Kalau Saja Bertemu Denganmu, Akan Aku Ceritakan Bagaimana Kami Melalui Hari Tanpa Sosok Ayah di Sisi

Pesan dari kami yang besar tanpa sosok ayah

Rasa rindu itu sirna seiring berjalannya waktu. Tidak mengenal sosokmu menjadi pergumulanku.  Begitupun dengan adik-adikku.  Apakah engkau tahu? Berjuang dalam pilihan yang tidak kami inginkan. Dunia seolah-olah tidak memberikan kami pilihan lain dan sepertinya Tuhan pun mengijinkannya.

Advertisement

Menerima, menjalani  pun kami lakukan. Kami seperti pemenang bila dibandingkan dengan mereka yang memiliki sosok sepertimu.  Pemenang yang berjuang dalam kerasnya hidup tanpamu. Apakah engkau tahu? Bangku sekolah tidak lagi aku tempuh  sejak engkau meninggalkanku dan adik-adikku.

Berbagai rasa berkecamuk dalam hati dan pikiranku, kala orang-orang mulai melempar tanya akan sosokmu. Bagaimana akan kujawab? kata “aku tidak tahu” adalah jawabku kala itu. Sendu, putus asa pun menghampiriku. Semesta seolah tidak berpihak padaku. Iri melihat mereka yang memiliki sosok sepertimu adalah dambaanku kala itu.

Mungkin engkau sudah lupa akan putra-putrimu yang Tuhan titipkan padamu. Tidak adakah terbesit di ingatanmu akan seperti apa anak-anakmu sekarang? Engkau yang telah memutuskan pergi. Meninggalkan harapan yang mungkin dulu engkau dambakan dan doakan yang tersisa hanyalah luka yang engkau goreskan kepada adik-adikku, dan ibu anak-anakmu. Kecewa yang sudah berbuah jadi benci  yang engkau tanam belum dapat terobati.

Advertisement

Entah sampai kapan.

“Ayah” belum pernah kami memanggilmu dengan sebutan itu. Apakah waktu akan mempertemukan atau membiarkan setiap detiknya berlalu tanpa sosokmu dalam hidup anak-anakmu.  Tidak ada yang tahu.

Advertisement

Apakah engkau tahu? Menguatkan hati dan berdiri lagi adalah pelajaran hidup yang harus kami pilih dikala itu, sekarang pun begitu. Ibu yang melahirkan anak-anakmu adalah pejuang yang tangguh, banting tulang setiap hari demi melanjutkan hidup seperti orang lain. Keterbatasan ekonomi menjerat seluruh hati dan pikiran ibu kala itu,  betapa pilunya saat itu yang kini aku sadari dan mengerti seiring bergulirnya waktu, seiring bertambah dewasanya anak-anakmu. Apakah akan sama bila sosokmu ada bersama kami? Mungkin akan meringankan sedikit beban Ibu kala itu.  Tetapi semuanya hanya semu.

Teruntukmu ibu, 

Trimakasih untuk perjuanganmu kala itu. Walau terkadang pura-pura kuat engkau jalani, demi menghidupi kami anakmu hanya seorang diri. Walau terkadang pertanyaan-pertanyaan “mengapa” itu  yang engkau simpan dalam hati. Walau terkadang air mata yang tak dapat dibendung lagi.

Tahukah Ibu?

Rumah adalah istana, semboyan itu hanyalah perkataan semata bagiku. Istana itu tidak lagi aku temukan. Semenjak Ibu memilih jalan lain untuk melanjutkan hidup. Adakah terlintas di pikiran Ibu?  Bagaimana kecewanya aku kala itu?  saat Ibu mengatakan akan hidup bersama orang lain. Luka itu terulang kembali, luka yang manyayat hati,  luka yang membentuk diriku dan adik-adikku seperti sekarang ini.

Sungguh.  

Hanya kepada Tuhan tempatku berlari.  Hanya Tuhan yang mengerti luka di hati. Hanya doa yang menjadi harapanku, semoga Ibu sehat selalu. Maafkan puterimu yang menyakiti hatimu yang tidak sengaja terucap di kala itu Ibu.

 

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Everything needs process