Bukan rahasia umum lagi apabila ruang publik rasanya belum ramah untuk para perempuan. Trotoar di jalan-jalan protokol, transportasi umum, hingga gang-gang sempit menjadi momok yang mengerikan untuk dilewati bagi perempuan di kala terik maupun di kala matahari tenggelam menuju malam hari. Bukan, bukan karena kisah penampakan atau momok cerita hantu, melainkan besarnya potensi pelecehan dan kekerasan yang kerap dialami perempuan di ruang publik.
Bukan bualan belaka, Komisi Ruang Publik Aman (KRPA) menemukan dalam penelitiannya pada 2019 bahwa perempuan 13 kali lebih rentan mengalami pelecehan seksual di ruang publik dibanding laki-laki. Temuan yang cukup menyadarkan kita bahwasanya di era yang mana kesetaraan gender kerap digaungkan, realitanya jauh berbanding terbalik karena perempuan masih belum menerima hak untuk merasa aman bahkan di ruang publik sekali pun.
Polemik ini bak benang kusut yang belum terurai dengan rapi, tidak amannya ruang publik bagi kaum perempuan bukan sekadar karena adanya pihak-pihak yang ‘iseng’ memanfaatkan kesempatan. Jauh lebih besar dari itu, layaknya fenomena gunung es, ada banyak persoalan lebih dalam yang memicu terjadinya polemik tersebut masih terjadi hingga hari ini.
Lantas, mengapa hal ini terus terjadi?
Salah satu peringkat teratas yang menjadi pemicunya ialah masih menjamurnya budaya normalisasi pelecehan, biasanya hal ini terjadi pada pelecehan yang berbasis verbal. Seperti panggilan-panggilan tak senonoh kala perempuan berjalan, siulan, komentar seksis, hingga suara kecupan yang dibuat-buat kerap diterima perempuan tanpa memandang penampilan dan busana yang dipakainya.
Perilaku di ruang publik ini seakan dianggap normal oleh pelaku yang kerap kali berdalih bahwa hal tersebut adalah candaan. Akan tetapi, perilaku tersebut rasanya tidak dapat dikategorikan sebagai candaan, sebab bukan tawa yang ditimbulkan, melainkan rasa tidak nyaman dan trauma membekas bagi korbannya.
Perilaku ini juga merupakan hasil dari minimnya atau bahkan absennya edukasi mengenai kekerasan dan pelecehan seksual sedari dini. Hal tersebut berdampak pada timbulnya pelaku-pelaku pelecehan seksual di ruang publik hari ini, yang memiliki pemahaman bahwa hal tersebut merupakan hal yang normal dan sekadar ‘iseng’ saja. Ironis? memang.
Kendati demikian, rasanya tidak perlu jauh-jauh terlebih dahulu membahas mengenai absennya edukasi pelecehan atau kekerasan seksual. Kurikulum pendidikan di Indonesia pun masih belum menitikberatkan pada pentingnya pendidikan dasar budi pekerti dan nilai-nilai keluhuran antar sesama manusia.
Sudah seharusnya pendidikan dasar untuk menjadi manusia yang berakal sehat ini ditanamkan selayaknya nilai-nilai akademik lain. Sehingga diharapkan dapat menghasilkan manusia-manusia yang mengerti cara menghargai, dan menciptakan rasa aman dan nyaman bagi sesama.
Pemicu lain dari polemik tidak amannya ruang publik bagi perempuan ialah abainya para lembaga dan institusi yang berwenang terkait hal ini. Padahal, pihak-pihak tersebut memiliki andil yang besar dalam mengusut dan memberikan solusi atas persoalan ini. Jangankan ruang publik, kasus pelecehan yang terjadi di lingkup terkecil seperti di dalam rumah saja baru bergerak dan diusut setelah muncul keramaian di jagat media sosial.
Bela diri sendiri
Di saat ‘benang kusut’ ini terus menjadi momok setiap harinya, perempuan dan kaum lain yang merasa ruang publik tidak aman terus berusaha memberikan diri rasa aman dengan berbagai cara. Mulai dari membekali diri sendiri dengan senjata bela diri yang dikemas sebagai alat rias, semprotan lada atau bubuk cabai, hingga ada pula yang terbiasa membawa alat kejut listrik untuk kegiatan sehari-hari.
Inovasi-inovasi alat bela diri ini nampaknya menjadi terobosan dan solusi yang cerdas, namun di sisi lain juga menjadi ironi tersendiri, sebab melihat fakta bahwa perempuan harus berusaha sebegitu besar untuk merasa aman dari pelaku-pelaku pelecehan dalam kesehariannya menghadapi dunia.
Dari bingkai yang jauh lebih besar, tidak amannya ruang publik bagi perempuan membuat semakin terbatasnya keleluasaan perempuan dalam ruang gerak dan mobilitasnya sehari-hari. Terbatasnya keleluasaan ini juga akan berdampak pada penurunan produktivitas, hingga versi terburuknya adalah penurunan kepercayaan diri akibat trauma yang dialami oleh perlakuan tidak nyaman selama berada di ruang publik.
Oleh karena itu, akan ada banyak upaya yang perlu dilakukan oleh berbagai lapisan masyarakat. Mungkin tidak sebentar, mungkin akan memakan waktu yang lama untuk menumbuhkan kesadaran akan polemik ini. Namun dengan sedikit rasa optimisme dan rasa saling menghargai, maka bukan tidak mungkin bahwasanya di masa mendatang, tidak lagi menjadi harga yang mahal menciptakan ruang aman untuk para puan.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”