Masih segar dalam memoriku bagaimana kisah kita bermula. Hanya dua orang yang tak saling mengenal, bertemu di sebuah tempat yang biasa disebut kampus. Pertemuan kami hanyalah kejadian biasa, seorang yang sama-sama sendiri dan berusaha untuk melengkapi diri. Lengkap? Kamu lah sebabnya.
Dari seorang mahasiswa biasa tanpa angan untuk segera berkeluarga, ku jalani hari berdua dengan bagian diriku yang hilang. Cukup lama hingga akhirnya kurasa bahwa aku sudah siap, ku tanya engkau,
“Sudah siapkah kau untuk menjalani waktu selamanya denganku?”
Tak segera menerima, justru membawaku menuju masa penantian. Yah barang kali usiamu belum genap untuk segera berkeluarga. Ku maklumi itu. Aku sadar kamu masih muda.
Hingga waktu yang ditentukan tiba, ku pinang kamu. Dengan berbalut busana putih, diiringi nyanyian syahdu, ku memandangi sosokmu yang sedang berjalan ke depan altar. Dengan ayahmu sebagai pengiringnya, hari itu aku menemukan sosok yang akan mewariskan peran ibu untuk merawatku.
Menjadi berdua setelah bertahun-tahun sendiri tidaklah mudah. Cekcok hanya karena perbedaan kecil terkadang membuatku lelah. Jumlahnya terlalu banyak untuk diingat. Egoku tak bersatu dengan egomu, hingga anaklah yang menyatukan ego kita. Melihatmu payah bersalin membuatku semakin mencintaimu. Berjuang untuk melahirkan warisan tentang kita. Perempuan yang amat manis terlahir, seperti ibunya.
Hari itu membuat kita utuh disebut keluarga. Bergantian terjaga saat buah hati kita terlahir terasa sangat menyenangkan. Haha, itu saat yang sangat indah. Tak terasa anak kita sudah bisa berjalan, bahkan bicara. Pertama kali ku dengar ia mengucap kata ‘papa’ membuatku rela mempertaruhkan segala keberuntunganku. Tak berlebihan, namun memang begitu adanya.
Lambat laun ia semakin dewasa, tumbuh sempurna seperti kebanyakan sebayanya. Melihatnya menyadarkanku pada satu hal, akan datang masanya ketika aku harus melepasnya pergi untuk bersatu dengan rusuknya. Membuatku kembali berdua dengan rusukku.
Tubuh yang dulu tegap kini mulai bungkuk. Sinar mataku tak secerah dulu. Istriku pun begitu, mahkota hitamnya perlahan berubah menjadi perak. Wah, tak ku sangka ternyata sudah sebanyak itu rambut putihmu. Kulitmu tak sekencang dulu, tapi kulitku juga. Tubuhmu sudah lemah, bahkan hingga mudah sakit. Melihatmu sakit membuatku turut merasakan sakitnya juga. Dengan tubuh yang tergeletak lemah kamu masih bisa bercanda. Lihat keriput di matamu itu, sudah sangat banyak.
“Bagaimana jika aku pergi duluan?”
Tolong itu tidak bisa ku jawab. Aku hanya terdiam mendengar pertanyaan yang jawabnya sudah di ujung lidah. Nestapa.
“Hehe, aku cuman bercanda, kita akan pulang bersama,” jawabmu seraya terkekeh lemah.
Aku tahu kamu tidak bercanda. Sangat yakin di dalam hatimu kamu sudah mengetahui bahwa usiamu hampir genap. Tapi dengan sisa tenagamu yang lemah itu, kamu pergunakan untuk membuat senyum di wajahku.
Kamu keterlaluan.
Sembari menikmati genggaman tanganku, matamu berubah sayu. Cahayanya mulai memudar.
“Aku ngantuk,”
Ah, barang kali ini saatnya. Tak bisa lagi ku cegah.
“Tidurlah,”
“Makasih, aku mencintaimu,”
“Aku juga,” kamu pasti tidak bisa mendengarku mengatakan ‘aku mencintaimu’ untuk yang terakhir kalinya kan?
Kini aku tidak bisa lagi mengantarkanmu makan, ataupun sekedar melihat rona wajahmu yang sayu sebelum tidur. Bukan karena aku tak ingin, tapi kamulah yang telah lalu, menjadi satu dengan semesta. Kulihat album lama kita. Tak sadar air mata menetes di atasnya.
“Sabar ya, sebentar lagi, tak akan lama hingga kita bersama lagi, satu dalam semesta,”
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”