau tak jelas dengan air mata bahagia”, Ubay mengakhiri ceritanya. Matanya tampak berkaca-kaca. Ia menerawang jauh seolah ingin menembus ambang batas pemikiran manusia normal. Ubay menoleh. Bergetarlah hatinya ketika melihat gadis di sampingnya itu tersenyum. Ada sengatan-sengatan aneh menghujam ubun-ubun Ubay. Entah apalah artinya. Serasa tidak asing Ubay melihat senyuman itu.
“Lalu bagaimana dengan keadaanmu saat ini ? Apa kau merasa bahagia?” Tanya gadis itu lagi. Ubay kembali tertegun. Kali ini ia sedikit bimbang. Ditanyanya dengan sungguh-sungguh pada hati kecilnya. Apa yang sebenarnya ia inginkan? Apa sebenarnya hal yang selama ini membuat hatinya tertahan dan gelisah tanpa sebab ?
“Entahlah, aku merasakan ada hal tertahan yang belum terbebaskan. Hatiku kadang terasa panas ketika penduduk kampung membahas dan menyinggung mengenai pernikahan. Aku tak habis pikir, jika pernikahan memang sepenting yang orang-orang elel-elelkan. Sejak saat itu aku sering bermenung tak jelas. Kadang aku juga mengingat cerita tentang bapak dan ibu. Entahlah, jika saja aku bisa bertanya pada Tuhan, entah apa pulalah yang dijawabnya”. Ungkap Ubay.
Hening menghampiri mereka. Ubay menatap padi hijau di depannya yang mulaimenguning dengan tatapan sendu yang menyimpan beribu arti. Ia terbayang begitu banyak hal tentang dirinya di masa lalu dan akan dating. Seolah ada dimensi waktu yang membatasi ruang lingkupnya.
“Ubay…” panggil gadis itu. Ubay menoleh melemparkan tatapan “ada apa?” dan menanti jawaban. Gadis itu tersenyum. Sekali lagi hati Ubay bergetar. Tak salah lagi. Ia pernah melihat senyum tersebut namun tak jelas tempat dan waktunya. Mulut gadis itu terangkat membuat jantung Ubay berdetak tak menentu.
“Jika kau ingin menemukan kebahagiaan jangan pernah palingkan muka dari alam. Namun tidak pulalah angkuh dan membusungkan dada dari lingkup mutlak sebagai manusia”, kata demi kata nan terucap itu melantun dan meresapi tiap sela saraf pada tubuh Ubay. Ubay duduk mematung. Tiba-tiba angin mberhembus sangat kencang seolah badai mengambil alih suasana. Ubay melindungi mata dengan lengan kekarnya. Ia hendak meraih dan merangkul gadis tadi tapi sia-sia. Ubay mencoba berdiri. Dipertajamnya indra pendengaran mencari dan menelaah sosok gadis tadi. Nihil. Ubay merutuki angin berhembus yang tak kunjung reda deruannya,sekaan mentertawakan Ubay. Pemuda itu tak dapat lagi menahan. Keseimbangannya roboh dan ia tumbang ke sawah. Lumpur-lumpur yang basah itu berhasil menghiasi wajahnya. Tak terkecuali mata besar Ubay.
Ubay mengusap-usap mata. Samar-samar saat ia membukanya,didapati kerbau yang seakan-akan tengah menatap Ubay dengan gelagap penasaran. Ubay tersadar. Dilihatnya langit Nampak cerah dan mentari masih menancap indah sambil tersenyum. Dialihkannya pandangan kesekaliling. Masih sama perawakan sawah bergandeng dengan lingkungan. Sepersekian detik kemudian tersentaklah hati Ubay. Segera ia mengenakan sandal jepit lusuhnya dan berlari tergopoh-gopoh kea rah rumah. Tak dihiraukannya kaki yang tersandung saat melangkah menaiki jenjang rumah panggung dihadapannya. Disapanya Abak nan tengah minum kopi di lantai teras sambil bersila. Ubay berlari masuk. Lantai rumah itu berdenyit dan berdengung bersamaan mengiringi langkah Ubay dengan singkron. Pemuda itu memasuki salah satu bilik. Menelusuri sebuah kotak ukuran sedang di atas sebuah lemari kayu tua. Tak dihiraukannya debu yang menempel.
Ubay membuka kotak itu dengan kasar. Deru jantungnya menggebu-gebu mengalahkan detik jam dinding yang berjalan. Mata Ubay membulat.ditatapnyalah sebuah foto lusuh hitam putih searah jam 12 di dalam kotak itu. Perlahan Ubay mengambilnya. Ia mengusap lembaran itu dengan perasaan berkecamuk. Antara pahit,kerinduan yang mendalam,bahagia serta perasaan lainnya yang melibatkan masa lalu dibatasi waktu kini.
Seketika bulir bening jatuh. Ubay menangis. Ada dorongan kuat yang menyapa Ubay. Kepingan-kepingan logispun mulai menyatu membuat satu kesatuan yang dapat tercerna oleh otak manusia. Diletakkan kembali foto itu oleh tangan besar Ubay. Seolah hidup, 3 manusia di dalam foto itu member gambaran masing-masing. Seorang pemuda nan gagah dan ringan senyumnya. Disamping nya didapati wanita menggendong seorang bayi yang masih dibalut kain panjang bercorak tengah tersenyum pula dengan sebuah senyuman bulan sabit. Senyum yang telah lama dirindukan Ubay dan hampir hilang siluetnya dari pemikiran pemuda tersebut. Jelaslah semua tentang apa yang terjadi pada pondok di sudut sawah. Tentang rumput yang melambai dan seekor kerbau yang menjadi saksi bisu saat Ubay menjadi pemeran utama dalam dunia yang nyatanya milik pemuda itu sendiri.
Ubay pun bangkit, keluar dan berteriak, “Abak!! Ubay ingin menikah!”
TAMAT
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”