Kamu hanya punya dua pilihan; bersembunyi atau berlari. Meskipun kamu selalu berharap memiliki pilihan ketiga, yaitu menyambutnya.
Kamu harus bersembunyi. Sebelum sinarnya yang terang benderang itu melelehkan tubuhmu yang ternyata serapuh es krim milik bocah kecil yang menangis karena wujudnya sudah tak berbentuk lagi. Kamu tak bisa berdiam diri saja, dan menganggap bahwa semuanya aman terkendali seperti biasa. Bukankah kini hatimu sedang menari-nari? Terkadang rona pipimu pun berubah, bibirmu mengulum senyum terbaik. Bisakah jikaku katakan bahwa dirimu sedang tidak baik-baik saja?
Maka pilihan pertamamu adalah bersembunyi. Bersembunyi dalam malam-malam yang panjang, menyuarakan doa yang hanya bisa didengarkan oleh dirimu dan Tuhanmu. Mengubur dalam-dalam getaran yang membuncah dan mematikannya untuk beberapa saat di salah satu ruang bernama hati. Mungkin setelah ini harus kau kunci rapat-rapat, jangan perkenankan seorang pun masuk untuk mencuri dengar. Kini adalah waktumu untuk bersembunyi. Dari segala tingkah, dari segala ucapan, dan dari segala hal yang membuatmu memiliki pilihan ketiga.
Bagaimana dengan pilihan kedua? Pilihan yang memaksamu harus terus berlari. Menjauh atau justru mendekat. Mungkin keduanya. Menjauh dari pancaran sinarnya yang mencipta bayanganmu. Makin senja, semakin panjang bayangan yang ia ciptakan untukmu tentang esok pagi. Tapi, bayangan tetaplah bayangan. Harapan yang kian melangit itu hanya sebatas angan-angan tanpa realisasi. Tak akan bisa diraih dan tak akan menjadi nyata. Kamu harus terus berlari, dan solusi terbaik yang bisa kamu usahakan adalah mendekat kepada Sang Pemilik Hati, yang begitu baiknya menganugerahimu perasaan yang abstrak ini. Atas berkatNya lah kamu merasakan cinta.
Lalu, bagaimana dengan pilihan ketiga? Pilihan ketiga, kamu harus menyadari bahwa ini sama sekali bukanlah pilihan yang tepat. Atau belum tepat lebih tepatnya. Terlebih, pilihan yang belum saatnya. Bukan sekarang, mungkin nanti, tak ada yang tahu. Yang jelas, suatu saat nanti kamu akan memiliki pilihan ketiga itu. Meski tokoh utamanya mungkin saja bukan dirinya, atau memang dirinya. Ya, tunggu saja.
Cermin di hadapanku memantulkan sosok yang begitu kukenali. Caranya tersenyum, caranya menyembunyikan perasaan, harapan, lelah, dan sedihnya. Namun aku sama sekali tidak mengenali masa depannya, bahkan sedetik yang akan datang pun aku tak tahu apa yang akan terjadi. Aku, raga ini, hanya bisa membantunya dengan mengupayakan segala usaha. Lalu, dari tiga pilihan yang disodorkan kepadaku, aku memilih dua yang pertama, dan meninggalkan pilihan ketiga.
Sebab Allah mengajarkan padaku tentang memuliakan diri sendiri dalam penjagaan. Maka tak ada alasan bagiku pula untuk berdiam di tempat. Yang harus aku lakukan adalah berlari menyongsong cintaNya, bukan cintanya.
Semangat mengejar cintaNya yang kekal abadi, wahai sosok di depan cermin. Jagalah sikapmu, jagalah adabmu. Karena hal-hal besar pun berawal dari hal-hal kecil. Jangan remehkan adab yang kian abai dari muhasabah. Bukan lagi sekadar boleh dan tidak boleh. Lebih dari itu, pantas atau tidak pantas.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”