Hidup itu pilihan kawan, setelah melewati perjalanan waktu, lumayan lama, dari kecil bersama, akhirnya kamu tanpa banyak rintang halang. Diriku masih dipersimpangan ketika kalian sudah memutuskan untuk berpijak pada satu posisi.
Aku masih memilih dan memilah bersamaan dengan pilihan sulit yang ditawarkan orang tua. Berjalan pelan aku sebetulnya memilih dunia sunyi, namun bagiku begitu hingar oleh semangatku merenda cita. Sudah kurencanakan banyak hal perilal menulis, tentang buku yang suatu saat menjadi sebuah lompatan berharga bagi sejarah hidupku.
Aku memilih menekuni dunia tulis menulis. Hal yang cukup aneh di mata mereka yang mengejar karier dan jabatan cemerlang. Aku memilih jalan sunyi karena begitu  ide-ide dan khayalan yang berjubel ingin kutuangkan dalam banyak tulisan. Cerpen, puisi, buku dan ujungnya novel.
Aku hanya ingin menulis saat itu ketika aku berada di persimpangan. Ternyata di persimpangan kegalauan melanda. Orang tua mendorongku untuk menjadi seorang pekerja, pegawai negeri, orang yang bisa dipastikan punya pendapatan tetap. Orang-orang melihatku sosok pengangguran, yang berpakaian seadanya dengan penampilan seperti seniman kumuh.
Mereka kasihan, dan memandangku begitu pilu, seakan-akan ada ruang kegelapan hadir dalam aura hidupku. Maaf aku tidak perlu dikasihani. Jalan menulis itu telah kupilih dan aku bahagia menjalaninya. Meskipun terseok-seok dalam kubangan ketidakpastian toh, pelan-pelan mulai ada titik terang bagaimana menulis memberikan jalan untuk merengkuh cerita sejarah yang tidak dimiliki oleh profesi lain.
Memilih jalan sunyi bukan berarti aku terjebak dalam kesepian.
Malah derap ideku membuat hidup begitu ramai. Kalian boleh senyum dan tengah menikmati cita kesuksesan dalam karir kalian. Aku sendiri puas karena beberapa tulisanku telah menghiasi media massa, meskipun ke mana-mana hanya berkendara dengan motor butut yang sebetulnya tidak layak lagi jalan di ibu kota yang penuh ketergesaan.
Ketika banyak orang seakan-akan dikejar oleh target demi target untuk bisa bertahan di ibu kota negara yang super cuek ini, aku hanya bisa memacu kendaraan 20 kilo meter per jam. Orang-orang berburu rupiah dan kesempatan-kesempatan kecil untuk. Dalam bayangan pikiran muncul Widji Tukul, Arswendo Atmowiloto, Putu Wijaya, Kuntowijoyo, Romo Mangun. Sudah tergambar rumah besar yang ingin kusambangi dan kuketuk. Hingga sebuah peristiwa sedih yang membuatku banting setir dan memutuskan mengikuti apa kata orang tua ketika waktu itu begitu galaunya berdiri dipersimpangan jalan.
Meskipun bertentangan dengan nurani aku memilih mencoba menyukai sebuah pilihan pekerjaan yang sebetulnya telah kuhindari lama. Namun lama-lama pekerjaan baru itu mengasyikkan juga hingga akhirnya mulai terlupakan sebuah idealisme yang muncul dari hati kecilku sejak remaja. Waktu itu aku begitu konsentrasinya membaca cerita-cerita sastra dan kisah-kisah petualangan dari sosok HC Anderson dan Eyd Bilyton. Kubiarkan mata dan pikiran larut dalam cerita-cerita seru petualangan dan menyingkap misteri yang masih kabur. Guratan kata-kata seperti mengajakku menjelajah dunia. Seakan-akan larut dalam permainan kata sang pengarang. Aku seperti ikut dalam reka adegan yang diimajinasikan pengarang.
Kini pelan-pelan kukembalikan asa untuk kembali mencintai dunia kata. Meskipun sehari-hari masih sibuk dalam rangkaian pekerjaan yang tidak bisa kutolak. Mulai kutemukan rasa bahagia setelah sekian waktu hilang larut dalam dunia yang sebetulnya bukan menjadi jatidiriku yang sebenarnya. Dulu ketika situasi sulit sepertinya aku menyerah menjadi pribadi tanpa rasa.
Aku bahagia beberapa waktu ini telah mulai mencintai lagi masa lalu yang pernah memberi warna, dimana meskipun kata orang sebuah dunia yang sunyi tetapi aku menganggapnya meriah, karena di situ aku bisa berteriak, berekspresi liar mengembangkan imajinasi dengan kemerdekaan jiwa.
Saat ini aku sedang berjanji pada diri sendiri. Tidak perlu dengan apa kata orang, dengarkan sendiri kata nurani, rasakan alur nafas yang meskipun semakin tersendat oleh usia masih terbentang luas cita rasa meramu kata menjadi sebuah dendang merdu jiwa yang sedang merenda rindu untuk tetap menulis, menulis dan menulis.
Kalian tahu apa tips menulis yang paling canggih menurut Kuntowijoyo sang sastrawan dan sejarawan itu. Simpel saja. Menulis, menulis dan menulis. Setelah jadi ingat kata-kata Pramudya Ananta Toer yang selalu terngiang di sanubari para penulis : Tahukah kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapapun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi sampai jauh, jauh dikemudian hari.
Jadi ijinkan aku mencintai dunia menulis dengan segenap rasa dan jiwaku. Biarlah sunyi menjadi milikmu, aku terlalu ramai untuk kau bincangkan.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”