Mungkin sebaiknya orang sepertiku tidak patut di cintai. Karena trust issue yang kualami hampir membuatku kehilangan segala yang aku miliki.
Aku kini tidak mengenali diriku sendiri. Sosok yang ceria, periang, mudah berbaur dengan siapa pun, bahkan aku sudah kehilangan itu semua. Rasanya semua menjadi gelap. Rasanya aku lebih mencintai ruangan berbentuk kubus yang selama ini tahu tentang apa saja yang kupikirkan dan menjadi saksi atas tangisanku.
Mengada-ada? Untuk apa? Untuk apa aku menanamkan diriku pada pikiran yang berlebihan dan rasa kepercayaan yang sulit untuk kuyakini?
Aku … ingin kembali menjadi diriku yang dulu. Jauh sebelum aku tahu bahwa seseorang bisa berkhianat kapan saja. Jauh sebelum aku tahu bahwa siapa pun bisa memanipulasi apa yang dilakukannya. Mengatakan cinta, tetapi sebenarnya juga menyukai tempat pertemuan terlarang mereka.
Bertahun-tahun aku menyimpan sendiri akan hal-hal yang kulihat. Apa yang kurasa ketika aku melihat senyum simpul dan indahnya sebuah kecurangan.
Aku baik-baik saja? Tentu. Aku akan menampilkan apa yang orang-orang ingin lihat dari diriku. Bahagia, senyum, senang, seolah tak ada sedikitpun luka yang bersarang di dalam diriku. Itulah mengapa aku lebih suka untuk berdiam diri di ruangan ini daripada harus bergabung dengan obrolan berisik tak berisi.
Dan kalian tahu? Aku membenci diriku lebih dari rasa sayang yang kalian berikan. Aku benci ketika harus berhadapan dengan perpisahan, pertengkaran, dan sikap dingin yang mengharuskan aku untuk menerjemahkan maknanya sendiri. Aku tidak bisa.
Hingga akhirnya aku tumbuh dengan rasa bersalah yang selalu menghantui tanpa aku tahu sebenarnya rasa bersalah itu sendiri. Aku selalu menyalahkan diriku atas apa yang terjadi pada diri orang lain meski sebenarnya aku tidak memiliki sangkut pautnya sedikit pun.
Kini aku benar-benar kehilangan diriku. Hari-hariku selalu berat tanpa aku tahu apa yang menjadi beban. Karena aku selalu menepis rasa sakit yang kuterima. Karena aku selalu memaksakan diriku menggunakan topeng kebahagiaan. Karena aku selalu berkata ‘tak apa’. Walau sebenarnya aku hancur tak bersisa.
Ucapan tentang, ‘jangan jadikan seseorang sebagai rumahmu’ mungkin ada benarnya. Manusia bersifat dinamis. Semua orang memiliki beban mereka masing-masing. Aku memilih untuk menyimpan sendiri akan hal-hal yang kualami. Yang akhirnya aku menjustifikasi diriku bahwa orang lain sama adanya.
Aku tahu ada yang salah denganku. Aku tahu tak sepatutnya aku menggantungkan diriku dengan orang lain. Tak semestinya aku berharap orang lain dapat mengerti. Aku yang seharusnya bertanggung jawab akan diriku sendiri. Seharusnya aku ‘sembuh’ sebelum aku memulai dengan orang lain. Karena aku malah akan menyakiti orang lain. Aku malah akan menjadi pelaku karena luka yang kualami.
Aku bodoh, ya?
Aku merasa, aku juga ingin dicintai dan mencintai. Tapi aku tidak bisa menerima jika hidup ini ada pasang surutnya. Karena dari sudut pandangku, aku terlalu lelah dan lemah. Orang lain bilang, aku adalah pengecut. Menyerah sebelum berperang. Tapi apa mereka tahu bagaimana aku bangkit dari jatuh? Apa mereka tahu bagaimana aku meyakinkan diriku bahwa rasa kepercayaan harus ada dan dijaga?
Tidak. Dan aku tidak menyalahkan mereka atas apa yang kualami. Toh sejak dulu, mereka membagi keluhan mereka padaku, dan menyuruhku untuk menyimpan semuanya. Tidak berpikir bahwa aku bukan robot. Bahkan robot pun memiliki batas tersendiri. Akan meledak karena overload. Begitu pun denganku.
Aku ingin sembuh. Aku sangat berharap tidak ada lagi hari-hari di mana aku merasa cemas tentang apa yang akan terjadi. Aku mau meyakinkan diriku bahwa kehilangan adalah hal yang wajar. Bahwa jatuh adalah alasan untuk menjadi kuat. Bahwa aku istimewa karena mengalami duka sedalam ini.
Aku manusia hebat dan kuat. Meski terdengar seperti omong kosong, tapi setidaknya aku masih mempunyai harapan, kan? Meski luka ini masih basah.
Aku tahu bagi sebagian orang, mungkin ceritaku hanya karangan dan drama yang di buat-buat. Berkata aku kurang dekat dengan Tuhan, berkata aku sangat lemah dan tidak memiliki mental baja. Tapi percayalah bahwa aku sudah meyakinkan diriku untuk tidak berakhir di sini. Buktinya, aku masih bernapas dan mampu menulis kata demi kata saat ini. Aku berusaha tidak berkalut dengan semua itu lagi.
Aku memilih untuk bertahan di sini. Aku memutuskan untuk tidak lagi mengurung diriku dan mencoba untuk mencari celah kebahagiaan. Aku yakin kalau aku mau berusaha, aku akan menemukan titik bahagia yang selama ini aku tidak tahu di mana keberadaannya karena aku yang menggelapkan diriku sendiri.
Untuk beberapa orang yang mungkin sudah lelah namun tetap bertahan di sampingku, aku ingin meminta maaf sekaligus berterima kasih.
Maaf karena masa pulihku begitu lama hingga aku tidak menjadikan kalian rumah lagi. Kalian hebat dengan cerita perjuangan yang kalian kisahkan. Aku hanya tak ingin memberatkan. Maaf karena aku begitu egois. Dan aku tahu kalau mungkin bagi kalian, ini terdengar seperti celotehan basi.
Terima kasih karena selalu mencoba mengerti. Terima kasih karena menjadi sosok yang membuatku yakin bahwa aku tidak berjuang sendirian akan hidup yang kujalani.
Dan untuk diriku … jangan bodoh lagi, ya? Kamu mau sembuh, kan? Kalau begitu, jangan membuat orang lain terluka. Jangan gegabah, dan jangan menggantungkan kebahagiaanmu dengan orang lain. Tolong bertahan meski dengan alasan terkecil sekalipun.
Aku mencintaimu, walau aku telah kehilangan dirimu sejak lama.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”