[CERPEN] Aldebaran, Sebuah Bintang Terang dalam Langit Malam yang Berhasil Membuatku Jatuh Cinta

Semesta tidak pernah salah. Mereka memilih kita sebagai takdirnya.

Cahaya keemasan senja menyinari hamparan pepohonan yang menghijau. Seperti biasa gadis berambut hitam sebahu itu selalu duduk sendiri di bangku taman kampus.Sesekali dirinya memegang sebuah buku yang mirip seperti sebuah jurnal. Orang-orang mengatakan dia sedang menunggu harapan. Harapan paling indah sekaligus paling kosong yang disadarinya. Harapan menyadarkan kalau dia tidak akan pernah menemui seseorang yang selama ini ditunggunya. 

Advertisement

Kenyataan kalau dirinya dan seseorang itu memang harus berpisah di satu persimpangan. Ada titik di mana ia tahu bahwa dirinya harus berhenti berharap. Hanya saja satu kata yang dijanjikan untuk bertemu kembali yang sebenarnya menjadikan harapan itu seolah tidak pernah berakhir.

“Kamu ini aneh, berdiri setengah jam hanya memandanginya saja,” komentar kawanku begitu melihatku berdiri. Menatap gadis itu, membuatku merasa ada kedamaian. Ada rasa penasaran yang lebih ingin mengenalnya ketika kami bertutur sapa. Saat melihat bola matanya, aku tahu dia penuh dengan kehangatan meskipun wajahnya terkesan dingin. Itu yang semakin membuatku penasaran. 

Ada kerinduan di hatinya. Aku tahu itu tanpa kutanya. Gadis dingin  yang aku temui di waktu SMP, yang butuh waktu lama untuk menyadari bahwa dia kelihatan manis. Aku belajar memahami detail-detail kecil tentangnya. Kadang membuatku bingung dan tidak mengerti. 

Advertisement

Namanya Aldebaran. Nama yang sangat jarang digunakan bagi kebanyakan orang. Sebuah nama satelit bintang Taurus. Bintang terang di langit malam. Aku tidak hanya jatuh cinta pada kehangatan di wajah dinginnya, tetapi aku juga jatuh cinta pada kisah hidupnya. Perlahan-lahan dirinya menarik perhatianku. 

Gadis yang pernah kukagumi itu, kini kutemui lagi di kampus. Dia tidak sehangat saat itu. Aku selalu merasa nyaman, kataku kalau sedang mengobrol dengannya. Satu hal yang membuatku terheran-heran. Dalam keadaan seperti itu, dia bergeming. Ekspresi yang selalu sama kala aku menggodanya. Datar. Bahkan tanpa memperdulikan ucapanku.

Advertisement

***

Dear, Aldebaran

Aku berjumpa denganmu. Orang menyebut keberadaanmu suatu kebetulan. Tetapi aku bilang ini takdir. Banyak orang mengagumi keindahanmu. Sama sepertiku seolah terhipnotis saat pertama kali memandangimu. Pesonamu begitu terang  bagaikan penerang jalan bagi kegelapan. Karenamu begitu terang, tidak akan pernah membiarkan sekejap pun lepas dari tatapan mataku.

Semesta tidak pernah salah. Mereka memilih kita sebagai takdirnya.

      Puisi cinta dari yang jatuh hati pada Aldebaran – Nabiel

             

Sebuah tulisan di kertas terselip pada jurnal yang kupinjam darinya. Jurnal mengenai Stephen Hawking. Nabiel, Itulah nama pacarnya yang desas-desusnya menggialkan gadis yang kukagumi saat masih SMP itu. Dari kabar, kudengar Nabiel meninggalkannya bertepatan di malam ulang tahunnya. Menemui pujaan hatinya yang lain. Cih, sungguh tipe laki-laki yang tidak dapat menghargai perasaan wanitanya.

***

“Dan kita bukan termasuk dari manusia normal, bukan pula pengecut karena nggak berani mengatakan kata cinta kepada orang yang membuat kita merasa nyaman dan bahagia bersamanya."

Betapa bahagianya aku bisa mengobrol dengan Aldebaran. Melalui buku yang berjudul CINTA akhirnya aku bisa berbicara lebih intens dengannya.

“Um…Lantas, mengapa sih, kalian kaum lelaki terkadang nggak mengatakannya? Mengaggumi tanpa bersuara," tanyanya.

Aku menatap tatapan matanya yang ingin mendapatkan jawaban yang tepat. “Oke, cinta adalah sinyal-sinyal bermuatan dalam hati yang terciptakan untuk memberikan ketenangan jiwa bagi sesama, alam dan dunia,” sesungguhnya itu bukan ucapanku, aku hanya mengutipnya dari sebuah buku. Jujur, saat kami berdua masih remaja, Aldebaran anak yang enerjik. Tapi sekarang.. Es. Hatinya beku. 

Aldebaran, gadis yang sulit untuk ditebak jalan pikirannya. Kata-kata yang terucap dari bibir kecilnya seolah memiliki makna. Dari informasi teman-teman kampus yang kudapatkan, Aldebaran dan Nabiel saling mencintai. Bisakah aku menggantikan posisi Nabiel di hatinya? Aku selalu berbicara dengan sangat hati-hati kalau itu menyangkut perasaan, tetapi, bibirku terkunci seakan enggan untuk menanyakan tentang Nabiel kepadanya.

“Lelaki seperti disiapkan untuk menjadi ketua. Walau terdengar tradisional sih, Al, namun kita tidak bisa memungkirinya. Dengan anggapan ini, kaum hawa bahwa tugas menyatakan cinta menjadi kewajiban lelaki. Dan faktanya, tidak semua lelaki memiliki nyali yang besar untuk melakukan tugas tersebut."

Dengan berbagai pertimbangan terkadang kami kaum lelaki membangun tembok pemisah sendiri yang semakin lama justru membuat kami sendiri ditinggalkan oleh wanita yang kami cintai. Pada dasarnya laki-laki hanya suka mengulur-ulur waktu saja,” seperti itulah ucapanku akhirnya.

Aku sadar ketika aku berbicara dengannya, aku sendiri merasakan hal yang sama. Mengulur-ulur waktu menyatakan cinta kepadanya. Entah karena aku juga tidak memiliki nyali besar. Sekarang mungkin sudah terlambat bagiku untuk menyatakannya karena seorang yang bernama Nabiel. Lantas apa yang harus aku lakukan untuk membuatnya merasakan getaran cintaku?

Tidak naif, aku kadang suka sebal ketika mendengar nama Nabiel. Kalau dia benar mencintai Aldebaran, mengapa dia mengkhianatinya? Pergi untuk wanita lain. Egoiskah kalau aku ingin merebut Aldebaran? Tatapan gadis ini seperti menunggu keajaiban yang akan membawa orang yang dicintai datang lalu mengajaknya hidup bersama. Menyebalkan bukan? Nyatanya, aku yang ada di hadapan Aldebaran. Hanya aku.

***

“Hujannya turun tiba-tiba ya?”

Aldebaran hanya menganggukkan kepala. Dia menatap sedih ke langit. Mengatakan bahwa dirinya tidak bisa melihat bintang-bintang sambil meringkas teleskopnya. Takut basah terkena oleh hujan. Sejak dulu, aku tahu dia sangat menyukai bintang malam. Tapi aku tidak pernah tahu kalau dia bisa sesedih ini sekarang.

Hening. Kami berdua lama terjebak dalam diam. Suaranya, bahkan sikapnya pun telah berubah.

“Senang sekali rasanya,” ucapnya.

Aku terperanga sekaligus terkejut ketika dirinya melontarkan kalimat itu. Benar kan, susah menebaknya.

“Aku bisa mengenalmu begitu melihatmu di kerumunan orang banyak, meskipun kamu terlah berubah seperti itu,” kataku. Kami berbincang tentang masa lalu di malam hujan. Berteduh di sebuah gazebo. “Kamu sudah benar-benar berubah, Al,” kataku.

“Kamu juga telah banyak berubah, Dylan.” Aldebaran tertawa untuk sesaat. “Mau pelukan kerinduan?” sesaat dia akhirnya memalingkan wajahnya menatapku dalam. Bisa kulihat bola matanya yang indah. Dia benar-benar berbeda dari yang aku kenal dulu.

“Aku mengingat pernah menyukaimu di masa lalu,” ucapnya.

Aku diam seribu bahasa mendengar kalimat yang baru saja diucapkannya. Jadi dia pernah menyukaiku. Tapi aku justru tidak memberanikan diri mengatakan yang sesungguhnya bahwa aku juga menyukainya. Hingga saat ini aku masih menyimpan rasa itu. Saat kutatap dirinya, sepertinya dia tidak mengetahui hal itu bahkan dia pun sudah tidak memiliki rasa itu kepadaku lagi. Aku menunduk malu.

“Semuanya sudah tidak seperti dulu lagi. Aku berbeda dan kamu pun juga berbeda. Yang artinya itu sudah jadi masa lalu.”

Dari kata-kata kejamnya itu. Ada suatu tanda kesepian di dalam dirinya. Saat ini perasaan ini  jauh lebih kuat dari masa lalu. Namamu masih memiliki tempat tersendiri di lubuk hatiku. Selalu seperti itu. Sejak malam itulah dia kemudian menjauh dariku.

***

“Kamu bisa menghindari semua orang, tapi nggak sama aku, Al.”

Aku menyunggingkan senyum, sambil menghampiri Aldebaran di taman kampus.

“Apa yang sedang kamu lakukan di kampus malam-malam seperti ini?” aku bertanya dalam hati. Apakah ada sesuatu yang disembunyikannya dan tidak aku ketahui selama ini?

Aldebaran menghela napas panjang lalu menatapku tenang. Tatapannya meneduhkan hatiku. Andai dia tahu. Aku jatuh cinta kepada gadis yang menunggu seseorang yang telah meninggalkannya. Mengapa dia tidak merasakan cinta yang tulus dariku?

“Ini sudah malam, semua orang akan kawatir kalau kamu berlama-lama disini. Lagipula orangtuamu pasti sudah menunggumu.”  Aku takut kalau aku marah dia akan lebih menjauh lagi.

Dia tidak berkata apa-apa sampai aku menyebut nama Nabiel di depannya. “Apa kamu masih menunggu Nabiel? Dia telah meninggalkanmu demi wanita lain!" teriakku akhirnya, tidak dapat mengendalikan emosiku lagi.

“Nabiel…” Sinar mata Aldebaran membesar penuh kemarahan. "Laki-laki sepertimu ini jelas nggak tahu apa pun soal Nabiel. Ya, dia meninggalkanku demi Rigel!” ujarnya dengaan lantang lalu merendah. “Dia belum kembali dan mungkin nggak akan pernah kembali ke sisiku lagi…” Kali ini Aldebaran tidak berteriak. Bulir-bulir airmata membasahi pipinya.

Aku membuat gadis manis yang kucintai menangis.

***

Sudah berhari-hari sejak kejadian itu, dan kami enggan untuk membicarakannya. Teriakannya membuatku sedikit bersalah. Tidak seharusnya aku membuatnya sedih.

Hari ini, aku mendatangi Aldebaran di taman kampus. Haruskah dia berada dalam lamunan pada harinya yang istimewa? Aku menghampirinya membawa dus bolu dan bingkisan kado sederhana.

“Ini kado sederhana dan bolu coklat untukmu, Nona.”

Sorot mata Aldebaran menyiratkan keanehan dan keraguan. “Tumben ngasih kado? Masih ingat hari ulang tahunku ternyata.” Dia tertawa kecil.

“Dulu ingat, waktu masih SMP? Kamu pernah buatin aku bolu coklat terus kita makan bersama-sama seusai pulang sekolah. Nggak salah kan, kalau aku ngasih ini untuk membalasmu sekaligus menginggat memorable itu . Nggak suka, ya?”

Tanpa menjawab, Aldebaran mengambil dus berisi bolu dan kado dari kedua tanganku. “Jadi, apa doa yang kamu inginkan?” tanyaku sekenannya.

“Berdoa untuk apa? Semua baik dan buruknya sudah di atur kok.”

“Berdoa agar Nabiel kembali ke sisimu. Kamu sudah lama menunggunya kembali, kan?”  tanyaku, kali ini penuh penekanan. Aku harap dia tidak benar-benar berdoa untuk itu. Look at me, mengapa kamu menunggu yang tidak pernah datang sementara ada yang lain bersamamu sekarang?

“Buat apa memintanya kembali ke sisiku kalau dia sudah berhasil bersatu dengan Rigel? Dia sudah bahagia bersamanya, aku sudah bahagia kok.”

Kalimat tidak terduga itu keluar begitu saja, dengan tatapan lurus mengarah ke langit. Sekeras mungkin, kuputar otak untuk mencerna konsep pemikirannya. Aku makin heran, dia yang dulu pernah kukenal, kini bermetamorfosis jadi orang yang baru kukenal. Aku baru menyadari. Mendadak matanya berkaca-kaca. Dia menahan tumpukan air mata, tidak sanggup, air mata itu tumpah melintasi pipinya.

“Namanya Bintang Rigel. Dia cantik, abadi dan bersinar!” Aldebaran mengucapkan kata-kata itu dengan penuh air mata. Setelah beberapa saat dia menghapus air mata disela-sela pelupuk matanya. Saat suasana mulai netral kembali kami berbincang banyak hal. Aku menemukan sosok cinta pertamaku yang penuh kehangatan. Kami teranyut dengan keasyikan saling melempar kekaguman semasa sekolah dulu. Mana mungkin aku bisa melupakan kejadian masa itu. Bibirku kelu, aku tidak cukup berani mengatakan I love you kepadanya.

 “Kadang kala, perbedaan langit dan bumi menyulut pertengkaran yang lebih ekstrim ya.” Aldebaran terus menatap kemegahan langit malam yang menghadirkan cahaya bintang. 

Aku mengerutkan dahi menatapnya. Gadis ini benar-benar aneh. Semenit yang lalu dia menangisi kepergian pacarnya,lalu tertawa kemudian berbicara dengan makna cukup dalam. Aku mencoba memahami makna kiasannya. Kuyakini Aldebaran masih menunggu Nabiel kembali. Tapi koneksi mereka telah terputus atau lebih tepatnya diputus oleh semesta.

“Ketika aku melihat bintang-bintang di angkasa aku baru mengerti mengapa manusia begitu terhipnotis oleh keindahannya. Konstelasi yang megah, sinar yang memukai hati serta misterinya memikat manusia selama berabad-abad.”

Aku hanya bisa menatapnya.

***

Sudah enam bulan dia menyibukkan diri di Laboraturium bersama profesor. Dan saat ini jantungku berdetak tidak beraturan menyapanya malam itu. Lama sekali aku tenggelam dalam lamunanku. Jam demi jam berlalu. Hingga akhirnya aku bangkit dan meraih jurnal yang kupinjam darinya beberapa bulan lalu dengan maksud mengembalikannya. Dia benar. Aku tidak benar-benar mengerti tentang Nabiel. Otak kiriku memang tidak sanggup menganalisa isi hatinya.

“Aldebaran sayang, aku tahu ini pasti tidak termaafkan olehmu. Meninggalkanmu di hari ultahmu. Percayalah, aku tidak dengan sengaja meninggalkanmu. Bukan karena aku tidak mencintaimu.  Bukan aku tidak mendengarkan permintaanmu untuk tidak bergelut dengan fisika dan segala rumusnya. Aku punya banyak waktu yang kubagi untukmu seumur hidupku nantinya. Kupastikan akan segera kembali untuk menemuimu. Selamat ulang tahun, sayang”

Nabiel….

Tulisan tangan dengan tinta hitam dari Nabiel yang kubaca di sebuah jurnal yang belum sempat kukembalikan pada Aldebaran. Ada foto berukuran kecil yang tertempel di bagian belakang jurnalnya. Aldebaran yang malang. Aku tahu sekarang mengapa gadis yang kucintai itu terus menunggu kedatangan Nabiel kembali. Surat yang kubaca ini membuatku mengerti beberapa detail kecil dari Aldebaran. Nabiel tidak akan pernah kembali. Kabar mahasiswa yang meninggal kehabisan oksigen saat ekspedisi di Antariksa itu adalah Nabiel. 

Mataku menerawang kembali teringat pada pengumuman soal kematian seorang calon astronot. Baru kusadari sekarang. Aku terlalu sok beranggapan Nabiel lelaki yang jahat. Satelit bintang itu bernama bintang Rigel. Nabiel tidak akan pernah pergi dari hatinya. Nabiel mungkin saja tidak akan tergantikan. Tetapi aku akan menemaninya sampai dia benar-benar mengiklaskan kepergian Nabiel. Aku siap menggantikannya. Aku siap menjadi Nabiel kedua dihatinya.

***

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Writer Ig : @crsudiyono Email : riska.erixchon@gmail.com