Alam tidak pernah berbohong dengan keindahannya, beda dengan manusia yang masih kadang membius bekuk dengan keindahannya. Itulah salah satu alasan saya ingin berlama-lama menatap keindahan alam dibanding senyumnya yang manis tapi hanya membuat menatap saja, tidak untuk menetap.
Salah satu misi saya selama ini adalah ingin melakukan perjalanan ke sebuah tempat yang benar-benar menyatu dengan alam, salah satu nya adalah mendaki gunung yang ada di Indonesia. Pertama kali saya mengunjungi Gunung Bromo pada tahun 2019, lalu kemudian di beberapa gunung juga yang ada di Sulawesi Selatan, kampung saya.
Gunung kali ini yang saya pilih setelah bermusyawarah dengan teman-teman untuk dikunjungi adalah Gunung Bahonglangi, gunung tertinggi di Kabupaten Bone. Gunung ini terletak di sebuah dusun yang sangat jauh dari pusat kota, yaitu Dusun Bahonglangi, Desa Bontojai, Kecamatan Bontocani, Kabupaten Bone. Wilayah ini berbatasan langsung dengan kabupaten Sinjai dan bahkan ketika kita berada di puncak, kita akan mendapati jalur pendakian dari arah Kabupaten Gowa. Gunung ini memiliki ketinggian 1988 MDPL, menurut hasil riset dari Universitas Hasanuddin, Makassar yang telah melakukan pengukuran ulang terhadap ketinggian Gunung Bahonglangi ini.
Untuk mengunjungi dusun terakhir atau kaki gunung, hanya bisa digapai dengan sepeda motor, itupun jika motor sekelas KLX. Jika motor sekelas matic dan kawan-kawan, itu bisa diragukan untuk sampai di dusun terakhir, apalagi jika sudah hujan, pasti jalanan akan licin dan becek.
Dan bertepatan dengan perjalanan kami juga, cuaca pada hari itu kurang bersahabat, hujan deras mengguyur wilayah Bontocani. Akhirnya kita memutuskan untuk menginap di kampung terakhir, tempat para pendaki melakukan registrasi sebelum melanjutkan pendakiannya. Kami menginap di teras masjid yang ada di kampung tersebut dengan meminta izin kepada bapak imam masjid, walaupun kami sempat mendapatkan tawaran untuk menginap di rumahnya saja. Dengan itu, kami sangat berterima kasih atas keluasan hati beliau yang telah mau membantu kami.
Keesokan harinya, Baskara membawa kabar gembira, dengan menampakkan senyum lebarnya, memancarkan kirana menerangi bumi manusia, bahwa cuaca hari ini baik. Setelah kami bersiap-siap, kami menuju ke tempat registrasi. Biayanya adalah Rp.5000/orang. Setelah registrasi selesai dan memeriksa kembali barang bawaan kami, kami berdiri melingkar, menundukkan kepala, memperbaiki niat, berdoa kepada Allah SWT agar diberikan keselamatan di sepanjang perjalanan kami dan kembali ke rumah masing-masing dengan selamat juga.
Tak menunggu waktu lama, tepat pada pukul 07.15 WITA, kami memulai perjalanan. Pos demi pos kami lalui, hingga melewati sebuah lokasi hutan pinus yang betul-betul menampakkan kealamiannya. Suara alam yang berdenging di telinga terdengar jelas. Hawa dingin pun sudah perlahan menjelma menusuk tubuh.
Hampir setiap pos kami singgah untuk beristirahat sejenak. Wajar, jalurnya memang tanpa bonus, nanjak terus. Dan betul, butuh fisik yang kuat dan semangat yang tinggi untuk melewati jalur pendakian ini. Kadang terlintas dipikiran saya, perempuan saja sudah banyak menaklukkan jalur ini, kenapa saya sebagai laki-laki tidak bisa. Yahh, bukannya saya mengatakan bahwa tenaga laki-laki lebih kuat dibanding perempuan, tidak. Tapi, entah kenapa pada saat itu yang menjadi patokan semangat perjalanan saya adalah perempuan. Ahh, kok malah kesitu.
Kurang lebih 4 jam perjalanan, akhirnya kami bisa sampai di pos 8 (terakhir) dengan selamat. Perasaan bangga pasti sudah ada terselip dalam diri kami semua, bahwa kami sekarang ini sudah berada di puncak tertinggi di Kabupaten Bone, kabupaten terluas di Sulawesi Selatan. Setelah beristirahat, meluruskan kaki yang sudah sedikit keram, kami membagi tim untuk ada yang mendirikan tenda dan ada juga yang menyiapkan makanan siang.
Kurang lebih 30 menit, semua sudah rampung, tinggal menunggu nasi yang sedang dimasak. Tak lama kemudian, akhirnya lapar yang diam-diam dipendam oleh teman-teman selama perjalanan, akhirnya terbayar juga. Hahaha, ternyata lapar juga boleh dipendam, bukan hanya rasa ini.
Gunung tinggi yang lain sudah mampu dilihat dari kejauhan, pepohonan hijau yang tumbuh subur, permukiman warga sekitar sudah terlihat jelas juga. Lahan persawahan tersusun rapi dengan tanaman padinya yang menghijau, menandakan kami telah berada di puncak Gunung Bahonglangi. Maha Kuasa Tuhan yang telah menciptakan langit dan bumi.
Mendaki mengajarkan kita untuk selalu bersyukur akan nikmat Tuhan yang mana lagi akan kami dustakan. Menurut pengalaman para pendaki yang telah berkunjung ke gunung ini, hal yang sangat dinantikan adalah keindahan samudera awannya. Sempat saya sebelum berangkat ke gunung ini, saya mencari beberapa foto di Instagram yang berlokasi di Gunung Bahonglangi ini. Dan memang betul, hampir disetiap foto pengunjung itu, nampak keindahan samudera awan yang menghiasi langit dan membuat para penikmatnya ingin berlama-lama untuk menatapnya. Walaupun peristiwa ini tidak terjadi dalam waktu yang tertentu, hanya untung-untungan saja bagi yang mendapatinya. Dan kami berharap, semoga kita menjadi salah satu orang yang beruntung itu.Â
Tak terasa, matahari mulai canggung menampakkan dirinya, yang sudah hampir menunggangi gunung dengan sempurna. Warna jingga kemerah-merahan menyoroti para penikmatnya, sungguh damai terasa. Dan hal yang kami nanti-nantikan akhirnya sedikit demi sedikit mulai muncul, dengan dihiasi pancaran cahaya matahari yang berwarna jingga kemerah-merahan membuat saya diam tak berdaya. Pancaran sinarnya yang membuat silap mata, menjadi tidak terasa, hanya membuat mata semakin dibuat manja olehnya untuk mengagahnya.
Rasa syukur yang tak terputus atas nikmat yang telah engkau berikan kepada kami wahai Sang Khaliq, untuk menyaksikan peristiwa ini. Apakah ini sedikit gambaran surga-Mu yang engkau nampakkan kepada kami di dunia ini? Tentu surga-Mu di akhirat kelak nanti jauh berkali lipat lebih indah daripada peristiwa ini.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”