…
Karena aku bukan penulis handal, hanya si kecil yang senang bermain dengan kata-kata. Sekadar ingin mengucapkan selamat bahwa usiamu telah bertambah—berharap akan semakin bijak di hari-hari selanjutnya.Â
Pun aku bukan sang mahir, usiamu jelas lebih matang, pasti ceritamu juga lebih banyak. Hanya ingin mengingatkan harus lebih hati-hati esok hari. Aku tahu, bukan harusku untuk mengatakannya. Tapi bukan lagi manusia egois yang akan kau hadapi nanti.
Tidak ada maksudku untuk menjadi mengerikan seperti apa yang kau ceritakan pada wanitamu. Aku hanya senang dengan fakta bahwa kau ada, dan berkesempatan untuk kulihat. Itu saja. Kuharap tak lagi-lagi kau beri laporan padanya seolah aku penguntit ulung.
***
Miguelle baru saja menyelesaikan kisah fiksi yang akan diunggahnya di media sosial. Waktu menunjukkan pukul 23.00, ketika dirasa waktunya tepat untuk beristirahat, ia menyalakan mode pesawat, berhenti menatap layar ponselnya, kemudian berbaring menatap langit-langit kamarnya. Retak kecil dan warna langit-langit yang usang seolah menandakan bahwa waktu terus berputar. Segalanya tak lagi sama, tak akan kembali seperti awal bagaimana sesuatu itu terjadi. Kilas balik, beberapa kisah kian memudar, menghilang dari ingatan. Namun, beberapa tetap hidup, bahkan bagian terkecilnya tak terkikis oleh waktu.
Â
Tak butuh waktu lama bagi Miguelle untuk merogoh ponsel yang sudah siap beristirahat tersebut. Ia kembali membuka kompilasi kisah yang dicatatnya dengan baik, di mana pada tahun 2019 ia bertemu seorang pria bernama Sam. Baginya, Sam pria baik yang sedikit sarkastik. Sifatnya keras, tapi ketika tersakiti, perlu waktu lebih lama dari pria normal untuk sembuh. Tiga tahun berlalu, masih terasa aneh untuk membaca ulang kisahnya. Apalagi pada bagian ketika Sam akhirnya memutuskan untuk menjalin hubungan dengan Miguelle—setelah Miguelle terus mengganggu Sam melalui sambungan telepon.Â
Langit menjadi lebih cerah bagi Miguelle ketika Sam selalu bersamanya sepanjang akhir 2019. Entah setiap Rabu atau Sabtu malam, Sam mengunjungi rumah Miguelle untuk sekadar menceritakan harinya. Sambil mengunyah nasi campur mi goreng tek-tek, tak henti-hentinya Sam mengulang lelucon tua yang didapatnya di hari itu. Tawa Sam lebih lebar daripada yang Miguelle pernah tahu. Matanya berkerut hingga hanya membentuk garis, pipinya kian menggembung, diikuti dengan gigi taring yang menjadi khasnya ketika tertawa. Sam manis, walau kurang percaya diri untuk mengakuinya.
Tidak lupa Miguelle juga mencatat kisah kencan pertamanya dengan Sam. Jumat pertama pada Oktober 2019, Sam dan Miguelle menonton film layar lebar bertema thriller yang sedang tayang perdana. Akting para pemainnya tak perlu diragukan karena sanggup membuat Miguelle menunduk sepanjang film diputar. Sam hanya bisa tertawa sambil menggelengkan kepalanya melihat Miguelle bertingkah seperti itu. Miguelle kira hal tersebut akan menjadi kesan buruk bagi Sam. Namun, sedikit yang Miguelle tahu, hanya rasa manis yang muncul dalam benak Sam.
Namun, kisahnya tak selalu menyenangkan. Tiba saatnya ketika restu menjadi lebih riskan dibanding sebuah pertengkaran. Tercatat pada ponsel Miguelle bahwa Sam kecewa akan hal itu. Tak ada yang lebih menyakitkan daripada tak dipercayai oleh pihak keluarga kekasih. Bagi Sam, Miguelle kan sudah dewasa, apa perlu terus dikontrol seperti tak punya kuasa atas hidupnya? Argumen Sam yang tercatat dengan warna merah terus dibaca ulang oleh Miguelle. Dalam hatinya, Miguelle bertanya-tanya. Apa benar bahwa ia telah kehilangan kuasa atas hidupnya, hanya karena patuh atas aturan yang ditetapkan?Â
Menuju awal 2020, tidak ada lagi rasa aman bagi Sam. Rasa manis di benaknya berubah menjadi letih dan inginnya untuk tinggal berubah menjadi hilang. Berbanding terbalik dengan Sam yang menyiapkan kepergian, setiap harinya Miguelle beradu argumen—menentang pernyataan buruk keluarganya mengenai Sam. Hanya sedikit yang Miguelle bisa lakukan untuk membuat Sam tetap tinggal, setidaknya itulah yang terbaik yang bisa ia lakukan.
Di akhir catatan, tertulis 27 Februari 2020, dikisahkan keputusan bulat Sam untuk mengakhiri segalanya. Rangkaian bunga terbalut kain biru dan merah yang kian rontok juga layu selalu dipandangi Miguelle di hari kepergian Sam. Kali ini tak ada usaha terbaik yang bisa Miguelle kerahkan, karena Sam yang meminta untuk pergi. Langit mengabu, penuh kabut, pandangannya agak kabur. Diharuskan bepergian setelah menangis seharian bukanlah hal yang pantas bagi Miguelle. Namun, itulah hidup, memang bukan selalu tentang apa yang kau inginkan.
Usai membaca catatan kisahnya, Miguelle menutup layar ponselnya, kemudian berjalan ke arah jendela. Ia menatap langit yang semakin gelap tanpa hadirnya bintang. Miguelle menghela napas dalam kesunyian malam. Dalam senyap, masih terdengar jelas suara Sam pada khayalnya.
"Miguelle, mulai besok coba untuk terbiasa dengan gelap. Matikan lampu ketika kau hendak tidur."
"Kenapa aku harus mencobanya?"
"Karena aku begitu, latihan ya."
Tak lama usai memandangi langit malam, Miguelle bergegas tidur. Walau jarang tertidur dalam padam, tapi kali itu ia tak lupa untuk mematikan lampu.
"Selamat tidur, Sam. Lampunya sudah kumatikan." Ucap Miguelle tersenyum sembari memejamkan matanya.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”