“Mendokusai!”
Itulah jawaban populer ketika kaum jomblo di Jepang menghadapi pertanyaan klasik seputar statusnya yang masih sendiri. ‘Malas ah, cuma bikin repot’, begitu kira-kira arti harfiahnya dalam Bahasa Indonesia. Berdasarkan data dari National Institute of Population and Social Security Research pada tahun 2010, 1 dari 5 pria dan 1 dari 10 perempuan Jepang belum menikah sampai mencapai usia 50 tahun. Dalam 20 tahun mendatang, angka itu diprediksi akan terus meningkat sampai 1 diantara 3 pria dan 1 diantara 5 perempuan Jepang betah jadi perawan tua.
Kalau di Indonesia status jomblo itu seakan-akan jadi sumber utama dari kegalauan hidup, orang-orang Jepang justru tampak makin menikmati kesendiriannya. Masih jomblo di usia 25 pun sudah dianggap barang reject atau produk gagal, di Jepang orang-orang santai saja kalaupun harus menjomblo seumur hidup. Bukan cuma status belum menikah tapi pacaran terus, single berusia matang di Jepang biasanya juga mereka yang tidak pernah punya pacar. Terbawa rasa penasaran, Hipwee mau bahas tuntas nih alasan dibalik membludaknya populasi jomblo di Jepang. Kelompok populasi yang dari tahun ke tahun justru makin bertambah jumlahnya.
1. Alasan paling realistis yang jauh dari perkara hati adalah, terlalu mahal untuk hidup berpasangan atau berkeluarga di Jepang. Yang gajinya pas-pasan, jadi malas menikah
Tokyo, ibukota Jepang, sudah tersohor jadi salah satu kota termahal dan terpadat di dunia. Apartemen 1 kamar yang hanya selebar rentangan tangan, seringkali jadi pilihan tempat tinggal satu-satunya bagi salary man biasa di kota-kota metropolitan Jepang. Terlebih lagi generasi tua yang masih sangat konservatif atau kolot, menuntut menantu atau anak perempuannya berhenti kerja seusai menikah. Artinya, pria-pria Jepang harus bisa menyokong keluarganya sendirian dengan pendapatan tunggal.
Makanya gaji tinggi jadi persyaratan teratas bagi pria di depan calon mertua. Padahal tiap tahunnya makin banyak karyawan lepas bekerja dengan kontrak singkat yang gajinya tak seberapa. Mungkin karena itu ya tiap tahun, jumlah pria Jepang yang tidak mau menikah jadi tambah banyak.
2. Belum lagi etos kerja tinggi dan kultur pengabdian total ke perusahaan. Sepertinya makin sulit memadukan kehidupan kerja dengan berkeluarga di Jepang, terutama buat perempuan
Sejak dulu dunia kerja di Jepang itu identik dengan pengabdian seumur hidup. Tak berusaha merangkak naik ke perusahaan yang lebih bagus, tapi mengabdi seloyal mungkin pada satu perusahaan layaknya keluarga kedua. Prinsip kerja tersebut menyebabkan banyak informal meeting setelah jam kerja sembari minum sake atau berkaraoke. Tak jarang karyawan baru pulang tengah malam karena tak mungkin menolak perintah atau ajakan atasan. Kultur kerja dimana tak jelas mana jam kerja dan jam pribadi ini, buat mereka yang berstatus bawahan tak punya waktu selain untuk bekerja.
Terlebih lagi untuk perempuan yang ingin berkarier, menikah dan berkeluarga bukanlah pilihan. Kalaupun calon suami atau keluarga tak menuntut harus resign, perusahaan-perusahaan Jepang tampaknya tidak menoleransi karyawan yang tak bisa pulang malam ataupun harus mengambil cuti hamil. Bukan dipecat langsung, tapi dipaksa mengundurkan diri secara teratur. Dari tertutupnya peluang promosi, sampai disindir karena mungkin dianggap tidak loyal terhadap perusahaan. Jepang memang terkenal sebagai salah satu negara dengan kesetaraan gender terburuk, terutama di lingkungan kerja.
3. Kondisi ini diperparah dengan obsesi Jepang dengan dunia virtual. Hubungan asmara yang sulit dilakukan di dunia nyata, coba digantikan dengan simulasi game atau aplikasi HP
Persoalan jomblo di Jepang, bukan sekadar masalah sulit atau tidaknya muda-mudi dengan tuntutan kariernya luar biasa untuk menikah atau berkeluarga. Tapi ternyata juga masalah perasaan. Kalangan muda Jepang makin tidak tertarik dengan hubungan asmara. Jepang juga menduduki peringkat tertinggi sebagai negara yang orang-orangnya paling jarang berhubungan seks. Mungkin itu berakar dalam budayanya yang makin terobsesi dengan dunia virtual.
Mereka yang tak punya waktu akhirnya beralih ke game-game bertema asmara seperti Love Plus, untuk menemukan pasangan idealnya. Berusaha menjalin cinta di dunia nyata, merupakan hal yang makin merepotkan bagi kalangan muda Jepang. Akibatnya mereka beralih ke games, aplikasi HP, atau film porno yang bisa diakses kapanpun dan minim risiko terhadap pekerjaan.
5. Makanya sering terdengar kabar seperti ini dari negara Sakura, pria memutuskan untuk menikah dengan karakter game atau pacar virtualnya.
Dibandingkan diri melamar cewek beneran, cowok dengan gaji pas-pasan di Jepang lebih memilih menggunakan uangnya untuk beli karakter game dan berpuas diri dengan pacar virtualnya. Meski konsep ini masih terdengar aneh buat kita, nyatanya ini merupakan realitas yang makin banyak ditemui di Jepang. Coba saja keliling pusat elektronik di Tokyo, Akihabara, dijamin kamu akan bisa menemukan cowok-cowok seperti itu. Saking terlenanya dengan kenyamanan asmara di dunia virtual, sejumlah diantara mereka sampai benar-benar menikahi tokoh-tokoh game itu secara legal. Mau nyata ataupun tidak, yang namanya hubungan asmara itu memang rumit.
7. Semakin betah orang-orang Jepang menjomblo, sebenarnya makin pusing pemerintahnya. Betah menjomblo dan tidak punya anak, bisa juga lho jadi bencana nasional
Popularitas jomblo yang semakin menjamur di Jepang justru bikin pemerintahnya geleng-geleng kepala. Di Jepang yang orang-orangnya terkenal panjang umur, populasi manula tiap tahunnya makin bertambah sedangkan anak-anak mudanya tak tertarik untuk berhubungan intim dan menghasilkan keturunan. Masalah kejombloan ini tak bisa dianggap sepele lho. Masa depan itu ada di tangan generasi penerus. Nah kalau ternyata tidak memiliki generasi penerus, sama saja Jepang tidak akan memiliki masa depan.
Mungkin pemerintahnya harus mulai memperbaiki hal-hal seperti kultur kerja, kesetaraan gender, dan sistem penyokong untuk mendukung ibu karier, biar orang-orang Jepang tertarik lagi untuk pacaran dan menikah. Oh ya sama mungkin jangan terlalu banyak nge-game ya guys, biar nggak terlena sama hal-hal yang nggak nyata.