Bukan Jaksa tapi Menuntut/ Illustration by Hipwee via hipwee.com
Orang bilang hidup ini bagaikan roda. Jika roda itu melaju maka akan ada bagian yang bergantian posisi. Kadang berada di atas dan kadang juga berada di bawah. Ketika bagian dari roda itu berada di bawah, dia sangat rentan akan segala mara bahaya. Ketika bagian roda berada di atas, tidak ada hambatan yang berarti. Semua terasa lancar. Mungkin satu-satunya ketakutan yang dirasakan hanyalah ketakutan bahwa posisinya di atas tidak akan lama. Posisi yang tadinya di atas akan berganti berada di bawah. Kembali merasakan penderitan bersama paku-paku bertebaran, kerikil-kerikil menyiksa, dan mungkin juga lubang jalanan yang menganga.
Roda-roda itu terus melaju apapun kondisinya. Mungkin banyak yang bertanya-tanya kapan roda itu akan berhenti. Satu hal yang aku yakini roda-roda itu akan berhenti saat manusia mati. Ketika dia sudah tidak bisa melakukan apa-apa bahkan bernapas pun tidak bisa. Di situlah semua perjuangan berhenti. Aku dan kalian semua tahu bahwa kita akan sampai pada titik itu. Tapi, pertanyaannya, kapan?
Mungkin sebaiknya aku tidak perlu jauh berpikir ke arah sana. Aku tidak perlu bertanya-tanya kapan rodaku akan berhenti. Mungkin saja hidup yang aku jalani ini belum ada setengahnya. Kalau aku hitung kembali, usiaku baru dua puluh lima tahun lebih beberapa bulan. Aku masih punya banyak waktu untuk mengubah posisiku dalam roda kehidupanku.
Roda kehidupan/ Illustration by NKSTHI
Aku, Samsul Bambang Triyono, pemuda Jawa asli menjunjung tinggi paribasan “Sabar sareh mesti bakal pikoleh”. Peribahasa Jawa ini selalu menjadi penganganku bahwa ketekunan dan kesabaran adalah kunci untuk mencapai apa yang diinginkan.
Akan tetapi, ketika aku sedang dalam proses, orang-orang di sekitarku justru bertanya, “Mas Samsul kan wis lulus kuliah. Mosok urung rabi? Jek jomblo wae? Kanca-kancane wis dho nggendhong bayi lho”.
“Sul, Samsul. Kae kancamu wis dho duwe omah dhewe, duwe mobil apik. Kok kowe urung?” Setiap hari ada saja pertanyaan baru yang datang.
Sebenarnya aku bisa saja menjawab “Aku rung rabi mergo duit e kanggo nyekolahke adhiku. Yen perkara banda, aku iso. Tapi, yo aku luwih milih cedhak karo wong tuwa. Ha mbok kira urip ki lurus-lurus wae kaya Jalan Kaliurang?”
Akan tetapi, aku lebih memilih diam sambil memberikan senyum simpul. Tidak ada gunanya aku membuktikan pada mereka. Lagipula, aku yakin apapun penjelasan yang aku berikan tidak akan memuaskan penilaian mereka yang tidak mengerti bahwa setiap orang punya pertimbangannya sendiri-sendiri.
Berkali-kali aku mencoba mengabaikan mereka, berkali-kali juga pertanyaan itu malah menghantuiku. Apakah mereka ini benar-benar peduli ataukah ini hanya beberapa kalimat di antara banyaknya basa-basi?
Di saat aku sama sekali tidak memermasalahkan tentang kapan aku bisa mengubah posisiku dalam roda kehidupan ini dan mencoba menghiasinya menggunakan berbagai pencapaian, orang lain justru mau untuk repot-repot memedulikan, menganalisis, dan bahkan juga menjadi guru dadakan bagiku dan juga kehidupanku.
Aku juga tidak mengerti mengapa orang bisa menuntut ini dan itu kepada orang lain padahal dia sama sekali tidak berkontribusi apa-apa terhadap kehidupan orang yang dituntut. Mereka sama sekali tidak melahirkanku. Mereka tidak membesarkanku. Mereka tidak memberiku makan. Mereka juga tidak menyekolahkanku. Lalu tiba-tiba mereka menuntutku untuk mempunyai ini dan itu, harus sudah ini dan itu seakan-akan aku bekerja pada mereka. Aku menjadi jongos dan mereka menjadi bos, tapi aku tak mendapatkan upah apa-apa.
Kurasa aku tidak perlu menjelaskan panjang lebar bahwa aku punya cita-cita dan rencana hidupku sendiri. Aku tidak perlu bersikeras bahwa aku adalah manusia yang punya pemikiran. Aku tidak perlu berdebat bahwa aku mengerti apa yang harus aku lakukan. Hanya saja yang sangat ingin aku ungkapkan adalah aku sedang tidak terburu-buru. Jika Tuhan mengizinkan, aku akan hidup tujuh puluh tahun lebih dan usiaku sekarang tidaklah lebih dari setengahnya. Aku masih punya banyak waktu.
Bisakah berhenti membuat beban baru di kepala? Kata-kata yang keluar dari mulut kalian tidaklah membantu. Mengurusi, menasihati, dan mencampuri urusan orang lain memang selalu lebih mudah ketimbang menyelesaikan permasalahan hidup sendiri. Aku yang baru hidup belum lama ini juga tahu bahwa akan lebih mudah berkata-kata lewat mulut ketimbang mengeksekusi perkataan itu. Akan lebih mudah melemparkan bola panas kepada orang lain ketimbang bermain-main dengan bola itu. Kalian semua bertindak seolah-olah seperti hakim yang suka menilai sekaligus menjadi jaksa yang suka menuntut.
Penjaluke werno-werno/ Illustration by NKSTHI
Terimakasih sudah membaca curhat sambatku. Ada sedikit pesan dari untuk SoHip. Silakan di-scan untuk membacanya. Semoga dapat menjadi obat di waktu yang berat.
Aktif di media sosial Instagram & Tik-Tok @nantikitasambattentanghariini dan Twitter @nksthi. Seluruh konten yang dibuat berupa grafis, audio, dan kata-kata yang berisi “sambatan” atau keluhan yang sering dialami dan dirasakan oleh banyak orang di media sosial maupun di kehidupan sehari-hari.