Hai. Salam damai bagi semua hati yang sedang menantikan sandaran!
Bagi semua hati yang terluka dan mencoba untuk bangkit kembali, juga bagi semua hati yang sudah berdamai dengan waktu, dariku, seseorang yang berjuang untuk mengukir sejarah kehidupan yang indah dengan cara merayu Sang Sutradara agar diberikan peran terbaik (meskipun tanpa dirayupun sebenarnya Dia sudah memberikan yang terbaik untuk kita). Tentunya terbaik versi-Nya, bukan versi kita.
Di usia yang rawan mendapat serangan pertanyaan tentang pernikahan kapanpun dan dimanapun kita berada, di usia yang rawan untuk menyelipkan permohonan kepada Sang Pencipta agar segera bertemu dengan sang penawar luka disetiap doa, dan di usia yang rawan kesepian karena ditinggal satu per satu sahabat untuk menikah, sedikit banyak akan membuat kita merasa cemas, panik, dan lain sebagainya. Kalau meminjam istilah kedokteran adalah komplikasi (terutama bagi para wanita). Akhirnya pertanyaan yang sering dilontarkan orang lain yang membuat kita ingin membungkam satu per satu mulut mereka, terlontar dari diri kita sendiri, “Kapan aku akan menikah?”
Tak jarang kejadian ini membuat sebagian orang terburu-buru mencari pasangan, tanpa mempedulikan standar yang dahulu pernah ditetapkan saat pertama kali menginginkan sosok idaman. Ada yang berusaha agar tetap kelihatan calm, cool, tenang, meskipun dalam hati bergejolak setengah mati. Namun, tidak menutup kemungkinan ada pula yang memang benar-benar tenang, baik di luar (sikap) maupun di dalam (hati). Tapi aku yakin itu hanya segelintir orang saja. Kamu termasuk yang mana?
Ya, yang namanya jodoh itu memang misteri. Kalau bukan sebuah misteri mungkin kita tidak akan pernah bisa menghargai dia yang kelak mengisi ruang di hati. Perjuangan untuk mendapatkan cinta sejati itulah yang akan membuat kita sadar betapa berharganya sosok yang dinanti dan tentunya akan membuat diri menjadi lebih dekat dengan Sang Ilahi.
Ibarat kata, jika ingin mendapatkan anaknya, dekati dulu orang tuanya. Jika ingin mendapatkan cinta, dekati dulu Sang Empunya Cinta. Tapi itu menurut pendapatku, apabila kalian yang membaca tulisan ini tidak menyetujuinya, sah-sah saja.
Well, dari ujung timur Pulau Madura, tempat yang jauh dari gemerlapnya hiburan dan hiruk pikuk kendaraan, tempat yang jauh dari orang-orang tersayang namun menjanjikan masa depan, aku akan berbagi kisah yang membuatku berpendapat seperti itu.
Tiga tahun yang lalu, saat yang lain tertidur pulas setelah seharian beraktivitas, saat belahan bumi yang ku pijak memalingkan wajahnya dari Sang Mentari untuk menatap Rembulan, sehingga membuat Sang Mentari harus bersedia membagikan cahayanya untuk dipantulkan rembulan demi menyinari bumi, dan saat makhluk hidup diurnal, penguasa siang digantikan oleh makhluk hidup nokturnal, penguasa malam, aku masih berkutat dengan handphone di tangan, sibuk meminta sebuah penjelasan kenapa aku diputuskan.
Masih jelas terasa sesak di dada dan emosi yang menyelimuti jiwa. Membuat detak jantung tak lagi berirama, disertai isak tangis tertahan karena tak ingin mengganggu nyanyian jangkrik yang merdu. Tak ingin pula didengar oleh kelelawar ataupun burung hantu. Aku berusaha menerima alasan yang dibuat sekenanya itu. Yang ku tahu, aku harus menguburkan segala kenangan, janji-janji dan harapan yang terukir indah selama tujuh tahun dengan pasti, hingga tak ada lagi yang namanya sakit hati.
Sepuluh tahun yang lalu, di depan kelas, di hadapan teman-teman yang sibuk dengan segala aktviitas untuk membunuh waktu yang ditinggalkan oleh guru, dia menyatakan cinta kepadaku dengan cara yang terbilang nge-tren saat itu, agak ndeso memang, tapi cukup membuat hati deg–degan.
“Teman-teman, aku ingin mengungkapkan perasaan yang akhir-akhir ini bergejolak dalam hatiku. Perasaan yang tak kuasa ku pendam lagi seorang diri. Aku mencintai seseorang di antara kalian.”
Ruang kelas yang semula tenang, menjadi ricuh. Suara siulan terdengar dari segala penjuru. Kemudian dia melanjutkan kembali kalimat yang terpotong itu. “Aku mencintai seseorang dengan nomor absensi yang merupakan hasil dari penjumlahan tanggal sekarang ini.”
Tanpa dikomando semuanya sibuk menghitung, 22 September, 2+2+9 =13. Setelah mendapatkan angka itu, mereka semua menyorakiku, dan tanpa mengulur waktu akupun menerimanya tanpa ragu.
Sejak saat itu kami selalu menghabiskan waktu bersama di sekolah, tanpa mengabaikan teman-teman lainnya. Aku masih duduk dengan sahabatku, diapun begitu. Ketika kami harus melepaskan masa putih abu-abu dan melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, kami memutuskan untuk memilih perguruan tinggi yang terletak dalam satu kota, meskipun berbeda. Karena cita-cita kami tak sama, dia ingin menjadi guru sedangkan aku tidak.
Sebagai mahasiswa yang sama-sama merantau, hubungan kami semakin hari semakin dekat. Setiap ada jadwal kelas yang kosong, kami selalu menyempatkan untuk bertemu. Entah itu untuk makan bersama, menemani mengerjakan tugas, sampai menanti dosen untuk untuk melakukan bimbingan. Tak khayal harapan-harapan tentang masa depanpun mewarnai tujuh tahun kebersamaan kami yang seolah-olah tidak akan pernah terpisahkan. Namun semuanya hancur begitu saja. Ketika dia sudah lulus dan mendapatkan pekerjaan pertamanya. Sedangkan, aku baru saja selesai berkutat dengan skripsi, kembali ke kota asal dan bersiap-siap untuk berjuang mengobok-obok internet dan setiap halaman koran yang berisi lowongan pekerjaan.
Malam itu, terjadi pertengkaran di antara kami. Pertengkaran yang harus diketahui oleh jaringan operator, internet, firewall serta server. Dan dia mengakhiri pertengkaran itu dengan pesan yang berisi:
"Maaf, aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini."
Seketika meneteslah satu per satu air mata membasahi pipi. Aku memberondongnya dengan pertanyaan terkait keputusannya itu, berusaha meminta penjelasan, tapi sia-sia. Mau bagaimana lagi, aku harus melanjutkan perjuanganku sendiri (untuk pertama kali), di usia rawanku. Usia yang selalu dipusingkan dengan hal-hal berbau pernikahan.
Aku berusaha keras untuk melupakan dirinya dan segala kenangannya. Menjauhkan barang-barang yang mengingatkan tentang dirinya sampai membakar fotonya. Namun, semakin berusaha dilupakan, kenangan itu semakin nyata. Semakin tumbuh segar dalam ingatan dan semakin membuatku terpuruk.
Tak lama kemudian, sebelum tahun berganti, terdengar kabar bahwa dia sudah memiliki pengganti diriku. Di tengah kabar bahagia itu, aku semakin merana dan menyadari bahwa tak seharusnya aku menggantungkan kehidupanku pada manusia. Tak perlu aku berharap padanya. Aku mulai berseru kepada Sang Maha Cinta agar disembuhkan dari segala luka. Berusaha merayu-Nya, berbenah diri dengan melakukan apa yang diinginkanNya, dan menjauhi apa yang dibenciNya demi terkabulnya sebuah doa.
"Orang yang baik hanya untuk orang yang baik, sebaliknya orang buruk juga hanya untuk orang yang buruk"
Pernyataan itu sempat berlarian di kepala dan membuatku menerka-nerka kenapa aku tidak berjodoh dengannya. Ya, mungkin benar, karena aku tidak pantas bersamanya. Saat itu aku bukanlah siapa-siapa (pun sebenarnya sekarang juga bukan siapa-siapa) dan tidak setara dengannya. Di titik itulah aku berusaha bangkit kembali, tidak untuk melupakan, melainkan untuk berdamai: berdamai dengan masa lalu, belajar darinya, dan berjuang menjadi seseorang yang lebih baik, berharap agar kelak menjadi pasangan yang tepat untuk orang yang tepat.
Dalam masa pendamaian diri dan memantaskan diri, perlahan tapi pasti, hati mulai terbobati. 2 tahun lalu aku berhasil mendapatkan pekerjaan pertamaku di tempat aku menulis kisah ini. Pekerjaan yang paling diminati beribu-ribu penduduk negeri setelah ditolak sana-sini. Kini aku juga mempunyai seseorang yang amat sangat kucintai, seseorang yang membuatku terus menerus berbenah diri. Apabila rencana kami seturut dengan kehendak Sang Ilahi, kami akan menikah tahun depan nanti.
Tepat pada bulan Oktober satu tahun yang lalu, saat itu mungkin ketika Sang Maha Mengetahui menilaiku telah “cukup” berusaha untuk memantaskan diri, sudah “cukup” pantas untuk menjadi pasangan yang tepat. Dia mengirimkan seseorang yang membuat hatiku tak tenang, seseorang yang bayangannya selalu berlari-lari dipikiran.
Ya! Aku merasakan jatuh cinta yang begitu dalam. Namun kini aku benar-benar menyerahkan semua kepada Sang Empunya Cinta. Untuk kesekian kalinya kusampaikan, yang dapat kulakukan hanyalah berusaha merayu-Nya dengan cara memantaskan diri dihadapanNya karena Dialah yang mempunyai segalanya. Aku hanya berusaha membuat-Nya percaya hingga pada akhirnya mengijinkan salah satu makhluknya untuk menjalin kisah yang indah bersamaku sampai tiba saatnya nanti Dia memanggilku.
Bagi kalian yang sedang berjuang memantaskan diri, percayalah akan adanya hal indah di garis finish nanti. Jangan pernah lelah untuk berjuang, karena perjuangan adalah seni dari kehidupan. Kita tidak pernah tahu susahnya berjuang untuk mendapatkan sesuatu, maka kita juga tidak akan pernah bisa merasakan nikmat ketika diberikan sesuatu.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.