Pria Penuh Perinduan dan Penyesalan di Balik Sangkar Jeruji

Hai… apa kabar dirimu yang kini tengah berada dalam gempuran kehidupan? Apa kabar buah hati kita yang terus tumbuh berkembang di bawah dekapanmu? Berbicara kita di masa lalu, pasti terlalu banyak derita yang kamu terima dari dosa-dosaku.  Jika boleh, perkenankan aku untuk mengucap rindu di balik jeruji besi ini  atau sekedar melihat  tawa buah hati kita yang tumbuh dalam kasih sayangmu.

Advertisement

Kata maaf selalu kutautkan pada dialogku dengan tuhan.  Barangkali, permintaan maafku ini terbawa angin yang lalu membelai hatimu.  Maka, kamu kembali mendatangiku dan memaafkanku.  Konyol sekali ternyata harapku.

Aku masih memojok di sangkar besi tanpa tetes kehidupan di dalamnya.  Duduk menyeruput getir dalam gelas yang nyaris terbuang.  Hilir mudik bayangan kau jelas sekali selalu berlalu lalang.  Senyumu, tangismu, jeritan-jeritanmu, bahkan tawa hingga umpatan-umpatan kesalmu seolah berputar-putar merundungku kala hening bergerombol datang.

Sudah genap setahun kain jingga melekat pada tubuhku yang penuh dosa. Sekarang malam-malam berubah menjadi kuku yang mencakar, pedang yang menusuk, belati yang membabi buta menyakiti setiap inchi hati.  Penyesalan pernah menyakitimu datang bertubi-tubi.   Menjemput satu persatu utas senyum  lalu membawanya pergi.  Tinggalah sekarang sisa bayangan-bayangan perlakuan bodoh yang kusisipkan di antara cerita yang sudah berlalu.  Lalu kemudian datanglah seekor gagak dan merpati, mereka menyulap rasa egoku menjadi bongkahan rasa bersalah.  Mereka silih berganti merundungku di antara tembok dan jeruji.  Pukulan-pukulan rasa bersalah itu menjelma menjadi aku.  Memukul hingga lebam sekujur tubuh. Meruntuhkan jiwa.  Persis sekali seperti waktu kepalan tangan dan emosi menguasai pikiranku, lalu terjunlah kekerasan dalam kisah kita berdua. Di atas semua kebodohanku, aku dipelonco oleh dosa yang kubuat sendiri

Advertisement

Rasa-rasanya aku lebih baik mati daripada harus dipelonco oleh perasaan ini.  Teriakan dan seuruh emosiku hanya bisa kuluapkan dalam hati saja.  Semua telinga yang ada di sini seperti tidak berfungsi sebagaimana telingamu mendengarkan tiap lantunan kata-kataku yang terucap.  Suaraku seolah pada frekuensi yang hanya bisa didengar oleh paus dan lumba-lumba saja.  Warna monokrom menyaluti setiap yang kupandang.  Mirip sekali dengan warna TV zaman dulu yang kita tonton di balik kesederhanaan.

Aku bisa mendengar gemercik hujan yang menghujam bumi di balik tembok sana.  Ingin rasanya tubuh ini terguyur olehnya.  Barangkali tangisku bisa leluasa menyatu dengan jatuhnya.  Barangkali teriaku bisa menyatu dengan iramanya.   Barangkali semua rasaku luruh dibersihkan olehnya. Barangkali tiba-tiba waktu ditarikmundur dan tuhan memberikan kesempatan agar aku memperbaiki semuanya, atau barangkali ada petir yang menyambar menjemputku ke neraka. Ya.. itu lebih baik daripada aku terus dipelonco oleh dosa.


Maka aku tersadar, kekerasan hanya akan membuat kita saling menyakiti.  Hingga rasa-rasa negatif berdatangan menghantui.  Memakan setiap kebahagiaan yang pernah kita rangkai. Meruntuhkan cita yang pernah menjadi pondasi.  Tapi kini semua sudah terjadi. Biarlah rasa bersalah dan rasa tersakiti membangun dan mendewasakan kita berdua


Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini