Apakah kamu pernah menjadi korban bullying? Atau kekerasan fisik?
Eitss… sebelumnya apasih bedanya bullying dengan kekerasan fisik? Nah, bullying sendiri merupakan perilaku agresif yang disengaja yang dilakukan berkali-kali. Sedangkan kekerasan fisik berarti suatu tindakan yang menyerang fisik seseorang yang beberpa kali terjadi berulang, seperti mendorong, memukul. menampar, dan lain sebagainya.
Di tulisan ini saya akan menceritakan pengalaman pribadi saya yang mengalami bullying hingga kekerasan fisik yang dilakukan orang tua saya. Saya dibesarkan dari keluarga biasa dengan ekonomi yang bisa dibilang cukup sulit. Selain itu, sejak kecil saya sudah terbiasa dididik dengan kekerasan fisik ketika melakukan kesalahan.Â
Memori masa kecil yang paling saya ingat adalah ketika saya dihukum ibu saya dengan diikat pada tiang rumah dan ditampar bahkan dicubit sampai beberapa kali. Tidak hanya itu, waktu diikat saya juga dilempari telor mentah yang mengenai bibir saya hingga menjadikannya bengkak. Selain itu, dulu saya juga pernah diikat dan dimasukkan ke bawah tempat tidur, di mana saat itu alas rumah saya masih tanah. Wajah yang dimasukkan ke bak mandi hingga tidak bisa bernapas juga pernah saya alami, serta masih banyak hal-hal lainnya.Â
Tapi kalau diingat-ingat memang saya dari dulu sudah nakal dan bandel. Namun, beberapa orang tua zaman dulu memang mendidik anaknya dengan keras dan tegas, berbeda dengan orang tua zaman sekarang. Nah, apakah kalian juga pernah mengalaminya?
Walaupun orang tua saya ekonominya sulit saat itu, saya masih bisa sekolah di dekat rumah. Tak berbeda dengan di rumah, di sekolah pun saya juga tidak bisa mendapatkan ketenangan. Yap, ada satu teman laki-laki yang sering cekcok dengan saya. Yang paling saya ingat itu dia pernah memukul punggung saya hingga dada saya terasa sesak. Namun, saya bisa memaklumi karena saat itu kita masih SD yang saling mengejek satu sama lain dan ditambah teman saya emosinya mudah meledak.
Masalah dalam diri saya sebenarnya tidak hanya dari orang-orang yang berperilaku buruk kepada saya, masalah terbesar saya adalah pikiran saya sendiri. Sejak kecil saya memiliki gigi tonggos dan menurut saya itu sangat memalukan karena selalu diejek teman-teman saya. Yang lebih buruknya saya selalu membenci keadaan itu, saya membenci apa yang diberikan Tuhan kepada saya.Â
Menginjak SMP, saya pikir akan mendapatkan suasana pertemanan yang lebih baik dan sehat lagi, dan lagi-lagi saya salah. Selama tiga tahun saya selalu di-bully bahkan lebih parah dibandingkan ketika SD. ‘Off side’ ‘mrongos’ ‘tonggos’, itulah sebutan yang diberikan teman-teman saya. Mungkin teman saya sudah tidak heran lagi jika melihat saya sering menangis karena sejak dulu memang saya cengeng. Impian saya terwujud ketika saya duduk dibangku SMA, dimana tidak terjadi bullying lagi yang terjadi kepada saya. Mungkin karena pandemi yang melanda selama dua tahun dan saya tidak berinteraksi secara langsung dengan teman-teman.Â
Selama ini bullying yang teman-teman lakukan memanglah saya anggap hal biasa dan saat itu saya tidak merasakan dampak buruknya. Namun, ketika saya kuliah saya mulai menyadari hal aneh yang terjadi pada diri saya. Entah aneh atau tidak, ketika saya tertawa entah tertawa kecil atau ngakak di situ saya akan menangis. Menangis disini bukan hanya berkaca-kaca, namun benar-benar mengeluarkan air mata yang parah.Â
Tak hanya itu, ketika saya menjadi pusat perhatian, seperti presentasi di depan atau ditunjuk dosen untuk menjelaskan sesuatu di situ mata saya akan memerah dan berkaca-kaca. Hal ini terjadi karena waktu saya kecil saya memang anaknya pendiam dan pemalu karena tidak percaya diri dengan penampilan. Hanya satu saat saya menjadi pusat perhatian yaitu ketika saya di-bully kemudian menangis dengan keras. Sehingga hal itu terekam di otak saya dan secara spontan akan terlihat seperti menangis ketika menjadi pusat perhatian.
Selama ini saya hanya memendam semua kejadian yang buruk terjadi dan tidak berani untuk berbagi cerita kepada orang tua saya. Beberapa kali saya memiliki keinginan untuk datang ke psikiater, tapi biaya untuk ke psikiater sendiri memanglah tidak sedikit. Ditambah saat ini saya sedang menjalani perkuliahan dan berpikir tidak mau menambah beban kedua orang tua sehingga lebih baik mengurungkan niat. Hingga saat ini saya masih mencoba untuk menemukan solusi pada diri saya dan mulai bersyukur dengan apa yang telah Tuhan berikan kepada saya.
Bullying memang sudah biasa terjadi sejak dulu, namun memanglah sebaiknya kebiasaan itu harus dihilangkan apalagi di bangku sekolahan. Bercanda sesama teman itu boleh asalkan memahami situasi dan batasan agar tidak melukai perasaan orang lain. Hal lain yang jarus selalu dilakukan adalah bersyukur, selalu mensyukuri apa yang telah kita miliki.Â
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”