[CERPEN] Duduk dalam Tunggu Walau Angin Mulai Membelai dengan Dingin

Suara dengungan kapal saling berlomba menyuarakan kegagahannya di penghujung hari ketika semburat jingga mulai memenuhi langit. Di ujung laut, ada pertemuan garis antara megahnya langit dan gagahnya laut. Matahari mulai meninggalkan bumi. Biasanya kapal-kapal besar akan pergi ketika pagi dan kembali saat hari akan segera habis. Hari itu dermaga tampak sibuk walau tak sesibuk pagi hari.

Advertisement

Di ujung dermaga, berteman burung-burung yang hendak kembali ke sarangnya dan suara deburan ombak yang membentur bibir pantai. Duduk seorang gadis muda yang menatap lurus kearah laut lepas. Asap-asap dari cerobong kapal tak ia hiraukan. Matanya menatap penuh harap. Menatap lurus hamparan laut dengan berjuta harapan serta do'a yang selalu ia suarakan setiap harinya. Do’a tak pernah putus. Berharap rindunya terbalas. Kadang kala ia menyerah untuk menunggu tapi rindu telah membuatnya mampu bertahan hingga detik ini. Tak peduli akan tunggu yang tak berkepastian. Dia tetap saja menunggu dalam rindu. Tak peduli akan langit yang mulai menggelap. Ia tetap bertahan. Seperti itu, setiap hari di tempat yang sama. Duduk dalam tunggu walau angin mulai membelai dengan dingin. Ingin rasanya ia menyerah tapi sebagian lain dari dalam dirinya menolak akan itu. Itu sebabnya dia tetap bertahan walau banyak orang berkata jika ia hanya terlalu keras kepala karena menunggu akan sesuatu yang tak pasti.

“Sebenarnya apa yang kamu tunggu?” Seorang pria tua ikut duduk di sebelah gadis muda. Sering kali melihat gadis itu membuat sang pria tua pada akhirnya penasaran.

“Apa boleh saya tau? Setiap sore datang, saya sering melihatmu duduk termenung sendirian hingga malam datang. Sebenarnya apa yang kamu tunggu?”

Advertisement

“Seseorang,” jawab gadis itu buka suara. Ia pikir pria tua itu adalah pria baik. Terlihat dari wajahnya walaupun penampilannya sama seperti nelayan yang lain. Jadi ia berani menjawab.

“Apa seseorang yang kamu tunggu itu pergi melaut dan tak kunjung kembali?” duga pria itu.

Advertisement

Sang gadis tampak terkejut.

“Tidak perlu heran. Nelayan seperti saya juga terkadang dikhawatirkan oleh orang rumah. Kerja kami beresiko. Yah walaupun semua pekerjaan itu beresiko tapi jika tenggelam di laut kami berkemungkinan hilang dan tak bisa ditemukan. Dan mungkin berakhir sebagai makanan ikan. Anggap saja sedekah,” ucap pria itu setengah bergurau.

Angin laut makin membuai kencang karena hari mulai malam. Hampir semua kapal dan perahu nelayan sudah berlabuh di dermaga. Para nelayanpun telah pulang. Tapi pria tua itu tetap duduk menemani sang gadis muda.

“Anda tidak pulang?” tanyanya.

“Saya juga sedang menunggu,”jawab si pria tua.

“Siapa?”

Pria itu menatap bingung.

“Yang anda tunggu,” tambahnya.

“Kematian.”

Wajah gadis itu kini berganti bingung. Bertanya kenapa pria itu menunggu kematian di dermaga.

“Sama seperti yang kamu tunggu, yang saya tunggu juga tidak pasti. Tapi itu pasti terjadi. Kita pasti akan bertemu dengan kematian. Jadi itu yang saya tunggu.”

Gadis itu menghela, kepalanya menunduk kearah ait laut yang berwarna gelap senada warna langit.

“Satu tahun yang lalu saya mendapat kabar jika kapal tempat ayah saya bekerja tenggelam di laut. Semua korban dikabarkan hilang setelah pencarian berminggu-minggu. Boleh saja semua orang menyerah dan pasrah tapi saya akan tetap menunggu. Saya yakin ayah pasti kembali. Walaupun orang-orang di sekitar saya meminta saya untuk mengikhlaskannya. Tapi saya belum bisa. Ayah telah berjanji untuk kembali dan saya berusaha mempercayainya.” Gadis itu pada akhirnya bercerita. Menumpahkan isi hatinya yang hanya gadis itu seoranglah yang tau. Memendamnya seorang diri. Berpura-pura tegar walau sebenarnya ia sangat rapuh seperti kayu yang lapuk termakan waktu.

“Walaupun kamu tidak bisa bertemu dengannya di dunia paling tidak kamu masih bisa bertemu dengannya di tempat lain,” balas sang pria.

Hari semakin gelap. Keadaan dermagapun sunyi dan suram.

“Kamu tidak pulang? Sebaiknya mulai sekarang tunggu saja ayahmu di rumah. Selalu do’akan beliau. Jangan seperti ini. Angin malam tidak baik untuk kesehatanmu. Jangan terlalu dalam menunggu barangkali orang yang kamu tunggu tidak ingin kamu menunggunya.”

Gadis itu tak menjawab. Mengangguk untuk mengiyakan pun tidak. Ia sepenuhnya masih ingin menunggu. Walau harus seumur hidupnya menunggu tak mengapa karena ayah telah berjanji akan kembali.

“Terima ka-“ ucapannya terhenti. Pria tua itu tiba-tiba sudah tidak lagi duduk di sebelahnya. Gadis itu reflek mencari keberadaan si pria tua. Jikalau pria itu baru pergi pasti ia tak begitu jauh dari jangkauan sayangnya nihil. Keberadaan pria itu tak dapat ditemukan oleh pandangan matanya. Pria itu menghilang bak angin tanpa salam perpisahan. Sama seperti ayahnya. Atau pria itu dikirim untuk mewakili ayahnya.

Lalu apakah penantiannya berakhir? Ia tau telah menunggu sesuatu yang tak pasti. Mungkin saja benar ayahnya telah meninggal bersamaan kapal yang kandas tertelan lautan kejam. Harusnya ia tak perlu naif dengan terus menunggu berharap rindunya sedikit terobati walau apa yang telah ia lakukan selama ini justru membuatnya rongga dadanya terasa sesak.

Sore itu ia tak akan lagi menunggu, ia telah menyerah. Bukan. Tapi gadis itu telah ikhlas.

Ayah aku mencintaimu, aku telah mengikhlaskanmu. Biar saja rindu itu tak terobati. Aku tidak apa-apa. Asal ayah bahagia. Mungkin saja ayah tidak merindukan rumah tapi ayah merindukan rumah yang lain. Keabadian.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Nama asli Nida Rafa Arofah. Suka menulis sejak kecil. Sudah banyak mengikuti lomba menulis. Sedang berusaha membahagiakan orang tua.