Aku dan Burung: Aku Tak Ingin Kehilanganmu Walau Hanya Suaramu yang Senyap

Di dalam rimbaku bersujud dengan kata-kata yang tergadaikan

Sayang dengarkan ini. Desahanku yang terbawa oleh embusan angin kepada sayap burung yang bersandar di batang pohon rindu yang suci akan sentuhan para pemburu liar yang haus dan lapuk akan pahala yang sunyi di tengah bingar dosa-dosa tanpa Tuhan. Di dalam rimba  aku bersujud dengan kata-kata yang tergadaikan, aku tak ingin kehilanganmu walau hanya suaramu yang senyap sungguh aku tak ingin kehilangan. 

Advertisement

Kehilangan hanya membuat kusesak, bergemuruh ditengah kesendirian, kau asing bagi mataku, telingaku serta hatiku. Aku menikmati seyummu di balik angin yang berkabut makna: bahwa aku terjebak di dalam besitan Nur yang kau semburatkan disenyummu.

Kemudian kau pergi pulang tak menyisahkan makna: tentang seyummu lagi, yang sungguh kunanti bersama keluarga burung yang tersesat untuk mencari sarang. Lalu Ibu burung bingung bahwa anaknya hilang satu, sarang ketemu, buah hati melayang, Ibu burung meneteskan air mata, terjatuh tepat di pipiku, kuteruskan air mata itu bersama air mataku yang menjadikan tempat ku berdiri terbanjiri air mata penantian kepada yang hilang.

Esok harinya anak burung kembali, melihat sarang tak ada, Ibunda tak ada, sanak saudara tak ada, yang ada hanya aku. Anak burung menghampiriku yang hampir tenggelam oleh air mata kemarin. Anak burung bertanya padaku:

Advertisement


"Apakah kamu melihat keluargaku?"


Ia berbicara bergumam tersendat oleh air matanya.

Advertisement

"Tidak", ucapku dengan ringkih menahan dingin akibat setengah badanku terendam air mata.

"Apakah kau masih bisa terbang, jika masih bisa terbang tolong sampaikan salamku  kepadanya, aku di sini menunggu dibanjiri air mata, dilumuti kegelisan dan kelaparan sapa tanpa temu"

Anak burung pergi tanpa balas. Harapanku pergi bersama kepakan sayapnya. Angin membawanya dengan tak tentu, kadang sayap burung, runtuh jika diterpa angin badai. Sisalah bangkai jika temu sang kilat. Dan aku tetap di sini, menunggu senyummu. Menguras lautan air mata dan masa yang hampir menenggelamkan waktu dan usiaku yang tak kenal namaku, lupa alamat rumahku. Lupa nama ibu kandungku, lupa nama dosenku, lupa tentang hari ini.

Dan yang aku ingat hanya senyummu. Yang awet tanpa bahan pengawet.

Yang kau lemparkan lima menit lalu. Terbungkus dengan warna lembayung, Terbalut senja tanpa mendung. Asri dengan dedaunan hijau tanpa gersang. Kemudian kau pergi setelah lima menit berlalu: 

Tinggal-lah endapan ampas yang tersisa pada dasar cangkir, tanpa sesapan terakhir.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Aku adalah mimpi yang patah. Raut wajahku tersimpan di dalam doa