Beratnya hari-hari yang kini sedang kujalani demi menggenapkan tugas akhir meraih gelar sarjana, membawa ingatanku pada kenangan lama. Cerita tentang seseorang yang harus rela dengan erat mengikat mimpinya dan membiarkannya hanyut begitu saja.
Ya seseorang yang sebenarnya punya sejuta mimpi dan potensi untuk mengenyam pendidikan di bangku kuliahan. Seseorang yang kukenal begitu dekat dan kuberi gelar ‘sahabat’. Apa kabarmu sekarang?
ADVERTISEMENTS
Dulu kupikir pendidikan di bangku kuliah bisa kujalani dengan mudah. Namun ternyata perkiraanku salah. Aku harus menjalaninya dengan usaha keras yang membuatku nyaris berdarah-darah
Perjalanan menempuh pendidikan di perguruan tinggi ternyata tak semulus perkiraanku dulu. Di sini, banyak sekali tanggung jawab yang harus kupenuhi. Mulai dari sulitnya memahami materi kuliah yang terkadang harus dipelajari sendiri, menyelesaikan setumpuk tugas yang menguras waktu dan energi, serta berbagai ujian yang katanya berfungsi mengukur kedalaman pemahaman tentang materi yang diberi.
Ya dunia yang sedang kupijak kini adalah dunia belajar mandiri. Tidak ada istilah menggantungkan tanggung jawab pada pemberi materi atau teman lainnya. Aku harus berjibaku menyelesaikan segalanya sendiri, jika memang ingin segera menuntaskan perjuangan ini.
“Jujur, terkadang beratnya dunia perkuliahan seolah memaksaku untuk berhenti. Namun bila ku tengok lagi jauh ke belakang, bagaimana mungkin aku berjalan mundur setelah melangkah sejauh ini?”
ADVERTISEMENTS
Kini aku sedang berada di fase terberat sebagai seorang mahasiswa. Tugas akhir yang bisa mengantarkanku ke gelar Sarjana harus tuntas pada waktunya
Perjuanganku untuk mengantongi gelar sarjana bak permainan dalam game buatan. Semakin tinggi levelnya semakin besar pula tantangannya. Begitu pula ketika fase terakhir di bangku perkuliahan harus dihadapi. Tugas akhir dalam bentuk skripsi tak bisa kuelakkan. Pahit dan manis menyelesaikannya masih dengan jelas terbayang. Mulai dari repotnya menentukan judul penelitian, menentukan metode apa yang akan digunakan, merayu dosen untuk menyediakan waktu membimbing di tengah sibuknya mereka, sampai perjuangan mengejar responden untuk mendapatkan data penelitian. Semua proses itu terasa memberatkan, bahkan terkadang seolah memaksaku untuk berhenti saja.
Namun ketika aku hampir menyerah, ku ingat cerita tentang kawan lamaku di sana. Bagaimana kabarnya sekarang?
ADVERTISEMENTS
Kamu adalah orang paling keras kepala yang pernah kukenal di dunia. Semangatmu mengejar mimpi menjulang tinggi, tak bisa ditekan lagi
Kita saling mengenal semasa masih duduk di bangku putih abu-abu dulu. Satu hal yang selalu teringat olehku adalah tentang semangatmu menjalani hari-hari. Belum pernah aku bertemu dengan orang sepertimu, yang punya energi positif berpuluh kali lipat dari ukuran tubuh sendiri. Penampilanmu yang sederhana seringkali kunilai tak sepadan dengan caramu memandang dunia. Kamu berhasil membuat siapa saja yang berada di sampingmu terbius oleh semangat mengejar segala impian. Satu nasihat yang sering kau ucapkan padaku:
“Jika ingin menjadi orang besar jangan takut untuk berlari dan terjatuh. Kegagalan tidak terjadi ketika kamu berlari dan jatuh sesekali. Kegagalan adalah saat tidak mencoba berlari sama sekali”
ADVERTISEMENTS
Meski kondisi ekonomi keluargamu tak cukup mumpuni, berbagai impian terus kamu yakini. Sungguh, aku salut pada keberanianmu ini
Tak ada yang tahu bagaimana keadaanmu yang sebenarnya, kecuali padaku kau berani menceritakan segalanya. Bukan karena ingin menyembunyikan, namun katamu kau tak ingin dikasihani karenanya. Jika melihat beratnya menjalani hari-hari di tengah himpitan ekonomi yang harus kau hadapi, menurutku kamu terlalu berani menggantungkan cita-cita tinggi di atas sana. Kau merenda mimpi yang kupikir waktu itu terlalu muluk untuk dirajut. Namun sebagai sahabat, rasanya tak mungkin kukatakan itu semua. Aku tak mau melihat semangatmu surut. Selalu kuaminkan saja semua doa dan cita-citamu waktu itu.
ADVERTISEMENTS
Setiap hari selalu kau ceritakan mimpi yang sama. Kamu ingin kuliah di universitas ternama, di Fakultas bergengsi pula. Aku mengiyakan, meski kadang kupikir impianmu itu sedikit gila
Sama seperti setiap orang yang juga punya mimpinya sendiri, kamu pun punya kebiasaan yang serupa. Hampir setiap hari seingatku di masa SMA, kamu menceritakan keinginan yang sama. Mimpi untuk suatu saat nanti bisa mengenakan jas putih telah menjadi cita-citamu sedari dulu. Kamu juga menyebutkan di universitas mana ingin belajar. Sebuah tempat yang setiap tahunnya selalu tak pernah kehilangan peminat yang datang berjuang. Memperebutkan kursi, mencatatkan nama mereka sebagai mahasiswa di sana. Meskipun sadar untuk masuk ke sana bukanlah hal yang mudah, tapi situasi tersebut tak berhasil membuatmu goyah.
ADVERTISEMENTS
Aku jadi saksi mata bagaimana kau belajar mati-matian. Semua rela kau lakukan demi bisa diterima di universitas impian
Belajar dengan giat selalu menjadi agenda aktivitasmu sehari-hari. Kamu sadar betul dengan biaya yang nyaris tak ada, perjuangan mendapatkan beasiswa harus dilakukan dengan sepenuh tenaga. Tak ada waktu untuk bersantai seperti yang lainnya. Dengan jelas aku bisa melihat harapmu yang begitu tinggi untuk bisa mengenyam pendidikan di bangku kuliah pada universitas dan jurusan yang kamu kehendaki. Lagi-lagi dengan tindak nyata, kamu berhasil membuatku semakin kagum dengan seluruh usaha yang kau tunjukkan. Tidak ada keluhan yang pernah ku dengar dari bibirmu.
Bagimu beratnya pengorbanan tak perlu dijadikan alasan untuk mengeluh. Segala peluh yang menetes, kau anggap sebagai konsekuensi wajar dari mimpi yang besar. Kerikil tajam yang menghiasasi perjalanan kau telan begitu saja tanpa pernah menyambat. Kamu adalah contoh hebat yang kukenal begitu dekat.
Tapi manusia hanya bisa berusaha. Kamu gagal masuk ke universitas yang sudah jadi impianmu sekian lama
Manusia boleh berusaha namun pada akhirnya Tuhan juga yang menentukan
Ya mungkin hanya itulah kalimat bisa kuucapkan sebagai penghiburan saat berita tentang kegagalanmu mau tak mau harus ku dengar. Segala jerih payah ternyata belum cukup menjadi modal mengantarkanmu menimba ilmu di sana. Tak ada yang bisa kulakukan selain mengusap punggung untuk menenangkan rasa kecewamu. Kusiapkan sepasang telinga guna mendengar seluruh kemarahanmu. Baru kali itu keceriaan memudar dari wajahmu dan tak kembali selama beberapa waktu. Ternyata rasa sakitnya mampu menyesap seluruh semangat yang selama ini kupikir tak mampu lenyap.
Kamu jelas kecewa. Di matamu kutemukan setitik marah dan seikat ketidakadilan yang kau rasa. Kamu bertanya, “Benarkah bangku kuliah hanya milik mereka yang berpunya?”
Kata-kata penghiburan tak lantas mengusir semua kemarahanmu itu. Beberapa lama dari waktu pengumuman, kau selalu menatap sinis dengan sistem pendidikan yang katamu seolah hanya berpihak pada orang berpunya. Aku merasa tak perlu melawanmu dalam kata-kata, karena kutahu kalimat tersebut keluar karena kemarahan semata. Sahabatku tak punya sifat senang mencela. Berkali-kali kuyakinkan padamu bahwa duduk di bangku kuliah tak menjadi satu-satunya cara untuk menggapai keberhasilan. Ada banyak orang di luar sana yang justru lebih unggul jika dibandingkan dengan orang yang berkuliah secara formal. Perlahan namun pasti, sikapmu pun mulai melunak. Kau bertanya padaku, apakah masih ada tempat untukmu mencapai keberhasilan. Satu kalimat pamungkas yang kuucapkan padamu adalah:
“Tuhan tak pernah mengirim manusia ke bumi hanya menanggung kegagalan”
Aku tak bisa berkata apa-apa selain mendukungmu agar tidak putus asa. Kamu pun mengangguk setelah aku berkata, “Bukankah Tuhan selalu adil pada setiap umatnya?”
Waktu yang terus bergulir, mulai meredam semua rasa kecewamu akan keadaan. Sebagai sahabat, aku meminta untuk tidak menyerah pada kerasnya arus cobaan. Jika aku coba menganalogikan, mungkin ‘hujan’ yang sedang Tuhan berikan saat ini adalah sebuah proses yang harus dilewati demi melihat pelangi. Meskipun terlihat belum yakin dengan apa yang kukatakan, kamu tetap mengamini sebuah doa yang kutitipkan. Segala dukungan dan nasihat yang bisa terucap ku berikan untuk membangkitkan harapmu yang sepertinya sedang tertidur lelap.
Di mataku kamu tak pernah gagal. Tak bisa duduk di bangku kuliah terbukti tidak membawamu pada keterpurukan kekal. Saat terakhir kali kita bertemu justru kesuksesan sudah lebih dulu menghampirimu
Setelah waktu kelulusan kita pun berpisah. Aku melanjutkan kehidupan dengan menempuh pendidikan di bangku kuliah dan kamu melanjutkan cerita dengan caramu sendiri. Sesekali kita saling berkabar, bercerita, dan bersenda gurau. Kamu bilang akan membantu usaha sederhana milik orangtua. Jika beruntung, kamu juga akan menabung demi menyambung mimpi yang sempat terhenti.
Dari laman aktivitasmu di dunia maya, ku kira pelan-pelan kamu mulai menikmati hidup yang baru. Kamu terlihat belajar banyak hal, bahkan mungkin lebih banyak dari yang bisa dipelajari di bangku kuliah. Lambat laun kegigihan itu mulai menunjukan hasil yang menjulang. Namamu kini berderet menghiasi daftar pengusaha muda paling bersinar. Aku tak heran, kamu memang punya otak yang cemerlang. Pada saat kita bertemu, kamu menceritakan bagaimana usahamu hingga bisa sampai di titik seperti sekarang. Ya tak ada hal lain yang bisa kulakukan selain memberimu tundukan penuh rasa hormat. Semangatmu yang sungguh memikat membuat keberhasilan tak kuasa untuk mendekat.
Hingga saat ini setiap kali mengingat kisah tentangmu, aku masih sering tersenyum sendiri. Seseorang yang pernah merasa gagal karena tidak berhasil mengenyam pendidikan di bangku kuliahan kini justru bisa meraih kebahagiaan dengan cara yang Tuhan telah rencanakan. Kegigihan dan semangat berjuang terbukti ampuh mengantarkan setiap orang yang mau untuk mencetak keberhasilan sesuai dengan yang diinginkannya. Sebuah quote dari Bill Gates yang satu ini nampaknya cukup menjadi penutup manis dari surat ini:
“If you born poor, it’s not your mistake. But if you die poor, it’s your mistake”