Aku hidup dengan limpahan kasih sayang. Seorang anak pandai dengan prestasi gemilang dan nilai-nilai yang sangat membanggakan. Hingga musibah itu datang. Karenanya aku rela mengubur cita-cita. Aku tidak ingin menjadi beban bagi orang tua. Memilih kuliah di suatu jurusan hanya demi mengejar beasiswa yang akhirnya hanya janji belaka.
Tidak ku sangka keputusanku menimbulkan kekacauan. Aku merasa tidak nyaman dengan lingkunganku sekarang. Aku memilih melakukan banyak aktivitas di luar kegiatan perkuliahan. Para pengajar mulai gaduh karena prestasiku sangat jauh dari yang mereka harapkan. Sangat mengecewakan.
Tapi aku masih bergeming, sibuk mencari hakikat kebahagiaan yang terasa semakin tak tergapai.
Aktivitas segudang membuatku tidak memiliki banyak teman. Aku sibuk dengan duniaku sendiri, dunia yang memberiku banyak kesempatan dan harapan. Pekerjaan membuatku memutuskan untuk merubah penampilan. Bisikan-bisikan tidak menyenangkan mulai sering terdengar.
Tapi tidak satupun dari mereka pernah melontarkan pertanyaan, atau sekadar mendengarkan penjelasan. Penghakiman itu semakin lantang disuarakan.
Awalnya semua itu tidak mengusik kehidupan. Tapi semua berubah ketika “omongan orang” memaksaku berpindah-pindah tempat tinggal. Aku dituduh mencemari lingkungan. Aku dipaksa keluar tanpa pernah sempat melontarkan pembelaan karena penampilanku yang “katanya” mengundang. Atau karena banyaknya lelaki yang bertandang. Padahal tidak pernah sekalipun mereka melewati gerbang. Aku masih sangat memegang teguh batasan dan kehormatan seorang perempuan. Aku berusaha tegar menjalani setiap ujian yang bertubi-tubi datang, meski hati ini sejatinya telah remuk redam.
Selalu saja penghakiman tak berdasar yang menang. Aku merasa sendirian, terbuang, dan ditinggalkan. Aku semakin larut dalam dunia yang seolah memberiku kebahagiaan.
Meskipun begitu tidak pernah sekalipun aku melupakan Tuhan. Ibadah tetap ku jalankan dengan penuh ketaatan. Bahkan aku tak pernah bosan untuk memperdalam pengetahuan dan hafalan beberapa juz Al-Qur’an yang tidak pernah aku lupakan. Tidak pernah sekalipun aku bersentuhan dengan barang haram atau mendekati kemaksiatan. Aku hanya melakukan pekerjaan yang bisa membuatku melarikan diri dari semua ketidaknyamanan. Tapi banyak orang yang hanya memandang tampilan luar tanpa pernah berusaha memahami perasaan.
Terkadang aku sadar ada kesalahan dalam penampilan. Sesuatu dalam diriku bergejolak penuh kegelisahan. Aku tidak seharusnya mencari pembenaran atas pilihan.
Aku ingin berubah, tapi kehilangan arah.
Semakin banyak penghakiman terlontar. Tidak ada tempat untuk bersandar. Tidak ada telinga yang bersedia mendengar. Mereka sibuk menghitung kesalahan tanpa pernah mau mengingatkan. Aku terombang-ambing di tengah kegundahan. Aku terpuruk semakin dalam.
Ternyata semua yang sudah terjadi bukan kebetulan. Tuhan menuntunku mengambil keputusan bukan tanpa alasan. Kebahagiaan tidak didapatkan dari kemudahan dan kenyamanan. Tapi dari kesukaran dan ujian yang Tuhan berikan.
Suatu hari hidayah itu datang. Jawaban atas doa-doa yang tidak pernah lelah aku panjatkan. Aku tersentak oleh kalimat yang dilontarkan seseorang. Begitu santun dia sampaikan, tapi mampu menyentuh hatiku yang rindu akan ketenangan. Aku sempat marah mendengar ucapannya, tapi luluh ketika dia memohon maaf dengan penuh ketulusan. Tak pernah bermaksud untuk menyakiti hatiku, dia hanya berusaha menuntunku menuju kebaikan.
Dan entah sejak kapan, perlahan dia berhasil mengisi kekosongan. Sesuatu dalam dirinya membuatku sanggup berdamai dengan segala kesakitan dan kekecewaan.
Tidak berapa lama kemudian dia mengkhitbahku dengan penuh keyakinan. Tapi rasanya perjalanan kami masih panjang, apalagi restu tidak kunjung di tangan. Perbedaan kewarganegaraan menjadi perdebatan panjang. Atau jarak yang kelak siap menjadi penghalang. Tapi dia tidak pernah menyerah untuk meyakinkan. Sekali lagi Tuhan selalu memberi jalan keluar. Ketika segala urusan kami serahkan pada-Nya, jalan menuju gerbang pernikahan semakin terbuka lebar. Bersamanya aku semakin giat belajar. Dia membimbingku dengan penuh kesabaran. Menuntunku agar segera meraih kelulusan. Ku tinggalkan semua hal yang dulu kuanggap sebuah kesenangan. Semua itu sudah tidak aku perlukan karena sekarang aku sudah menemukan kebahagiaan.
Aku wanita beruntung yang terperangkap dalam kesempurnaan cinta. Cinta suami dan cinta Penguasa Semesta.
Hidayah adalah kenikmatan terbesar yang Tuhan berikan. Tak ada lagi penyesalan karena rencana Tuhan lebih mengagumkan. Jangan pernah lelah mengetuk pintu-Nya lewat doa dan pengharapan. Selamat mengecap manisnya hidayah bersama doa-doa yang sanggup menggetarkan Semesta. Jangan pernah meragukan keindahan rencana-Nya.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.