Ketika Takdir Menghempasmu: Biarkan Hening di Mulut, tapi Berisik di Kepala

Ketika ekspektasi tidak sesuai dengan realita bahkan jauh dari harapan.

Advertisement


Saat Tuhan menulis jalan hidup tidak seindah yang diimpikan. Saat semesta seperti berkontribusi menghantammu dengan bertubi-tubi kemalangan. Ketika keberuntungan berkali-kali tidak berpihak. Ingin rasanya berkeluh kesah pada makhluk di bumi tapi seketika sadar tidak ada gunanya.


Manusia penuh basa-basi, sok peduli, lalu mengubar cerita hidupku pada banyak orang dengan dalih nasihat, jangan ada yang mengulang kisah yang sama seperti kisahku. Padahal jika mau ghibah tidak usah membela diri. 

Ingin kuluangkan segala peluh yang sedang menimpa di media sosial, lalu aku teringat aku bukan publik figur dan bukan pula seseorang yang gila perhatian. 

Advertisement

Aku lupa sosial media adalah pisau bermata dua yang kapan saja bisa semakin membuatku gila dan haus perhatian semu. 


Sampai di titik aku sadar. Modalku untuk tetap bertahan hanya tenang dan sabar, selebihnya doa. Biar semesta yang bekerja. 


Advertisement

Aku biarkan setiap masalah saling tumpang tindih di kepala.

Ku biarkan 'mereka' saling berkerjasama untuk menggulingkanku. Kepala seakan mau pecah. Cenat-cenut setiap teringat satu masalah saja belum selesai lalu datang ujian yang baru membuat jantung ingin berhenti berdetak.


Mulutku tetap hening seolah baik-baik saja. Terkadang memilih diam adalah bahasa terbaik saat kecewa dan terluka pada keadaan.


Bibir mengulas senyum, wajah tampak ceria, tapi tidak dengan hati. Aslinya lelah sekali, tapi harus kelihatan happy dan baik-baik saja.

Untuk apa? Untuk diriku sendiri, untuk tetap waras meski sudah setengah gila tapi tidak ditunjukan pada manusia.

Ada manusia pernah berkata padaku, 

" Enak yah hidupnya kayak nggak ada beban, happy terus". 

Ingin sekali aku mengatakan, "Boleh kita bertukar peran? ", namun alih-alih memperpanjang obrolan aku lebih memilih membalas dengan senyum.


Sebab energiku terlalu berharga untuk dihabiskan dengan berdebat dengan manusia yang hanya bisa mengomentari hidup orang lain. 


Hanya karena aku mampu memikulnya, bukan berarti tidak berat.

Kadangkala, tersenyum meyakinkan diri sendiri kuat adalah satu-satunya pilihan yang bisa lakukan. Terkadang menertawakan ketidakberuntungan adalah cara terakhir yang kulakukan untuk tetap baik-baik saja. 

Ketika takdir menghempasku, menangisi sudah tidak ada gunanya.

Marah pun sia-sia. Kecewa tiada gunanya. Mungkin ini cara Allah menghapus dosa-dosaku, memintaku untuk bersabar dan berusaha yakin dan percaya, Dia memberiku bertubi-tubi masalah karena aku mampu melaluinya. 

 

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Penyuka Arunika - Penikmat Swastamita