Toxic neighborhood/ Illustration by Hipwee via hipwee.com
Kalau mengingat pelajaran IPS waktu sekolah dulu, manusia dikatakan sebagai makhluk sosial. Begitulah kenyataannya. Kita nggak bisa hidup sendiri tanpa berdampingan dengan siapa pun, termasuk tetangga. Mereka adalah orang terdekat selain anggota keluarga. Bahkan, mungkin mereka lebih cepat tanggap ketika terjadi sesuatu yang darurat daripada sanak saudara yang tinggal jauh dari kita.
Saking dekatnya, kadang tanpa sadar kita saling memengaruhi satu sama lain. Nggak cuma yang bagus-bagus, tentunya ada juga yang cukup meresahkan. Salah satunya, pengaruh yang diberikan berhubungan dengan pola asuh anak yang dapat menimbulkan kebimbangan. Mau pindah nggak mungkin, tapi kalau terus-terusan dibiarin kok dampaknya agak seram ya?
ADVERTISEMENTS
Tetangga toxic biasanya suka ikut campur dalam pola asuh anak, sudah begitu informasi yang diberikan patut dipertanyakan
Biar nggak jadi tetangga toxic, jangan ikut campur dalam pola pengasuhan orang lain | Photo by Lalesh Aldarwish on Pexels
Sebagai orang tua baru, kita mungkin memang membutuhkan masukan dan referensi dari sumber lain dengan harapan supaya bisa menerapkan pola asuh yang baik untuk anak kita. Banyak hal yang akan dilakukan, mulai dari membaca dari internet dan buku hingga bertanya kepada orang yang dinilai lebih berpengalaman dalam mengasuh anak, salah satunya tetangga. Meskipun begitu, kita perlu hati-hati nih terhadap berbagai masukan dari orang lain, apalagi jika mereka sudah terlalu jauh ikut campur terhadap pola asuh yang kita lakukan.
Ada kalanya, kita sudah mencari tahu melalui berbagai sumber seperti buku, internet, bertanya kepada orang tua dan mertua, atau bahkan mungkin melakukan beberapa kali konsultasi dengan tenaga kesehatan, tapi ada saja orang-orang terdekat yang memaksakan dan ikut campur terlalu jauh terhadap pola asuh yang kita lakukan.
Jika itu dilakukan atas dasar ketidaktahuan kita, lalu kita bertanya kepada orang tersebut sih tidak jadi masalah, bahkan mungkin cukup membantu. Akan tetapi, kita perlu berhati-hati dengan inisiatif yang salah dan malah memaksakan pola asuh yang menurut mereka benar. Biasanya, mereka akan beralasan menggunakan pengalaman pribadi tanpa dasar yang jelas atau bahkan berdasarkan mitos-mitos daerah.
Kita harus dapat membatasi antara yang mana nasihat, yang mana pemaksaan pembenaran pola asuh. Alangkah lebih bijaksana lagi jika kita mempertimbangkan hal-hal ini dalam pola asuh kita:
Mungkin saja benar bahwa tetangga tersebut melakukan pola asuh yang dapat dikatakan berhasil terhadap anaknya, tapi apakah kondisinya sama antara anaknya dan anak yang kita asuh?
ADVERTISEMENTS
Kondisi anak tak bisa disamaratakan, tapi masih saja pada hobi membanding-bandingkan
Berhenti membandingkan perkembangan dan pertumbuhan anak | Photo by NeONBRAND on Unsplash
Mungkin kita sering mendengar kebanggaan tetangga terhadap pencapaian anaknya.
“Ih Bun, anak saya sewaktu 3 (tiga) tahun sudah bisa berhitung sampai seratus lo! Kok anak Bunda malah belum bisa ngomong sih?”
Sebal kan mendengarnya? Hal lain yang cukup populer di antara perbincangan ibu-ibu komplek perumahan biasanya meliputi,
Tentang disapih
Tentang berhenti mengompol
Tentang bisa merangkak, berjalan, melompat, dan berlari
Tentang mengenal dan mengingat warna, bentuk, membaca, dan berhitung
Tentang berat dan tinggi badan
Tentang kecakapan berbicara
Perbedaan pencapaian dalam tumbuh kembang anak itu wajar kok. Jika ada keraguan, coba ditanyakan kepada orang tua dan mertua mengenai proses tumbuh kembang kita saat masih kecil. Biasanya memang ada kesamaan tumbuh kembang antara orang tua dan anak. Jika masih tetap ragu, akan lebih meyakinkan lagi jika kita bertanya kepada dokter spesialis pertumbuhan dan perkembangan anak daripada menelan mentah-mentah omongan beracun dari para tetangga.
ADVERTISEMENTS
Niatnya mungkin cuma lucu-lucuan, tapi manggil pakai kondisi tubuh anak bisa bikin rasa percaya diri si kecil menurun
Hati-hati perundungan anak secara tak langsung | Photo by Monstera on Pexels
Banyak orang di sekitar kita, termasuk tetangga, yang melakukan perundungan secara tidak langsung terhadap anak. Contohnya, yang cukup berdampak negatif adalah hal-hal yang merujuk kepada bentuk fisik anak. Mungkin niatnya adalah memanggil untuk sekedar lucu-lucuan saja atau agar terkesan akrab. Biasanya mereka akan memanggil dengan:
Bentuk badan (gendut, kurus, dan pendek)
Warna kulit (putih dan hitam)
Jenis dan bentuk rambut (keriting, gundul, jabrik)
Hal-hal yang cenderung tidak biasa (bentuk mata, telinga, gigi, letak tahi lalat, dll)
Contohnya dalam kalimat misalnya,
“Ih kok kamu kulitnya hitam sih, padahal kan Mamah sama Papah putih?”
“Kamu mah bukan anak Papah sama Mamah, soalnya kamu giginya ompong.”
Meskipun dikemas dengan nada yang imut, hal itu akan secara perlahan mengikis tingkat kepercayaan diri anak, mengganggu emosional anak, dan bahkan cenderung memperburuk hubungan sosial antara anak dan orang tua. Apalagi, jika dibumbui dengan candaan yang memancing reaksi sedih anak. Mirisnya, hal ini malah sering dianggap lucu oleh orang lain.
ADVERTISEMENTS
Pindah rumah mungkin bukan pilihan yang memungkinkan, tapi ada kok langkah-langkah preventif yang bisa dilakukan
Apa yang bisa dilakukan orangtua? | Photo by Los Muestros Crew on Pexels
Agar situasi tidak semakin memburuk, banyak cara yang dapat dilakukan orang tua sebagai tindakan preventif.
Mempelajari tahapan perkembangan tumbuh kembang anak
Memahami faktor genetika dari orang tua terhadap anaknya
Memberi pemahaman terhadap anak dan melakukan pendekatan terhadap anak
Melakukan konsultasi dengan orang yang terpercaya
Jika dirasa berlebihan, kita sah-sah saja untuk menegur dan membicarakan baik-baik terhadap tetangga yang ucapannya lumayan ‘lentur’
Masa pertumbuhan dan perkembangan anak sangatlah penting dan berisiko jika dilakukan secara sembarangan. Untuk itu, sebagai orang tua yang menginginkan pertumbuhan dan perkembangan anak menjadi optimal, kita pun harus mampu meningkatkan kualitas kita tanpa lelah.
ADVERTISEMENTS
Ada juga hal lain yang mesti dikendalikan supaya nggak malah memperburuk keadaan
Apa yang dilakukan dalam menghadapi toxic neighborhoods agar keadaan tidak memburuk? | Photo by Keira Burton on Pexels
Kita memang tidak bisa mengendalikan segala macam bentuk ucapan atau perilaku orang lain, tapi setidaknya kita harus mampu mencegah dan membatasi berbagai hal yang dirasa cukup mengancam dalam proses tumbuh kembang anak. Akan menjadi berbahaya sekali jika kita pun membiarkan hal-hal yang justru berisiko akan memperburuk keadaan.
Tidak peduli dan menganggapnya sebagai hal biasa saja
Kita tidak bisa tutup mata dan telinga jika itu berkatian dengan tumbuh kembang anak. Kita harus siap mengawasi hal-hal yang terkait dengan pertumbuhan mereka. Jika dirasa ada hal yang sudah cukup mengkhawatirkan, disarankan untuk segera mengambil tindakan.
Menanggapi secara emosional yang berlebihan
Memang sebagai orang tua, ada pula yang menjadi lebih sensitif jika ada hal-hal yang mengganggu menyangkut sang anak. Bisa saja, kita menjadi marah atau sedih secara berlebihan. Walau wajar, namun perlu diingat bahwa hal itu tidak akan menyelesaikan apa pun. Jadi, sebaiknya tanggapi dengan secukupnya saja.
Menerima mentah-mentah semuanya
Kita sudah harus bisa menyaring dan memilih mana hal yang baik dan buruk, terutama jika menyangkut dengan anak. Jika ada keraguan, perbanyak informasi melalui sumber terpercaya agar kita memiliki banyak referensi dan lebih akurat lagi dalam menangani suatu hal.
Pola asuh kita adalah investasi untuk anak di masa depan, untuk itu kita tidak boleh sembarangan dalam melakukannya. Apalagi, sumbernya dari mulut-mulut jahil tetangga yang belum jelas kebenarannya. Ingat! Pada akhirnya, kegagalan atau keberhasilan pola asuh anak adalah kita yang merasakannya, bukan tetangga.