Saat menghadapi masalah demi masalah yang tak kunjung usai mungkin kita akan merasa terperosok ke dalam suatu titik terendah yang lebih dalam dari sekadar titik 0. Ketika kenyataan tak terjadi sesuai dengan keinginan, mungkin kita akan bilang “Ini adalah titik negatif,” atau bahkan “Ini adalah momen terendahku.” Sebaliknya, ketika sesuatu berjalan sesuai dengan keinginan maka kita akan menyebut bahwa momen tersebut adalah momen positif yang menyenangkan.
Dulu saya juga sempat berkubang di pikiran yang serupa, tidak bisa melihat secara netral sehingga membenci hal buruk yang terjadi dalam hidup saya. Tumpukan masalah yang saya hadapi mirip baju yang digantung di belakang pintu, tak peduli setiap hari kita cuci, tumpukan tersebut muncul kembali. Bahkan, di suatu titik rasanya saya ingin menyerah saja dan enyah dari dunia yang ruwet ini. Namun, saya mungkin beruntung karena sisi saya yang lain mampu menyelamatkan saya dari energi tersebut.
ADVERTISEMENTS
Momen yang terjadi dalam hidup kita sebenarnya adalah sesuatu yang netral, titik terendah itu seperti ada dan tiada
ADVERTISEMENTS
Kamu sedang membaca konten eksklusif
Dapatkan free access untuk pengguna baru!
Dulu saya adalah seseorang yang sangat membenci momen-momen buruk yang terjadi. Tapi, setelah saya belajar tentang mindfulness, kesadaran diri, dan meditasi, saya belajar tentang hidup ini. Momen yang saya alami sebenarnya adalah momen yang netral tapi pikiran saya sajalah yang cenderung memberi label. Kalau menurut pikiran saya, momen terendah itu ada tapi kalau dilihat lebih mendalam sebenarnya hidup ini dinamis.
Dulunya saya percaya setiap momen pahit akan menghadirkan sisi manisnya. Di setiap sisi terendah, di situ akan ada keindahan. Misalnya perpisahan, saya akan menganggap bahwa hal tersebut merupakan pintu menuju pertemuan dengan seseorang yang lebih tepat. Kalau gagal misalnya, saya yakin bahwa kegagalan ini adalah kesuksesan yang tertunda. Di momen negatif kita yakin bahwa akan ada momen positif selanjutnya.
Sebenarnya ada lagi pemikiran lainnya, bahwa di setiap momen manis akan ada momen pahitnya. Hal ini yang seringkali tidak disadari. Jarang kita menumbuhkan kesadaran bahwa di setiap sisi manis itu juga ada sisi pahitnya. Setidaknya kita perlu menyadari bahwa titik tertinggi itu juga akan menghadirkan tantangan-tantangan yang tidak mudah.
ADVERTISEMENTS
Menyadari akan berbagai hal yang sedang kita alami artinya membuat kita untuk tidak ‘lupa diri’
Kalau ketawa jangan keras-keras. Nanti habis itu nangis lo.
Begitulah kalimat yang mungkin juga sering kita dengar dulu dari orang tua yang membuat kita jadi skeptis ketika menerima hal yang indah. “Jangan-jangan setelah ini terjadi hal buruk?!” Di tahap mendasar mungkin kita baru akan merasakan bahwa momen pahit yang dialami sepenuhnya pahit, begitu pula sebaliknya. Di tingkat selanjutnya mungkin kita mulai bisa berpikir bahwa momen pahit tak sepenuhnya pahit, tapi ada juga sisi manisnya.
Di level lebih lanjut lagi, kita mungkin malah sebenarnya tak benar-benar tahu apakah momen tersebut manis atau justru pahit. Layaknya bumi yang berotasi, jangan-jangan sebenarnya kita sedang berada di titik tertinggi saat merasa sedang di titik terendah? Dengan menyadari hal ini maka kita akan lebih bisa menerima ketika suatu masalah terjadi.
ADVERTISEMENTS
Untuk mencapai titik ‘kesadaran’ itu, kita perlu berlatih untuk menguatkan otot kesadaran
Tingkatan yang sudah disebutkan sebelumnya bukan pakem. Ada momen di mana seseorang memiliki kesadaran tertentu dan di momen lain memiliki kesadaran yang berbeda. Meskipun begitu, kita bisa melatih diri kita supaya lebih terampil dalam menggunakan kesadaran diri. Sayangnya, kesadaran diri ini satu hal yang jarang sekali dipelajari.
Sebagai pengantar, pikiran kita sederhananya dibagi menjadi 2 yaitu mind di fungsi think dan mind di fungsi aware atau sadar. Selama ini, di dunia pendidikan atau saat kita kecil dan dilatih oleh orang tua kita, sisi think cenderung lebih diunggulkan. Jadi, masalah yang datang akan lebih dipikir, dianalisis, dicari tahu latar belakangnya, kesimpulannya, dan lain sebagainya. Maka, kita sering kali mengalami satu momen namun malah sibuk berpikir dan menganalisis kenapa sesuatu bisa terjadi yang ujungnya malah jadi overthinking.
Saya tidak memusuhi fungsi mind di sisi think karena fungsi tersebut memang diperlukan. Tapi, kita juga perlu melatih fungsi mind yang lain yaitu awareness, mindfulness, kesadaran diri, eling. Eling bahwa kita manusia yang punya keterbatasan untuk menganalisis segala sesuatunya. Fungsi aware dari mind ini yang perlu kita latih. Dengan cara seperti apa? Dimulai dengan menyadari napas.
Ada 2 latihan dalam bernapas yang bisa dilakukan:
- Latihan santai atau nonformal: Di sela-sela kegiatan sehari-hari saat melakukan apapun kita bisa menyadari napas. Ketika sedang bernapas sadari “Oh, saya sedang menarik napas.” Hembuskan napas, sadari “Saya sedang menghembuskan napas.” Latihan ini bisa dilakukan saat sedang bersih-bersih, mandi, bermedia sosial, bahkan saat mengobrol.
- Latihan resmi atau formal: Luangkan waktu 5-10 menit setiap hari yang nantinya bisa ditambah seiring berjalannya waktu menjadi 20 menit atau lebih. Lakukan duduk berdiam diri dengan mata terpejam, sadari napas. Saat muncul pikiran yang macam-macam atau melompat-lompat, kembali lagi ke napas.
ADVERTISEMENTS
Walau kelihatannya sederhana namun dampak dari latihan ini cukup signifikan untuk saya
Manfaat melatih kesadaran diri ini banyak sekali yang pada akhirnya berdampak pada kesehatan mental, mengurangi stres, cemas, atau overthinking. Mungkin ada momen-momen ketika kita membaca sesuatu di media sosial yang memancing amarah kita hingga ingin meninggalkan komentar buruk di sana. Kalau pengalaman dari saya, ketika sudah terlatih untuk sadar diri maka muncul kesadaran bahwa kemarahan ini sebenarnya nggak bermanfaat. Selain itu, berkaitan dengan gaya hidup misalnya, kita mungkin seringkali impulsif.
“Wah, aku pengin sepatu ini. Eh tas ini kok lucu? Lo, kaus ini juga bagus.”
Padahal, sebenarnya yang kita miliki sudah cukup. Dengan melatih kesadaran akhirnya kita bisa menahan diri.
Selain itu, kesadaran diri juga menjadi dasar mengaplikasikan ilmu-ilmu yang selama ini hanya kita ketahui. Misalnya, bicara soal kesabaran, keikhlasan, dan memaafkan, kita mungkin sudah tahu bahwa hal tersebut baik tapi yang menjadi masalah besar adalah kenapa dari apa yang kita tahu tidak menjadi ‘laku’? Dengan berlatih kesadaran diri inilah kita bisa menerapkannya.
ADVERTISEMENTS
Dengan berlatih kesadaran ini pula, saya bisa selamat dari momen yang kala itu saya anggap sebagai titik terendah
Dulu saya nggak karu-karuan, mawut. Saya dulu kuliah di UGM, ketika itu saya merasa bahwa saya gagal mengelola kemarahan sehingga butuh pelampiasan. Ketika marah, saya bukan tipe yang meluap-luap tapi saya memilih melarikan diri dari kemarahan tersebut. Saya akan main dengan ‘ngawur’ sehingga memiliki kehidupan sosial yang rumit.
Dulu saya juga termasuk orang yang tidak berhubungan baik dengan diri sendiri. Termasuk ketika lulus kuliah, ada tumpukan hal yang membuat saya merasa tidak nyaman. Saya pusing memikirkan karier karena bingung harus bagaimana. Sebagai seorang lulusan psikologi, dulu saya bingung karena untuk menjadi psikolog harus lulus S-2 yang mana butuh biaya. Padahal, waktu itu keuangan saya masih tipis. Saya juga memiliki kemarahan lain karena saya lahir di keluarga broken home, saya kehilangan sosok ayah sehingga ada kemarahan yang besar terhadap keluarga.
Layaknya anak muda lainnya, saya juga punya masalah percintaan. Dulu bingung karena persoalan mantan, pacar, ghosting atau ditinggal pas lagi sayang-sayangnya. Tak selesai sampai di situ, ketika mencoba wirausaha, saya malah dipusingkan dengan utang. Ada serangan dari 8 penjuru mata angin pada masa gelap ini sampai saya berada di titik “Udah ah selesai aja hidup ini.” Buat apa hidup ini malah bikin menderita, bikin sumpek.
Ditambah lagi saya termasuk orang yang sulit berteman dan bercerita dengan orang. Jadi, waktu itu saya juga kurang ada saluran untuk bercerita. Mampet di diri saya semua makanya muncul keinginan untuk menghilang dari dunia. Ada rasa sendirian dan kesepian.
Waktu itu, sejujurnya saya juga nggak tahu kenapa tiba-tiba saya tertarik untuk belajar tentang kesadaran diri. Meskipun masih tipis-tipis, saya berkontemplasi kala itu. Saya menyadari keinginan yang muncul dan bertanya “Bagian diri saya yang mana yang ingin saya menghilang selamanya?”
Saya sadar ada pihak yang muncul di diri saya yang memunculkan keinginan itu, lalu ada pihak di diri saya juga yang menyadari adanya keinginan itu. Lalu saya ini yang mana? Karena ada dua pihak berbeda. Di situ saya hanya mengamati keinginan itu, saya sadari saja dari tepian. Ada waktu di mana keinginan menjadi kuat sekali, lalu surut, beberapa waktu muncul lagi, surut lagi, dan lama-lama mereda. Di situ saya belajar bahwa diri saya yang sejati adalah pihak yang menyadari keinginan tersebut, bukan yang memunculkan keinginan itu. Sehingga setiap keinginan itu sebenarnya tidak harus dipuaskan.
Jika kamu pernah merasa di posisi yang sama dengan saya, ada pelajaran yang bisa saya ambil dari pengalaman tersebut
Belajar dari kebodohan saya dulu, kekonyolan saya adalah bahwa saya tidak bercerita dengan orang lain. Saya menutup diri. Makanya, sebaiknya beranikan diri untuk menceritakan isi perasaan dan kondisi pikiranmu ke orang-orang yang kamu rasa nyaman untuk bercerita. Jika saat ini tidak ada seseorang yang membuatmu nyaman maka carilah orang itu. Kita sebaiknya berada di posisi yang aktif untuk mencari support group tersebut. Tidak harus banyak orang, mungkin satu atau dua orang saja.
Selain itu, jika terpaksa tetap tidak punya teman atau orang di sekitar tidak mendukung kita, kita tetap bisa punya pegangan dengan melatih kesadaran diri. Latihan kesadaran diri ini bisa dipelajari sendiri melalui buku, ikut seminar, hingga dilakukan sehari-hari. Detailnya dengan menyadari napas, pikiran, dan perasaan, latihan untuk tidak tergesa-gesa bereaksi, serta slow living. Dengan menyadarinya kita bisa sadar bahwa kita bukanlah pikiran dan perasaan tersebut.
Seperti saat main di sungai. Arus itu seperti perasaan dan pikiran kita. Sedangkan diri kita sendiri sedang duduk di pinggir sungai, hanya melihat dan mengamati. Kita tidak berusaha mengendalikan atau menahan perasaan tersebut.
Kita tak harus memaksa mengendalikan arus pikiran dan perasaan, misalnya berusaha untuk selalu positif ketika arus pikiran negatif. Ketika arus perasaan sedang kencang mungkin kita akan memaksa untuk memelankan arusnya. Padahal, bukan seperti itu. Keluar saja dari arus itu, duduk leyeh-leyeh aja di pinggir sambil mengamati.
Catatan Redaksi: Konten ini dibuat secara co-create antara pihak content creator dengan tim konten Hipwee Premium
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
Tim Dalam Artikel Ini
I don’t pretend I’m more than I am. I'm just a regular guy and learning on being nothing