Suatu ketika, aku berpikir bagaimana jika aku menghilang saja?
Malam-malam gelap yang terasa begitu panjang. Dan kenyataan bahwa aku sendirian dengan sesak yang terus kubungkam adalah makna kelam yang sesungguhnya. Semua ini berawal dari aku yang tak mampu menguasai diriku sendiri. Tentang aku dan impian besarku, tentang aku dengan segala usahaku dan tentang aku yang ternyata kepayahan hingga berada dititik dimana aku ingin menyerah oleh keadaan.
Saat aku berpikir seperti itu, bayangan sosok orang-orang yang ada disekitarku tiba-tiba terlihat jelas di pandangan. Mereka berdiri di hadapanku dengan segala harapan besar untukku, seakan lewat tatapan dari mereka, aku diminta agar menurutinya. Dari seluruh orang-orang itu, Ayah dan Ibu berada di baris terdepan. Sebuah tempat istimewa yang memberikan mereka hak eksklusif dalam hidupku. Segala harapan-harapan yang awalnya kupikir baik itu, tiba-tiba berubah menjadi monster mengerikan yang menghantuiku setiap waktu.
Ibu, aku adalah bayi merah yang dulu kau sambut dengan tangis haru. Dekapan hangat yang kau salurkan seakan ingin melindungi tubuhku yang masih terlalu rentan, sambil merapalkan harapan-harapan indah untuk pertumbuhanku kelak dimasa depan.Â
Ayah, aku adalah anak kecil yang dahulu kau gendong di punggung lebarmu sambil berlarian kecil hingga membuatmu tertawa seakan dunia adalah sekumpulan kebahagiaan yang takkan ada habisnya. Jika suatu waktu aku terjatuh dan terluka, selalu kau ajari untuk berdiri lagi dan berkata bahwa itu tidak apa-apa.
Bertahun-tahun kemudian, anak kecil itu tumbuh menjadi seorang aku yang sekarang. Menjadi seseorang yang dipaksa dewasa oleh keadaan, yang dipaksa berlari sementara tak tahu arah jalan mana yang harus dilewati dan yang dipaksa bertahan padahal mati-matian menahan luka dada yang tak kasatmata.
Ibu, ketulusanmu demi hidupku tak bercelah satupun. Harapan yang kau berikan memang selayaknya ku wujudkan. Ayah, kau mengajariku bagaimana caranya menanggung harapan-harapan itu agar tetap dipundak. Aku sama sekali tidak mempermasalahkan harapan dan keinginan kalian terhadap diriku, karena keseluruhannya memang hal baik untuk masa depanku. Tapi tolong, jangan terlalu menekanku.
Kalian adalah matahari dengan sinar yang menghangatkan. Tapi kini aku sedang berada dibawah langit dengan guyuran hujan deras dan badai petir yang menyambar-nyambar. Aku harus merasakan ketakutan dan kekhawatiran dan segala kecamuk perasaan pahit yang sungguh menyesakkan. Aku memilih diam dikekosongan sembari membungkam suara tangis dan menyimpan air mata tanpa ingin terlihat dihadapan kalian.
Ketulusan dan harapan kalian adalah alasan terakhir untukku bertahan dari keadaan, tapi tolong jangan sampai membuat hal baik itu berubah menjadi banjir bandang yang malah menghanyutkanku. Aku tahu kalian akan sangat mengharapkannya bisa terwujud, dan aku yakin kalian ikut bahagia jika aku berhasil dalam hidup. Tapi Ibu, ayah, aku sedang berusaha sementara kini aku dalam kondisi rapuh. Tertatih untuk berdiri lagi dan berusaha menguatkan pundak kembali.
Ibu, Jika sekalipun aku terhanyut. Apakah masih bisa ku rasakan sinar hangat itu?
Bukankah Ayah akan mengajariku berenang dan bagaimana cara mengatur pernapasan?
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”