Beberapa tahun lalu, hampir seantero Indonesia dibuat terkejut sekaligus kagum dengan sebuah berita akuisisi klub sepakbola terkenal asal Italia. Seorang anak bangsa diberitakan berhasil menjadi pemilik saham tertinggi Internazionale Milan. Nama Indonesia otomatis terangkat dengan pemberitaan tersebut. Wajahnya terpampang di beberapa halaman depan koran-koran internasional dunia, tanpa terkecuali Indonesia.
Benar, anak bangsa yang Hipwee maksud adalah Erick Thohir. Dia menjadi orang Indonesia pertama yang berhasil memiliki salah satu klub tenar di jagat sepakbola. Gelontoran dana sebesar 350 juta Euro (sekitar Rp 5,3 triliun) saat itu berhasil membuatnya menjadi pemilik saham terbesar klub sebanyak 70 persen. Namun siapa sebenarnya Erick Thohir? Kali ini Hipwee mau mengajak kenal lebih dekat sambil berharap kamu bisa terinspirasi oleh kisahnya di dunia usaha. Yuk langsung simak aja!
Â
ADVERTISEMENTS
Erick muda bukanlah tipe anak yang cuma bisa menikmati kekayaan keluarganya. Dia memanfaatkan hal tersebut untuk menjadi individu yang mandiri ke depannya
Tepat pada 30 Mei 1970, Erick Thohir lahir di Jakarta. Erick memang anak dari pengusaha Astra Internasional Tbk, Teddy Thohir, tapi Erick muda bukanlah tipe orang yang hanya bisa menikmati kekayaan keluarganya. Dia dan saudara-saudaranya yang lain malah diwarisi ilmu dan diperkenalkan banyak tentang berjuang di dunia bisnis.
Ketika di sekitar kita ada beberapa anak orang kaya yang memilih berleha-leha – sekolah atau kuliah nggak genah dan sering foya-foya –  karena percaya kekayaan orangtuanya sudah cukup bisa mencukupi hidupnya. Erick berbeda. Dia serius berkomitmen melanjutkan pendidikannya. Jurusan periklanan di Glendale University, Amerika Serikat jadi pilihannya. Tak puas dengan ilmu yang didapat, dia kemudian melanjutkan kuliahnya ke National University California, dan menyabet gelar master di jurusan Administrasi Bisnis.
Kembali ke Indonesia, tak lantas langsung enak-enak menikmati kekayaan keluarga. Ia sempat membantu keluarga di bidang usaha makanan, Hanamasa dan Pronto. Walaupun sang ayah memiliki banyak bisnis, tapi siapa sangka kalau sang ayah malah melarang Erick melanjutkan bisnis keluarga. Ayahnya tersebut ingin anaknya mandiri, mempunyai usaha sendiri dan menemukan kesuksesannya sendiri.
Erick menerima tantangan tersebut dan terbukti berhasil mengejawantahkan dirinya sebagai orang mandiri.
Erick berhasil memanfaatkan ‘anugerah’ (kekayaan keluarga) tersebut bukan untuk menikmatinya saja, tapi sebagai modal berharga untuk pijakan selanjutnya. Ia menimba ilmu yang tinggi, menjadi individu yang mandiri, kemudian membuka usaha-usaha lain.
ADVERTISEMENTS
Lepasnya Erick dari bisnis keluarga sempat dihalangi saudara-saudaranya. Namun, Erick mantap memilih berkiprah secara mandiri tanpa campur tangan keluarga dan sukses di bisnis media
Menurut beberapa sumber, lepasnya campur tangan Erick pada bisnis keluarga sempat dihalangi beberapa saudaranya. Erick dinilai punya potensi besar untuk melanjutkan dan membuat usaha keluarga menjadi lebih besar. Namun apa daya, Erick telah memilih langkahnya. Selepas tak mencampuri bisnis keluarga, Erick memulai petualangan baru sebagai pebisnis. Dia memulai kiprahnya di dunia trading. Erick dan teman-temannya – Wisnu Wardhana, Harry Zulnardy, dan Muhammad Lutfi – kemudian mendirikan Mahaka Group, perusahaan dulu hanya bergerak di bidang pertambangan, keuangan dan media.
Mahaka Group makin tenar ketika membangun Radio One Jakarta pada 1999 dan mengakuisisi harian Republika yang saat itu hampir bangkrut pada 2000. Sampai tahun 2009, Mahaka Group tercatat telah berkembang dan menguasai majalah a+, Parents Indonesia, dan Golf Digest. Sedangkan pada bisnis surat kabar, Mahaka Group menaungi Sin Chew Indonesia dan Republika. Selain itu, Mahaka jugalah yang memiliki JakTV, GEN 98.7 FM, Prambors FM, Delta FM, dan FeMale Radio.
Erick menjadi lebih dikenal para pegiat media ketika berhasil menyelamatkan Harian Republika — media yang terkenal Islami. Tak hanya menyelamatkan, tapi dia dan kawan-kawan berhasil menaikan kembali pamor Republika. Sampai sekarang, Republika tetap bertahan dan menjaga pamornya, serta tak menutup diri untuk ikut merambah dunia online.
Selain bersama Mahaka, Erick juga digandeng Anindya Bakrie untuk bergabung di perusahaan media. Meskipun jadi pemegang saham minoritas, tapi posisi yang diduduki Erick cukup penting. Ia didapuk Direktur Utama PT Visi Media Asia Tbk (VIVA), induk usaha dari TVOne.
Tampaknya Bakrie paham betul potensi yang dimiliki Erick dalam rangka membantu kelangsungan dan kesuksesan perusahaan medianya. Untuk informasi, keluarga Bakrie memiliki saham sekitar 90 persen.
ADVERTISEMENTS
Erick tak pernah puas dengan apa yang didapatnya. Dia kemudian merambah ke dunia internasional dengan mengakuisisi beberapa klub olahraga
Erick Thohir dikenal sebagai pengusaha yang gemar dengan hal-hal yang berbau olahraga. Pernah mendengar tim basket dalam negeri, Satria Muda BritAma dan Indonesia Warriors? Erick merupakan pemilik klub tersebut.
Pengusaha sukses memang selalu tak mudah puas dengan apa yang didapatnya. Pada 2011 silam, bersama sebuah konsorsium, Erick jadi pemiliki klub NBA, Philadelphia 76ers. Selang setahun kemudian, bersama Jason Levien, dia menjadi co-owner sebuah klub Major League Soccer (MLS), DC United. Kecintaannya terhadap Indonesia tak memudar.
Dia bahkan membuka kesempatan pada beberapa atlet untuk mengikuti trial bersama DC United.
Puncaknya pada tahun 2013, nama Erick mencuat ke permukaan atas pengakuisisian klub sepakbola Internazionale Milan. Hampir media-media olahraga dunia meliputnya. Peristiwa ini memang memiliki banyak nilai berita sehingga layak diperbincangkan secara hangat, terutama oleh para penggemar sepakbola. Runtuhnya rezim Masimmo Morrati — yang telah 18 tahun memimpin Inter dan pengusaha Asia pertama yang memiliki klub Serie A tersebut jadi sebab kenapa pantas diperbincangkan.
ADVERTISEMENTS
Langkahnya membeli Internazionale Milan dinilai sebagai kepintarannya dalam berbisnis, bukan hanya pemenuhan dahaga terhadap kegemarannya di dunia olahraga
Namun yang perlu kita sadari dari langkahnya tersebut adalah kebrilianannya melihat celah dan kesempatan. Beberapa pakar sepakat kalau langkah Erick membeli saham Inter Milan adalah kepintarannya dari sudut pandang pemasaran yang tak terbantahkan. Bahkan belum lama ini, Erick dikabarkan mendapat untung atas penjualan 40 persen sahamnya ke sebuah konsorsium asal Tiongkok.
Kalau dipikir, kenapa bisa seorang pebisnis muda asal negeri antah berantah membeli sebuah klub pemegang scudetto 18 kali, tiga trofi Liga Champions dan tiga trofi Europa League?
Seperti kita ketahui, pangsa pasar dan nilai jual klub Italia pada saat Erick — dan saat ini mungkin masih — mengakuisisi Inter jelas kalah jauh dibandingkan klub-klub Liga Inggris. Pamor klub-klub Italia anjlok. Jumlah penonton yang datang ke stadion semakin sedikit. Lalu, makin sering kita menyaksikan kaos tim-tim Liga Italia menjadi polos tanpa sponsor.
Minimnya prestasi klub-klub Italia menjadi alasan. Jatah tim Italia yang berlaga di Liga Champions — kompetisi tertinggi antarklub Eropa — pun dikurangi. Bahkan rangking Liga Italia harus turun sejak beberapa tahun lalu, dan disalip Liga Jerman yang makin sehat masalah ekonominya.
Mungkin ada pertanyaan: kenapa nggak mengakuisisi klub Spanyol saja? Bukankah beberapa klub sedang kepayahan dalam masalah ekonomi? Erick mungkin sadar kalau membeli klub Spanyol, seperti Real Madrid, Barcelona, atau Atletico sebagai akan disulitkan dengan harga dan demand suporter yang haus gelar dan haus pemain mahal. Kalau pun mengakuisisi klub medioker lainnya, akan terasa sulitnya menggebrak dominasi tiga klub tersebut di singgasana klasemen.
Kontras dengan yang terjadi di Italia. Persaingan tergolong terbuka. Hanya Juventus yang ditakuti. Di samping itu, kekuatan imbang terbagi. Ihwal kekuatan, Inter setara dengan Napoli, ACÂ Milan, AS Roma, Lazio, dan Fiorentina.
Namun dengan nama besar dan jumlah fans yang tak sedikit di berbagai belahan dunia, pengakuisisian yang dilakukan Erick dianggap sebagai sebuah kecerdasan.
Kecerdasannya makin tampak ketika ia menjaga suasana hangat suporter Inter.
Dia tak begitu langsung menanggalkan sosok Massimo Moratti dan menjaganya tetap masuk jajaran petinggi klub. Selain itu, Javier Zanetti, ikon klub Inter, didapuk oleh Erick menjadi wakil presiden klub.
ADVERTISEMENTS
Meski telah melanglang buana di dunia internasional, Erick tak pernah menolak untuk mengabdi pada negerinya sendiri
Seperti kita ketahui, Erick Thohir juga sangat mencintai olahraga. Meskipun kini jabatannya cukup prestisius di dunia internasional, Erick tak pernah menolak jika diberi amanah untuk mengabdi untuk negaranya. Seperti pada tahun 2006-2010, Erick dipercaya sebagai ketua umum Persatuan Bola Basket Seluruh Indonesia (Perbasi) dan Presiden Asosiasi Bola Basket Asia Tenggara (SEABA) untuk dua periode, 2006-2010 dan 2010-2014.
Lalu pada tahun 2012, Erick ditunjuk menjadi Komandan Kontingen Indonesia untuk Olimpiade London. Dan yang paling anyar adalah terpilihnya dia menjadi Ketua Komite Olimpiade Indonesia (KOI) untuk masa bakti 2015-2019.
Erick Thohir tak pernah melupakan negaranya sendiri meskipun ia kerap harus bolak-balik Italia dan Amerika Serikat. Dalam setiap klub olahraga yang dimilikinya pun Erick tak pernah menanggalkan nasionalismenya. Contohnya, dia memberikan kesempatan pada anak bangsa, Syamsir Alam, untuk menimba ilmu di DC United, serta belum lama ini beberapa atlet dan pelatih sepakbola diberi kesempatan sama di Italia.
Itulah sedikit cerita singkat dari seorang pebisnis muda Indonesia yang sedikit-banyak berhasil membuat harum nama Indonesia. Sekali lagi, semoga kita bisa terinspirasi dari kisah Erick Thohir tersebut.