Dilema perempuan childfree/ Illustration by Hipwee via hipwee.com
Belum lama ini makin marak pandangan orang-orang yang menganut childfree alias hidup atau menikah tanpa anak. Ada yang memang ingin menghabiskan sisa umurnya hanya bersama pasangan seperti Gita Savitri yang merasa cukup hidup seumur hidup dengan Paul. Ada juga yang memilih untuk tidak memiliki anak karena masih terlalu banyak anak di luar sana yang kurang beruntung sehingga lebih memilih mengasuh mereka.
Pro dan kontra akan hal ini masih terjadi sampai sekarang. Beberapa orang kurang setuju dengan konsep childfree, dengan alasan bahwa tujuan menikah adalah memiliki keturunan dan fitrah wanita adalah menjadi ibu. Pengalaman hamil sembilan bulan, melahirkan, dan menyusui adalah hal yang sangat luar biasa dan tidak terlupakan sebagai wanita. Katanya, wanita belum menjadi perempuan seutuhnya jika belum menjadi ibu.
ADVERTISEMENTS
Apakah seorang perempuan baru dianggap sempurna atau menjadi wanita seutuhnya saat sudah memiliki anak?
Ayah, ibu, anak/ Credit: Pexels
Terbayang cuplikan video kelahiran Keene Atharrazka, anak dari Rezky Aditya dan Citra Kirana. Di sana, ibunda Citra mengucapkan selamat kepada Ciki, panggilan akrab Citra Kirana, karena sudah menjadi wanita yang seutuhnya. Lantas, apakah jika belum melahirkan seorang anak, maka seorang perempuan belum menjadi wanita seutuhnya?
Apakah wanita hanya menjadi mesin reproduksi, seperti kata seorang figur publik yang mengatakan istrinya sudah turun mesin karena sudah melahirkan 7 kali? Apakah memang tugas wanita yang utama adalah menjadi pencetak keturunan? Bagaimana jika mereka memang tidak bisa melahirkan anak karena keadaan? Bayangkan betapa sedihnya mereka jika mendengar wanita yang tidak bisa melahirkan disebut bukan wanita seutuhnya.
Jangankan memilih childfree, teman saya yang tidak bisa menyusui karena ASI-nya tidak keluar saja harus khawatir akan mendengar omongan tak enak dari orang sekitar yang menganggapnya tak bisa meng-ASI-hi. Keputusannya untuk memberikan susu formula kepada anaknya tidak berani ia ungkapkan sampai setidaknya 6 bulan, ketika akhirnya ia masa bodoh dengan apa pun perkataan orang lain.
Bayangkan, seorang wanita yang sudah hamil dan melahirkan saja masih tidak dianggap sempurna bila tidak memberikan ASI untuk anaknya. Apalagi, para wanita dengan pandangan childfree yang tidak ingin memiliki anak karena beberapa alasan.
ADVERTISEMENTS
Meski ditentang di sana-sini, nyatanya tren untuk memilih childfree justru meningkat lo di abad ini
Melansir Tirto.ID, keputusan untuk tidak memiliki anak atau childfree ini masih sulit diterima masyarakat Indonesia, tetapi nyatanya orang-orang yang memiliki kecenderungan untuk mengambil pilihan ini semakin banyak lo. Tomas Frejka, seorang peneliti dalam risetnya yang berjudul “Childlessness in the United States” menyatakan bahwa dibanding abad 20, pilihan untuk tidak mempunyai anak meningkat dari 10 persen menjadi 20 persen di abad 21. Alasannya beragam, mulai dari latar belakang permasalahan keluarga sampai dengan pertimbangan pengasuhan anak di masa depan melihat keadaan bumi yang semakin rusak.
Amy Blackstone dari University of Maine juga mencoba menelaah bagaimana pilihan childfree dapat terjadi di tengah masyarakat yang kebanyakan masih menganut nilai keluarga konvensional dengan tiga unsur inti, yakni ayah, ibu, dan anak. Sebuah penelitian dipublikasikan di The Family Journal dengan melakukan survei dan wawancara kepada beberapa pasangan heteroseksual. Hasilnya menjelaskan bahwa keputusan mereka untuk tidak memiliki anak dibuat dengan pertimbangan matang dan penuh kehati-hatian. Alasannya mulai dari kehidupan di masa lalu sebagai anak yang kurang menyenangkan, kematangan karier, masalah finansial, hingga keinginan untuk bebas menjalani hidup dengan pasangan.
ADVERTISEMENTS
Mulai dari trauma karena keluarga hingga kondisi fisik seseorang, banyak alasan masuk akal di balik pilihan ini
Dari sekian banyak alasan, alasan paling banyak yang dikemukan hingga akhirnya seorang wanita memilih untuk tidak memiliki anak ternyata adalah karena trauma masa lalu di keluarga yang tidak begitu harmonis. Sebagai anak perempuan, banyak yang merasakan hal tidak menyenangkan selama tumbuh dewasa di keluarganya yang kemudian membuatnya takut jika siklus yang sama akan terulang. Ia tidak mau anaknya merasakan hal yang sama dengan apa yang ia rasakan dengan orang tuanya dulu. Dari sisi psikologis, hal ini sangat bisa dimengerti.
Selain itu, ada banyak alasan yang bisa dibenarkan baik dari sisi medis maupun syariat agama. Misalnya, perempuan yang memilih untuk tidak memiliki anak karena penyakit yang dideritanya akan membahayakan dirinya dan bayinya jika memilih mengandung. Contoh lain, perempuan yang harus diangkat rahimnya karena masalah reproduksi atau istilahnya histerektomi.
Saya akan sedikit bercerita tentang teman saya semasa SMA. Setiap datang bulan, dia selalu merasakan sakit yang teramat sangat. Suatu hari, ia memutuskan datang ke dokter kandungan untuk memeriksakan karena sudah tak tahan dengan sakitnya. Ternyata ada kista di dalam rahimnya. Dokter kemudian menyarankan operasi pengangkatan rahim yang sayangnya ditolak oleh orang tuanya. Jadilah ia selalu tersiksa saat datang bulan dan bahkan pingsan hingga tidak bisa beraktivitas apa pun. Obat pereda nyeri pun tidak mampu membantunya saat itu.
Ada juga seorang perempuan yang memiliki kanker leher rahim atau kanker rahim yang berbahaya jika tidak segera ditangani. Satu-satunya cara menghentikan penyebaran adalah pengangkatan rahim. Tak hanya itu, ada pula perempuan yang memang dilahirkan dengan keistimewaannya, yaitu tidak memiliki rahim. Apakah mereka bukan wanita jika tidak bisa hamil karena tak memiliki rahim?
ADVERTISEMENTS
Tak hanya kondisi diri sendiri, lingkungan sekitar yang dirasa tidak ideal membuat keputusan ini dipilih beberapa orang
Lingkungan tidak ideal/ Credit: Pexels
Ada alasan menarik lain dari perempuan-perempuan yang memilih tidak memiliki anak, yaitu karena faktor lingkungan. Penggiat lingkungan tahu jika memiliki anak akan meningkatkan banyak emisi yang menyumbang tingkat pemanasan global di bumi. Menurut studi dari Kimberley Nicholas and Seth Wynes yang dipublikasikan di Environmental Research di tahun 2017, kelahiran anak akan menghasilkan 58.6 metric ton jejak karbon setiap tahunnya.
Dilansir dari The Independent, krisis iklim membuat banyak orang memutuskan untuk tidak memiliki anak agar anak mereka tidak menderita di masa depan. Mereka melakukan survei dengan 600 orang dari umur 27 sampai dengan 45 tahun dan ternyata 96 persen sangat khawatir tentang keadaan calon anak mereka di masa depan akibat dampak perubahan iklim yang terjadi saat ini.
Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Climatic Change itu tidak menemukan perbedaan yang signifikan secara statistik antara pandangan perempuan dan laki-laki, meskipun perempuan merupakan ¾ responden. Salah satu responden berkata,
“Perubahan iklim adalah satu-satunya faktor bagi saya dalam memutuskan untuk tidak memiliki anak kandung. Saya tidak ingin melahirkan anak ke dunia yang sudah rusak walaupun saya sangat ingin menjadi seorang ibu.”
Mereka tidak mau sang anak nantinya menderita hidup dengan keadaan bumi yang semakin parah dan lingkungan yang makin berantakan. Dosen S-2 saya yang memang memiliki latar belakang keilmuan terkait geografi dan lingkungan memiliki pandangan seperti ini pula. Beliau sudah menikah dan tidak ingin punya anak demi ‘menjaga’ lingkungan. Beliau juga tidak ingin anaknya harus hidup di kondisi bumi yang semakin rusak nantinya.
ADVERTISEMENTS
Ada juga alasan yang memang tak bisa dilawan. Jika sudah ditakdirkan demikian, apa hak kita menyebutnya bukan wanita seutuhnya?
Perempuan-perempuan ada yang tidak bisa memiliki anak karena keadaan dan takdir yang tidak bisa dilawan, yaitu karena masalah kesuburan reproduksi yang membuatnya mandul atau sulit mendapatkan keturunan. Walaupun lelaki juga bisa mengalami ini, tetapi tekanan yang didapatkan wanita yang memiliki masalah kesuburan reproduksi biasanya lebih sensitif di Indonesia ketimbang lelaki. Saat sulit mendapatkan keturunan, yang kerap kali disalahkan adalah si wanita. Padahal, bisa saja masalah kesuburan terjadi pada pria.
Konsekuensi dari pilihan tidak mempunyai anak ini di Indonesia tentunya akan berdampak banyak pada psikis dan mental karena gunjingan akan terus datang. Misalnya, “Kalau enggak punya anak, nanti saat kamu tua siapa yang mau ngerawat?” atau mungkin “Mandul ya? Makanya enggak mau punya anak,” dan sebagainya. Tentu saja gunjingan dan tuduhan ini akan banyak diarahkan pada kaum wanita yang dianggap “mesin reproduksi.”
Padahal, memiliki anak atau tidak adalah keputusan masing-masing. Lagi pula, tanpa memiliki anak pun wanita tetaplah wanita seutuhnya. Bahkan, ada yang dengan besar hati memutuskan untuk mengasuh banyak anak yang kurang beruntung walaupun perempuan itu tidak memiliki anak yang dilahirkannya. Namun, nyatanya ia bisa tetap dipanggil “Ibu” oleh para anak asuh yang dirawatnya dengan sepenuh hati.