Dulu, puas aku bermain dengan inginku. Mencoba mengobrak-abrik zona garis kesabaran orang lain, hanya untuk kepuasan batin pribadi. Berpikiran layaknya anak Taman Bermain, jarang bahkan tidak pernah menghargai bagaimana interpretasi orang lain, atas apa yang tersirat maupun tersurat dari perilaku ku. Dulu, puas aku bermain dengan egoku.
Memuja dan menganggap diriku betul dan selalu akan menjadi betul, padahal ego ku itu jelas bersifat korosif: menghancurkan dari dalam. Semua orang tahu namun mereka bisu. Dulu, hanya aku yang buta. Tapi aku sudah lama selesai bermain main di pinggir jurang, yang hampir saja menyeretku ke dasarnya. Lalu sekarang, mengapa kamu belum selesai juga?
Baru sekarang aku merasakan, betapa "mengelus dadanya" berhadapan dengan ego manusia selain diri kita sendiri. Dan baru sekarang aku menyadari betapa orang lain mungkin dulu begitu muak terhadapku akan sikap ini.
Baru sekarang, ya, baru sekarang. Baru sekarang setelah aku melihat cerminan ku dulu yang jelas-jelas bersinar dari dalam pesonamu. Kamu terbakar layaknya api, namun mengapa aku seakan-akan kayu bakarnya, yang menjadi bahan kobaranmu? Kamu tenang mengalir seperti dinginnya air, namun mengapa aku seakan-akan bebatuan kaku yang begitu saja kamu lewati tanpa permisi? Kamu ini bongkahan ego yang masih solid.
Masih sulit untuk pecah dan berpendar. Aku fikir akulah orang terakhir yang masih sekonvensional ini untuk bermain-main dengan ego sendiri, ternyata masih ada kamu. Yang kadarnya jauh lebih kacau dari yang pernah ku bayangkan. Hai ruang rupa, aku sudah lama sembuh dari “sakit jiwa” itu, mengapa kamu belum juga?
Tahukah kamu bahwa hampir apa-apa yang aku genggam erat dulu, hilang bertebaran, hanya karena rong-rongan egoku itu? Dan lagi, mengapa masih saja kamu berbuat seperti itu? Setelah sudah panjang lebar dan tinggi nya aku bercerita susah payah mengenai hal ini, dan masih saja kamu belum pahami?
Berhentilah mengejar apa yang tak mungkin terkejar. Kamu bukan pasukan budak ego mu. Juga hidupmu ini bukan pula satu lingkup game yang takkan puas jika belum bertemu sang raja di level Maha Dewa. Tahukah kamu bahwa rasanya dipermainkan ego itu sungguh nyeri sampai ke ulu hati?
Dan itu akan terasa, di akhir penyesalan yang tak berarti. Hai kamu cahaya tenang yang temaram, masihkah kamu bahagia berjalan lurus dengan menginjak-injak jantung setiap orang?
Aku sudah lama pensiun untuk mencoba menyakiti yang lain, dengan cara tak berperikemanusiaan seperti itu. Ya, dengan menyanjung keegosentrisan dan melumat habis perasaan orang lain yang tak tahu menahu soal kerusakan batinku. Sudah selesai aku untuk tidak menghargai apa-apa yang sudah sangat sewajarnya untuk dihargai. Namun, mengapa kamu justru masih senang bermain-main dalam kubangan itu?
Padahal aku tahu, bahwa kamu lebih tahu. Aku bingung apa sebenarnya "motif tulusmu" itu.
Kusarankan saja kepadamu, untuk lebih mawas diri akan diri sendiri. Tak ada satupun silent soul-killer yang paling mematikan di dunia ini, selain sel-sel pola pikir diri sendiri yang sudah salah kamu coba untuk interpretasi.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.